Oleh: LEGIMAN
(Peminat masalah politik, mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
(Peminat masalah politik, mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Telah berdiri satu organisasi masyarakat (ormas) Nasional Demorat (ND) dibidani dua tokoh kawakan Sri Sultan HB X dan Surya Paloh. Ribuan orang mengikuti dengan khusuknya saat deklarasi. Turut didalamnya sederet tokoh seperti Syafii Maarif, Khofifah Indar Parawansa, Eep Saifullah Fatah, Siswono Yudohusodo, Budiman Sujatmiko, Didik J Rachbini dan lain-lain.
Kehadiran ND lumayan memantik sejumlah kalangan. Sebagian menempatkannya dengan cara pandang politik kekuasaan. Bahwa ND tak lebih dari ajang eksperimen para pelaku atau aktor intelektualnya. Artinya, ada kaitan antara ND dengan politik “sakit hati” dan orientasi melebihi ormas, yakni Pemilu 2014. Namun, sebagaimana pengakuan para penggagasnya, ND bukanlah organisasi politik atau partai politik, tapi ormas. Ormas ND merupakan wadah alternatif bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi membangun Indonesia dan tidak diarahkan untuk menjadi parpol. Tak bisa dipungkiri, kesan wajah ganda begitu melekat dalam diri ND, antara wajah politik dan ormas.
Hemat penulis, kemunculan ND patut diapresiasi. ND lahir seakan dipaksa oleh sejarah. Ada kaitan kemunculan ND dengan kondisi bangsa saat ini. ND adalah manifestasi ketergugahan anak bangsa untuk berempati terhadap problem negeri ini dan artikulasi menjawab kegalaun. Fenomena sosial, politik, hukum, dan budaya mulai gurita korupsi, polemik KPK-Polri, misteri Bnk Century, degradasi budaya politik elit dan lain-lain, semuanya meneguhkan kedirian bangsa yang galau.
Rumah bersama
Hanya saja, ND akan dianggap angin lalu jika tidak konsisten merealisasikan apa yang telah digariskan. Jalan panjang yang mesti dilalui adalah mencari legitimasi dan justifikasi lebih dari masyarakat dalam memainkan perannya.
Dalam waktu yang tidak lama saja mobilisasi massa hingga ribuan orang menandakan gelegar emosional, hadir mewarnai detik-detik deklarsi ND. Kehadiran sederet tokoh nasional dalam forum ormas ND yang kerap bersuara lantang dan ktitis ditengah menjadi motor penggerak dan garda depan membuncahkan riak-riak optimisme. Sebagai representasi keteladanan bangsa, tokoh-tokoh tersebut mampu menyulut antusiasme publik untuk berorasi politik ria.
Banyak alasan untuk menjatuhkan dukungan moral pada ND. Bahwa ND merupakan bagian dari gerakan kritik, protes dan penyeimbang atas dominasi politik negara. Dominasi demikian ditandai oleh belum tersiarnya transparansi dalam proses-proses kebijakan politik, hukum dan lain-lain. Wajah politik dan hukum masih tertutup selubung transaksionalisme elit, dihuni mafioso atau mafia. Dan pun, hadirnya ketergugahan khalayak dan tokoh-tokoh nasional dalam momentum deklarasi ND menemukan waktu yang tepat. Maka, slogan restorasi bangsa yang disematkan dalam diri ND pun layak didendangkan diatas penjuru Tanah Air.
Agar tidak terjebak pada slogan dan kegirangan temporer, yang mendesak dibumikan lebih jauh adalah menurunkan makna dan maksud restorsi bangsa dalam kaitannya dengan kepentingan dan kebutuhan ND sebagai ormas, apakah ormas yang “lain” atau ormas seperti yang ada sekarang ini.
Membangunkan hasrat kesadaran bersosial dan berpolitik publik untuk jangka yang temporal tidaklah sulut. Hanya saja, memupuk dan menyiraminya agar konsisten hingga mencapai tujuan yang diinginkan tidaklah mudah. Melakukan restorasi bangsa yang kini terlanjur berbalut baju kumuh memerlukan strategi jitu, sistematis, terarah dan mampu merangkul berbagai kalangan.
Oleh karenanya, keterbukaan ND dimasa depan menjadi taruhan. ND perlu menegaskan garis batas atau pilihan tegas diantara politik kekuasaan jangka pendek dan politik kemaslahatan yang lebih substanstif. Mengorientasikan gerakan ND pada ranah politk praktis sama halnya mengulang kesalahan-kesalahan ormas lainnya yang kehadirannya tak ubahnya sebagai mesin sesaat untuk politik kekuasaan. Pada akhirnya, kemaslahatan pun hilang. Ruang-ruang yang dicipta dipenuhi serakan-serakan kepentingan, memaksa untuk mengedepankan ego kekuasaan.
ND sejatinya menjadi rumah bersama yang dihuni berbagai kalangan yang tidak digiring pada segmentasi dan polarisasi poltik kepentingan. Rumah bersama dimaksud bisa ditempati oleh budayawan, pemikir, cendekiawan bahkan politisi turut didalamnya.
Even tasbih politik yang digelorakan ND diharapkan menjadi lompatan alternatif meneguhkan identitas bangsa yang kini dalam pasungan bayang-bayang langgam demokrasi prosedural, namun sepi dari komitmen kesejahteraan dan kemakmuran, penegakan hukum (rule of law), dan pemajuan nasib bangsa seutuhnya. Mengusung peneguhan identitas dan jati diri bangsa dengan racikan dan format yang tentunya tidak makin memecah belah atau didorong oleh rasa politik sakit hati.
Satu wajah
Tendensi ND menjadi parpol sebaiknya di buang jauh-jauh, ND akan lebih tepat mengidentikkan diri sebagai ormas yang memiliki basis dan ruang lingkup kepentingan yang luas dan tidak sempit dalam mengejawantahkan ideologinya. Walau bukan berwajah parpol, bukan berarti ND tidak bisa mengontrol pemerintah atau turut serta dalam usaha membentuk suatu elite politik berkrakter, negarawan dan bermoral tinggi. Dengan menjadi rumah bersama, basis dan ideologi terbuka, ND akan memiliki kemungkinan sasaran dan saluran lebih beragam.
Kiranya lebih tepat jika ND tidak berwajah ganda (double face) yang menghimpit fungsi parpol dan ormas. Wajah ganda ND akan berpotensi mengalami tumpang tindih dan membuka peluang konflik kepentingan, menyulut konflik horizontal. Oleh karenanya, memberi batas peran antara parpol dan ormas secara tegas jauh lebih realistis, produktif dan mencegah konflik. Wajah ganda ormas ND kurang begitu cocok bagi budaya politik Indonesia maupun kultur dan sistem politik modern.
Kehadiran ND lumayan memantik sejumlah kalangan. Sebagian menempatkannya dengan cara pandang politik kekuasaan. Bahwa ND tak lebih dari ajang eksperimen para pelaku atau aktor intelektualnya. Artinya, ada kaitan antara ND dengan politik “sakit hati” dan orientasi melebihi ormas, yakni Pemilu 2014. Namun, sebagaimana pengakuan para penggagasnya, ND bukanlah organisasi politik atau partai politik, tapi ormas. Ormas ND merupakan wadah alternatif bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi membangun Indonesia dan tidak diarahkan untuk menjadi parpol. Tak bisa dipungkiri, kesan wajah ganda begitu melekat dalam diri ND, antara wajah politik dan ormas.
Hemat penulis, kemunculan ND patut diapresiasi. ND lahir seakan dipaksa oleh sejarah. Ada kaitan kemunculan ND dengan kondisi bangsa saat ini. ND adalah manifestasi ketergugahan anak bangsa untuk berempati terhadap problem negeri ini dan artikulasi menjawab kegalaun. Fenomena sosial, politik, hukum, dan budaya mulai gurita korupsi, polemik KPK-Polri, misteri Bnk Century, degradasi budaya politik elit dan lain-lain, semuanya meneguhkan kedirian bangsa yang galau.
Rumah bersama
Hanya saja, ND akan dianggap angin lalu jika tidak konsisten merealisasikan apa yang telah digariskan. Jalan panjang yang mesti dilalui adalah mencari legitimasi dan justifikasi lebih dari masyarakat dalam memainkan perannya.
Dalam waktu yang tidak lama saja mobilisasi massa hingga ribuan orang menandakan gelegar emosional, hadir mewarnai detik-detik deklarsi ND. Kehadiran sederet tokoh nasional dalam forum ormas ND yang kerap bersuara lantang dan ktitis ditengah menjadi motor penggerak dan garda depan membuncahkan riak-riak optimisme. Sebagai representasi keteladanan bangsa, tokoh-tokoh tersebut mampu menyulut antusiasme publik untuk berorasi politik ria.
Banyak alasan untuk menjatuhkan dukungan moral pada ND. Bahwa ND merupakan bagian dari gerakan kritik, protes dan penyeimbang atas dominasi politik negara. Dominasi demikian ditandai oleh belum tersiarnya transparansi dalam proses-proses kebijakan politik, hukum dan lain-lain. Wajah politik dan hukum masih tertutup selubung transaksionalisme elit, dihuni mafioso atau mafia. Dan pun, hadirnya ketergugahan khalayak dan tokoh-tokoh nasional dalam momentum deklarasi ND menemukan waktu yang tepat. Maka, slogan restorasi bangsa yang disematkan dalam diri ND pun layak didendangkan diatas penjuru Tanah Air.
Agar tidak terjebak pada slogan dan kegirangan temporer, yang mendesak dibumikan lebih jauh adalah menurunkan makna dan maksud restorsi bangsa dalam kaitannya dengan kepentingan dan kebutuhan ND sebagai ormas, apakah ormas yang “lain” atau ormas seperti yang ada sekarang ini.
Membangunkan hasrat kesadaran bersosial dan berpolitik publik untuk jangka yang temporal tidaklah sulut. Hanya saja, memupuk dan menyiraminya agar konsisten hingga mencapai tujuan yang diinginkan tidaklah mudah. Melakukan restorasi bangsa yang kini terlanjur berbalut baju kumuh memerlukan strategi jitu, sistematis, terarah dan mampu merangkul berbagai kalangan.
Oleh karenanya, keterbukaan ND dimasa depan menjadi taruhan. ND perlu menegaskan garis batas atau pilihan tegas diantara politik kekuasaan jangka pendek dan politik kemaslahatan yang lebih substanstif. Mengorientasikan gerakan ND pada ranah politk praktis sama halnya mengulang kesalahan-kesalahan ormas lainnya yang kehadirannya tak ubahnya sebagai mesin sesaat untuk politik kekuasaan. Pada akhirnya, kemaslahatan pun hilang. Ruang-ruang yang dicipta dipenuhi serakan-serakan kepentingan, memaksa untuk mengedepankan ego kekuasaan.
ND sejatinya menjadi rumah bersama yang dihuni berbagai kalangan yang tidak digiring pada segmentasi dan polarisasi poltik kepentingan. Rumah bersama dimaksud bisa ditempati oleh budayawan, pemikir, cendekiawan bahkan politisi turut didalamnya.
Even tasbih politik yang digelorakan ND diharapkan menjadi lompatan alternatif meneguhkan identitas bangsa yang kini dalam pasungan bayang-bayang langgam demokrasi prosedural, namun sepi dari komitmen kesejahteraan dan kemakmuran, penegakan hukum (rule of law), dan pemajuan nasib bangsa seutuhnya. Mengusung peneguhan identitas dan jati diri bangsa dengan racikan dan format yang tentunya tidak makin memecah belah atau didorong oleh rasa politik sakit hati.
Satu wajah
Tendensi ND menjadi parpol sebaiknya di buang jauh-jauh, ND akan lebih tepat mengidentikkan diri sebagai ormas yang memiliki basis dan ruang lingkup kepentingan yang luas dan tidak sempit dalam mengejawantahkan ideologinya. Walau bukan berwajah parpol, bukan berarti ND tidak bisa mengontrol pemerintah atau turut serta dalam usaha membentuk suatu elite politik berkrakter, negarawan dan bermoral tinggi. Dengan menjadi rumah bersama, basis dan ideologi terbuka, ND akan memiliki kemungkinan sasaran dan saluran lebih beragam.
Kiranya lebih tepat jika ND tidak berwajah ganda (double face) yang menghimpit fungsi parpol dan ormas. Wajah ganda ND akan berpotensi mengalami tumpang tindih dan membuka peluang konflik kepentingan, menyulut konflik horizontal. Oleh karenanya, memberi batas peran antara parpol dan ormas secara tegas jauh lebih realistis, produktif dan mencegah konflik. Wajah ganda ormas ND kurang begitu cocok bagi budaya politik Indonesia maupun kultur dan sistem politik modern.