Kamis, 04 Februari 2010

Wajah Ganda ND

Oleh: LEGIMAN
(Peminat masalah politik, mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Telah berdiri satu organisasi masyarakat (ormas) Nasional Demorat (ND) dibidani dua tokoh kawakan Sri Sultan HB X dan Surya Paloh. Ribuan orang mengikuti dengan khusuknya saat deklarasi. Turut didalamnya sederet tokoh seperti Syafii Maarif, Khofifah Indar Parawansa, Eep Saifullah Fatah, Siswono Yudohusodo, Budiman Sujatmiko, Didik J Rachbini dan lain-lain.  
Kehadiran ND lumayan memantik sejumlah kalangan. Sebagian menempatkannya dengan cara pandang politik kekuasaan. Bahwa ND tak lebih dari ajang eksperimen para pelaku atau aktor intelektualnya. Artinya, ada kaitan antara ND dengan politik “sakit hati” dan orientasi melebihi ormas, yakni Pemilu 2014.  Namun, sebagaimana pengakuan para penggagasnya, ND bukanlah organisasi politik atau partai politik, tapi ormas. Ormas ND merupakan wadah alternatif bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi membangun Indonesia dan tidak diarahkan untuk menjadi parpol. Tak bisa dipungkiri, kesan wajah ganda begitu melekat dalam diri ND, antara wajah politik dan ormas. 
Hemat penulis, kemunculan ND patut diapresiasi. ND lahir seakan dipaksa oleh sejarah. Ada kaitan kemunculan ND dengan kondisi bangsa saat ini. ND adalah manifestasi ketergugahan anak bangsa untuk berempati terhadap problem negeri ini dan artikulasi menjawab kegalaun. Fenomena sosial, politik, hukum, dan budaya mulai gurita korupsi, polemik KPK-Polri, misteri Bnk Century, degradasi budaya politik elit dan lain-lain, semuanya meneguhkan kedirian bangsa yang galau.
Rumah bersama
Hanya saja, ND akan dianggap angin lalu jika tidak konsisten merealisasikan apa yang telah digariskan. Jalan panjang yang mesti dilalui adalah mencari legitimasi dan justifikasi lebih dari masyarakat dalam memainkan perannya. 
Dalam waktu yang tidak lama saja mobilisasi massa hingga ribuan orang menandakan gelegar emosional, hadir mewarnai detik-detik deklarsi ND. Kehadiran sederet tokoh nasional dalam forum ormas ND yang kerap bersuara lantang dan ktitis ditengah menjadi motor penggerak dan garda depan membuncahkan riak-riak optimisme. Sebagai representasi keteladanan bangsa, tokoh-tokoh tersebut mampu menyulut antusiasme publik untuk berorasi politik ria.
Banyak alasan untuk menjatuhkan dukungan moral pada ND. Bahwa ND merupakan bagian dari gerakan kritik, protes dan penyeimbang atas dominasi politik negara. Dominasi demikian ditandai oleh belum tersiarnya transparansi dalam proses-proses kebijakan politik, hukum dan lain-lain. Wajah politik dan hukum masih tertutup selubung transaksionalisme elit, dihuni mafioso atau mafia. Dan pun, hadirnya ketergugahan khalayak dan tokoh-tokoh nasional dalam momentum deklarasi ND menemukan waktu yang tepat. Maka, slogan restorasi bangsa yang disematkan dalam diri ND pun layak didendangkan diatas penjuru Tanah Air.
Agar tidak terjebak pada slogan dan kegirangan temporer, yang mendesak dibumikan lebih jauh adalah menurunkan makna dan maksud restorsi bangsa dalam kaitannya dengan kepentingan dan kebutuhan ND sebagai ormas, apakah ormas yang “lain” atau ormas seperti yang ada sekarang ini.
Membangunkan hasrat kesadaran bersosial dan berpolitik publik untuk jangka yang temporal tidaklah sulut. Hanya saja, memupuk dan menyiraminya agar konsisten hingga mencapai tujuan yang diinginkan tidaklah mudah. Melakukan restorasi bangsa yang kini terlanjur berbalut baju kumuh memerlukan strategi jitu, sistematis, terarah dan mampu merangkul berbagai kalangan.
Oleh karenanya, keterbukaan ND dimasa depan menjadi taruhan. ND perlu menegaskan garis batas atau pilihan tegas diantara politik kekuasaan jangka pendek dan politik kemaslahatan yang lebih substanstif. Mengorientasikan gerakan ND pada ranah politk praktis sama halnya mengulang kesalahan-kesalahan ormas lainnya yang kehadirannya tak ubahnya sebagai mesin sesaat untuk politik kekuasaan. Pada akhirnya, kemaslahatan pun hilang. Ruang-ruang yang dicipta dipenuhi serakan-serakan kepentingan, memaksa untuk mengedepankan ego kekuasaan.
ND sejatinya menjadi rumah bersama yang dihuni berbagai kalangan yang tidak digiring pada segmentasi dan polarisasi poltik kepentingan. Rumah bersama dimaksud bisa ditempati oleh budayawan, pemikir, cendekiawan bahkan politisi turut didalamnya.      
Even tasbih politik yang digelorakan ND diharapkan menjadi lompatan alternatif meneguhkan identitas bangsa yang kini dalam pasungan bayang-bayang langgam demokrasi prosedural, namun sepi dari komitmen kesejahteraan dan kemakmuran, penegakan hukum (rule of law), dan pemajuan nasib bangsa seutuhnya. Mengusung peneguhan identitas dan jati diri bangsa dengan racikan dan format yang tentunya tidak makin memecah belah atau didorong oleh rasa politik sakit hati.
Satu wajah
Tendensi ND menjadi parpol sebaiknya di buang jauh-jauh, ND akan lebih tepat mengidentikkan diri sebagai ormas yang memiliki basis dan ruang lingkup kepentingan yang luas dan tidak sempit dalam mengejawantahkan ideologinya. Walau bukan berwajah parpol, bukan berarti ND tidak bisa mengontrol pemerintah atau turut serta dalam usaha membentuk suatu elite politik berkrakter, negarawan dan bermoral tinggi. Dengan menjadi rumah bersama, basis dan ideologi terbuka, ND akan memiliki kemungkinan sasaran dan saluran lebih beragam.
Kiranya lebih tepat jika ND tidak berwajah ganda (double face) yang menghimpit fungsi parpol dan ormas. Wajah ganda ND akan berpotensi mengalami tumpang tindih dan membuka peluang konflik kepentingan, menyulut konflik horizontal. Oleh karenanya, memberi batas peran antara parpol dan ormas secara tegas jauh lebih realistis, produktif dan mencegah konflik. Wajah ganda ormas ND kurang begitu cocok bagi budaya politik Indonesia maupun kultur dan sistem politik modern.
             
»»  baca selengkapnya...

Rabu, 03 Februari 2010

Gaji Pejabat dan Mental Malas

Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Belum lama usai pelantikan presiden, wakil presiden, menteri, dan anggota DPR, isu kenaikan gaji mencuat. Rencana kenaikan hingga diberitakan hingga 20% itu pun menuai kritik. Pelbagai elemen masyarakat mulai dari pengamat, mahasiswa, LSM, bahkan sebagian politisi di senayan mengecam keras. Kebanyakan kecaman didasarkan pada persoalan relevansi. Ada kesan jomplang dengan kesejahteraan masyarakat. Artinya, kenaikan gaji kontradiktif dengan realitas negeri. Sementara kegalauan akrab ditengah kehidupan masyarakat, elit-elit politik dilingkungan senayan tanpa sungkan-sungkan memproduksi beragam isu rencana pengadaan fasilitas, kenaikan gaji.
Tentu persoalannya lebih dari itu. Ada semacam pembelajaran tidak sehat bagi proses membangun mental bangsa. Para pejabat hendak menyuburkan mentalitas malas (laziness) dan budaya instan (instant culture). Yakni, mendapatkan sesuatu tanpa proses, perjuangan dan kerja-kerja nyata yang peruntukannya bermanfaat bagi banyak orang. Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007) menyebutkan pada tahun 2005 peringkat produktivitas kerja Indonesia pada posisi 59 dari 60 negara. Anjloknya tingkat produktifitas tersebut karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing, disamping juga karena faktor budaya kerja yang masih lemah dan tidak merata.
Beruntung nian memang jadi pejabat di negeri ini. Fasilitas istimewa nan mewah mulai dari bangun tidur hingga berangkat ke dapur kerja semua tersedia. Demi mendorong kinerja dan mobilitas, mobil diadakan, gaji pun dinaikkan. Maka, selayaknya bagi pejabat berbalik memberi kesitimewaan bagi masyarakat. Antara hak dan kewajiban harus seimbang. Lebih dari itu, karena jabatan kenegaraan adalah pengabdian (dedication), pemenuhan kewajiban harusnya lebih dominan, kepentingan masyarakat luas diutamakan.     
Saat ini, gaji presiden dan tunjangannya mencapai Rp 62 juta dan wakil presiden Rp 42 juta per bulan. Sedangkan Ketua DPR mencapai Rp 23 juta per bulan, sama dengan gaji Ketua Mahkamah Agung. Untuk Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) sekitar Rp 20 juta per bulan. Sedangkan para menteri dan pejabat setingkatnya mencapai Rp 18 juta per bulan. Jika benar-benar jadi dinaikkan hingga 20% tinggal dihitung saja berapa jumlahnya. 
Menerima sesuatu tanpa diawali dengan memberi, jelas tidak baik. Menuntut hak atau gaji tanpa didahului kewajiban adalah tidak etis. Semestinya, memberi dan menerima, antara hak dan kewajiban harus seimbang. Secara hukum memang sah-sah saja. Dengan berbagai dalih dan logika para pemangku kepentingan, berbagai keputusan hukum dan politik ditelurkan untuk meluruskan langkah menaikkan gaji.
Bersikeras menaikkan gaji pejabat tanpa menghiraukan kritik dan penolakan sama halnya melangkahi kehendak pemilik kedaulatan. Memaksa sama saja mencuri, merampok, walau dengan bungkus yang legal, resmi dan bahkan dengan klaim-klaim konstitusional.
Mungkin satu-satunya benteng pendobrak mentalitas boros pejabat adalah sikap kenegarawanan. Kebijakan kenaikan gaji yang diributkan saat ini telah mengubur logika-logika pengabdian, kenegarawanan dan kesahajaan pejabat tinggi. Keikhlasan menjadi pejuang tergadaikan oleh motif-motif mencari laba politik, mengais sebanyak mungkin aset-aset negara untuk memenuhi kantong-kantong pribadi. Semangat kesahajaan dan kepahlawanan sunyi senyap ditelan tuntutan tanda jasa yang cenderung mengusik perasaan publik. 
Setiap laku memang memiliki konsekuensi. Menjadi pejabat tinggi negara bukanlah tugas ringan. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa pejabat, pemberian hadiah atau fasilitas layak memang patut diberikan. Hal demikian merupakan konsekuensi logis yang pastinya diterima oleh pejabat dengan catatan berdasar karya dan prestasi. Memberi kelebihan fasilitas tanpa diimbangi dengan secercah karya dan kiprah merupakan penghargaan semu (awards pseudo). Bangsa ini tentu tidak ingin tersesat atau salah alamat dalam menjatuhkan pilihan-pilihan anak bangsa berprestasi.
Dibalik itu semua, konsekuensi lain yang mesti diunduh setelah mendapat hadiah adalah berjuang membenahi kinerja sesuai standar program yang diamanahkan, diatas sumpah janji yang diucapkan. Gaji, amanah dan janji setali tiga uang dengan jabatan. Tanpa menuntut gaji pun, jika amanah dan janji-janji dijalankan, sudah barang tentu simpati publik mengalir.
Keterpurukan bangsa ini, dominan disebabkan karena gurita praktek pencurian dengan modus korupsi. Korupsi kian berurat akar, menjalar ke segala sektor. Pejabat negara seyogyanya-lah mengawali dan menjadi panutan bagi pemberantasan korupsi. Bukan malah sebaliknya, menggerogoti anggaran negara untuk memenuhi keinginan pejabat tanpa didahului kerja-kerja nyata. Bagaimana jadinya bangsa ini jika ramai oleh para pemalak elit yang menodong pemegang kunci peti negara dan mendesak melegalkan kebijakan kenaikan gaji.
Kedepan, memupus budaya malas, menggumpalkan spirit kerja keras dalam berkarya atau mendahului kewajiban ketimbang hak perlu diawali oleh pejabat-pejabat negara. Sebagai panutan rakyat, sebaiknya pejabat negara mengunci pintu-pintu keinginan berlebih. Fasilitas yang diberikan jangan sampai melebihi batas-batas kebutuhan pejabat. Standar kebutuhan (standard of need) profesional tampaknya perlu diserukan bersama agar negara  tidak terlanjur jauh jatuh dalam medan pemborosan anggaran negara. Masih banyak masyarakat yang lebih membutuhkan tinimbang memenuhi keinginan pejabat segelintir saja.                                                   
»»  baca selengkapnya...

Jumat, 15 Januari 2010

Mengikis Toleransi Semu Menuju Toleransi

Di pengujung tahun 2009 lalu KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggal dunia. Suasana sedih mewarnai emosi masyarakat Indonesia. Tidak sedikit umat Kristiani yang saat itu sedang khusuknya menghayati Natal, turut menaruh kembang-kembang duka disisi mendiang Gus Dur.
Selain umat muslim dan Kristen, umat penganut agama lainnya pun tak ketinggalan mengacungkan pujian hormat dan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada bapak pluralisme, Gus Dur.
Gus Dur termasuk tokoh yang paling getol menyuarakan keterbukaan, toleransi, dialog dan pentingnya kerja sama antarumat beragama. Berbagai manifestasi atau bentuk relasi apapun selama tidak menggerus hal-hal prinsip dalam agama, perlu terus-menerus ditumbuhkan. Keberagaman Indonesia memang menuntut demikian. Ambil contoh masalah ucapan selamat hari raya keagamaan dari umat agama satu kepada umat agama yang lain. Bagi Gus Dur, ucapan demikian tidaklah menjadi soal. Tindakan positif itu merupakan satu dari sekian media pemupus sekat-sekat ketertutupan dan kesenjangan relasi antarumat beragama.
Tulisan berikut merupakan bentuk apresiasi positif atas gagasan-gagasan dan aksi Gus Dur selama hidupnya. Selain itu juga bagian dari ikhtiar mewacanakan lebih dekat lagi bangunan-bangunan konsep hubungan antarumat beragama agar tercipta suasana toleransi dan kerja sama demi kemajuan bangsa.
Hemat penulis, ada batu sandungan mewujudkan iklim keharmonisan dan dialog antarumat beragama yang meniscayakan sikap toleran. Batu sandungan itu justru muncul dari keyakinan teologis. Contohnya seperti model fatwa. Dalam bahasa Paul F Kniter (1990), batu sandungan sepert itu merupakan bentuk toleransi yang malas (lazy tolerance).
Dalam lazy tolerance setiap agama memang mengajak agama lain untuk mengakui keabsahan masing-masing, tapi pada saat yang sama saling mengabaikan satu sama lain. Akibat dari toleransi malas atau semu itu, antarumat beragama seperti bara dalam sekam. Hubungan dan dialog keagamaan yang mendalam tidak terjadi karena umat beragama memilih menjaga jarak.
Perhatian serius pun tak luput dari sosok Mohammad Natsir (1983:12). Bagi Natsir, dalam konteks kebhinekaan dan persatuan bangsa (Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI), kerukunan antarumat beragama merupakan syarat bagi tegaknya negara Republik Indonesia yang adil dan makmur.
Dengan bahasa dan nada tulus Natsir menegaskan bahwa kalau memang masyarakat hendak menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan kejernihan hidup antarumat beragama di tengah jutaan penduduk Indonesia yang bermacam-macam agama ini, maka sebagai dasar dari kesatuan negara tidak lain adalah menyebarkan paham toleransi.
Cukup banyak ayat dalam Alquran yang memerintahkan umatnya untuk bersikap toleran. Misalnya QS Al-Hajj/22 ayat 40, “Yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah. Dan sekiranya tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya disebut nama Allah”.
Jelas, landasan teologis dalam Islam memberikan kerangka acuan bagi toleransi keagamaan di masyarakat tanpa harus menempatkan agama lain dalam posisi inferior. Di samping dituntut memahami agama secara benar dan berkomitmen menjadikan agama yang dianutnya sebagai pedoman hidup, seyogianya tidak mengabaikan agama dan kepercayaan manapun, baik secara lisan maupun dengan perbuatan.
Pluralisme positif
Menggunakan optik Mohammed Arkoun (1994), batu sandungan toleransi yang antara lain berwujud fatwa menyimpan kesalahan metodologis dan kurang menohok pada aspek epistemologis pemahaman keagamaan. Bisa jadi, kegagalan dalam membangun toleransi dan kerjasama antaragama selama ini disebabkan karena kurang menohok aspek epistemologis itu. Upaya membangun kerukunan lebih diwarnai oleh kepentingan sepihak dengan tujuan jangka pendek. Dari kritik epistemologi Arkoun di ataslah penyelaman terhadap sejarah hidup agama-agama perlu dilakukan. Selain itu, juga penting mengawal pembacaan ulang tafsir keagamaan sekaligus melihat relasi kuasa dan mengawinkan berbagai disiplin ilmu sebagai fondasi kerukunan antaragama.
Pluralisme bukan berarti menyamakan semua agama, dan melebur agama-agama menjadi satu, tapi menegaskan adanya perbedaan dan bagaimana menghormati, menerima dan mengakomodasi perbedaan dengan cara-cara yang konstruktif. Pluralisme lebih dari toleransi, saling berkait. Sementara toleransi lebih pada persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, pluralisme menuntut suatu pemahaman yang serius terhadap pihak lain dan kerja sama (Mohammed Fathi Osman: 2006).
Kritik epistemologi, pembongkaran terhadap sejarah agama-agama, tafsir keagamaan, dan pengawinan berbagai disiplin ilmu patut digalakkan dalam upaya memelihara dialog antaragama. Hal ini dapat mengantarkan seorang penganut agama dapat hidup berdampingan dan memberi manfaat kepada penganut agama lain tanpa kehilangan komitmen keberimanan yang diyakininya, perlu memromosikan keabsahan sosiologis agama-agama lain, sebagai jalan yang menyelamatkan kehidupan.
Logika fatwayang kurang menohok aspek epistemologis pemahaman agama tampaknya perlu “dikontraskan” dengan fakta dan praktik Nabi Muhammad SAW: “Suatu ketika Nabi menerima tamu dari kaum Nasrani Najran. Mereka datang pada waktu asar. Sembari menunggu bertemu nabi, mereka (kaum Nasrani Najran) kemudian menunaikan salat di Masjid Nabi. Ketika salah seorang sahabat hendak menegur apa yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani Najran tersebut, Nabi mencegah dan berkata: Biarkan mereka salat. Maka, orang-orang Nasrani Najran tersebut salat menghadap ke timur”. Wallahua’lam. - Oleh : Legiman, Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dimuat di Opini SoloPos 15 Januari 2010
»»  baca selengkapnya...

Kamis, 14 Januari 2010

Kepahlawanan Gusdur

Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Sepakat atau tidak, dalam belantara pemikiran dan aksi keislaman berkebangsaan, keindonesiaan dan kemanusiaan, Abdurrahman Wahid (Gusdur) ibarat mutiara yang bersinar. Ide-ide cerdasnya sulit ditampik relevannya dalam konteks kekinian, kususnya di Indonesia. Sosok Gusdur menjadi buah bibir yang positif dalam sejarah bangunan inklusifitas atau keterbukaan bangsa yang saat ini sedang menuju pintu-pintu demokratisasi. 
Berpulangnya Gusdur kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa nyaris menampar emosi kemanusiaan bangsa yang plural ini. Iring-iringan kesedihan diperlihatkan ribuan bahkan jutaan warga bangsa, juga dunia. Dibalik semarak duka cita itu, menyumbul dengan kasatnya kehendak untuk mengatakan; Selamat Jalan Gus….
Bermacam julukan disematkan disisinya. Ia dipuja sebagai bapak bangsa, guru pluralisme, pejuang kemanusiaan dan demokrasi, dan lain-lain. Usulan kepahlawanan (pahlawan nasional) Gusdur mengalir begitu derasnya. Walau usulan kepahlawanan Gusdur harus dihadapkan dengan proses panjang bahkan berbelit yang cenderung formalistik-birokratis, Gusdur secara defacto adalah pahlawanan. Artinya, diakui atau tidak oleh negara dan pemerintah, tidaklah mengurangi kepahlanwan Gusdur yang terbukti getol menyuarakan kesejahteraan wong cilik, kebebasan berfikir, demokrasi, dan anti diskiminasi lintas etnis dan agama. Kepahlawanan yang tidak hanya menasional, tapi juga mendunia. Hanya saja, untuk kepentingan menumbuhkan spirit dan motivasi kepahlanwan generasi bangsa ini, kepahlawanan nasional Gusdur mendesak diupayakan. Gusdur layak untuk dikenang, diabadikan, dan diingat sepanjang sejarah nasional Indonesia. Selain itu, penganugerahan kepahlawanan nasional bagi Gusdur agar bangsa ini tidak lagi dipandang sebagai bangsa yang melupakan pahlawan-pahlawannya.
Komitmen
Berteriak lantang menyuarakan kepahlawanan Gusdur bukanlah substansi menghargai jeri-payah Gusdur. Parahnya lagi jika seruan itu didasari motif-motif politis untuk meraup citra politik. Yang lebih urgen lagi adalah komitmen meneladani prinsip berfikir dan aksi yang melekat pada sosok Gusdur. Kebuntuan atas problem bangsa ini yang tanpa henti terus menerpa mulai dari kisruh hukum, politik, ekonomi sejatinya relevan menyandarkan jawaan-jawabannya pada prinsip-prinsip yang diyakini Gusdur. Jaring-jaring kepentingan pribadi, golongan dan politik telah mengerangkeng relasi emosional dan sosial-politik elit-elit partai politik. Tindak-tanduk relasi yang amat jauh dari keterbukaan sebagaimana menjadi komitmen Gusdur. Konflik elit yang ditandai dengan sikap curiga satu-sama lain, saling jegal, klaim pendiskriditan, dan sebagainya menandakan tidak adanya sikap terbuka (inclusive).
Komitmen pada prinsip inkusifitas Gusdur sudah teruji. Sejarah Inklusifitas Indonesia yang masih bersinar hingga detik ini tidak bisa dilepaskan dari pikiran dan aksi Gusdur. Komitmen Gusdur pada keterbukaan mampu melintasi jebakan-jebakan fragmentasi, varian-varian, dan pengkotak-kotakan yang cenderung ideologis dan tertutup (ekslusif).
Di era akhir 1980-an bersama tokoh-tokoh segaris dengannya seperti Abdullah Syarwani, Fahmi Saefuddin, Nasihin Hassan, dan orang-orang lebih muda seperti Slamet Effendi Yusuf, Ikhwan Syam, dan Masdar Farid Mas'udi -untuk menyebut beberapa saja- Gusdur menyerukan lompatan-lompatan yang menjembatani jurang pemisah relasi antar golongan yang dibungkus oleh kepentingan ideologis, seperti antara Islam dan negara, tradisional-modern dan lain-lain. Gusdur dan kawan-kawan telah mengawali intelektualisme Islam di Indonesia yang juga memperoleh dukungan-dukungan dari komunitas muda Islam terbaik. Islam tidak harus dibaca secara ideologis menurut ukuran 1950-an, tetapi bagaimana melihat Islam memiliki relevansi bagi kebutuhan komunitas bukan saja Islam, namun juga Indonesia.
Pada konteks ini Gusdur mengarahkan Nahdatul Ulama (NU), organisasi dakwah Islam sosial keagamaan terbesar di Indonesia, pada penciptaan free public sphere, tempat di mana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah dan penguatan pemberdayaan. Salah satu jalannya adalah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) yang digagas oleh oleh Gusdur. Gelombang besar generasi muda NU di jalur kultural sejak pertengahan 1990-an akhirnya merebak dan tumbuh mekar. Atau yang sering disebut “kultur hibrida”.
Gusdur dan PKB
Kendati demikian, sejak era reformasi orientasi Gusdur berbalik arah. Syahwat politik kekuasaan menancap kuat dalam diri Gusdur dan kalangan NU lainnya. Tanpa disadari independensi NU diterobos “tank-tank demokrasi”, yakni Partai Politik. Patai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kelahirannya tidak lepas dari sentuhan Gusdur menjebol dinding-dinding NU untuk ikut terlibat dalam dinamika politik praktis.
Ketidaklurusan orientasi Gusdur harus dilihat secara positif. Sosok Gusdur yang pada awalnya identik dengan aktivis kemudian menjadi punggawa gerakan civil society hingga kemudian mencapai puncaknya sebagai Presiden RI ke 3 adalah perubahan orientasi perjuangan yang dipengaruhi oleh dinamika sosial dan politik bangsa. Ke masa depan, warisan berserak baik dalam pemikiran atau pun aksi Gusdur perlu terus disirami. Gusdur sebagai aktivis, pemimpin ormas NU, maupun pemimpin PKB tidak harus dipertentangkan, tetapi ditarik benang merahnya agar orientasi yang sekilas berseberangan dapat didudukkan secara proposional.
Lebih-lebih bagi PKB. PKB yang selama ini dipandang sebagai anak kandung NU dituntut tanggung jawab moral-politiknya melerai dan meretas jalan baru PKB agar tidak lagi menampakkan wajah yang karut, sarat konflik kepentingan. Komitmen dan konsistensi inklusifitas Gusdur yang terejawantahkan dalam politik berpulang pada sejauhmana komitmen PKB menjadi partai yang terbuka.
Prinsip keterbukaan inilah semestinya menjadi pelecut bagi PKB menghilangkan sekat-sekat egoisme dan kepentingan pribadi. Pewaris satu-satunya yang paling sah menyirami, menyemai dan menyuburkan kembang-kembang pikiran dan pengalaman aksi Gusdur. Dengan keterbukaan, PKB diharapkan dapat menyatukan barisan untuk benar-benar memperjuangan aspirasi dan kepentingan bangsa, tidak hanya wargan NU tapi juga masyarakat dalam bingkai ke-Indonesiaan dan kebangsaan.
Akhirnya, pengakuan kepahlawanan Gusdur tidak hanya dilantunkan diatas kertas dan formalitas belaka, tapi bagaimana bangsa ini konsistensi dan komitmen meneladani kepahlawanan Gusdur. Hal ini sekaligus menjawab kegamangan sebagian kalangan yang mempertanyakan, bagaimana nasib bangsa, NU dan PKB sepeninggal Gusdur?  
»»  baca selengkapnya...

PAN dan Bumerang Pemimpin Karismatik

Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
   
Pengalaman Kongres III Partai Amanat Nasional (PAN) di Batam, Kepulauan Riau, baru-baru ini, menjadi pelajaran berharga untuk menerawang nasib dan masa depan demokrasi di Indonesia. PAN merupakan salah satu pilar utama terbangunnya sendi-sendi demokrasi. Layak kiranya jika terawang demokrasi disandarkan pada partai reformis satu ini, dan tentunya juga partai-partai lainnya. Gejala yang hamper merata, partai politik (parpol) sulit melepaskan diri dari jeratan kepemimpinan sentralistik, menggantungkan pada karisma tokoh tertentu.
Kemasa depan, kepemimpinan karismatik akan menjadi duri dalam daging dan batu ganjalan bagi terselenggaranya demokrasi yang egaliter dan tranparan. 
Telah dipahami khalayak, satu agenda penting Kongres III PAN di Batam baru-baru ini menabuhkan genderang sepakat kepada Hatta Rajasa, rival Dradjat Hari Wibowo. Hatta Rajasa terpilih secara aklamasi tanpa voting. Mencuat gonjang-ganjing, keterpilihan tersebut tidak lepas dari kedipan mata Amien Rais. 
Ngemong partai
Spontan terlintas dibenak khalayak perihal partai berlambang matahari itu. PAN lahir berbarengan dengan euforia reformasi. Dari pemikiran dan aksi matang Amien Rais-lah PAN hadir mendengungkan ikrar sebagai partai pembaru, refomsi, terbuka, dan pluralis. Namun dalam perjalannya, tidak sedikit kalangan yang mencecar PAN. Face, postur dan langkahnya tersedak oleh gejala politik bercorak dinastik, oligarkis, dan patronasi. Fenomena Amien Rais yang terus “menyetubuhi” setiap gerak-gerik PAN menjadi bukti persetubuhan itu. Ditambah lagi sembulan iming-iming pragmatisme dan semilir angin kekuasaan yang berhembus dengan kencangnya hingga menusuk jantung-jantung idealisme PAN. Lebih-lebih pascapemilu 2009 lalu. 
Menggunakan kategori partai pemerintah dan oposisi, PAN dipastikan berada dalam dekapan pemerintah, partainya pemerintah. Artinya, untuk lima tahun kedepan dipastikan PAN berdiri tegak bergandengan tangan dengan pemerintah. Konsekuensinya, jika pemerintah diserbu citra buruk, sulit bagi PAN menghindari percikan getahnya. Tapi tidak sebaliknya. Bila pemerintah berhasil mengais citra positif, PAN akan tetap tertutupi bayang-bayang pemerintah.  
Kekhawatiran yang muncul, tersumbatnya kanal-kanal pesona daya pikat PAN dimata khalayak. Simpatisan atau konstituen PAN yang bisa dibilang masih labil dan belum kokoh berpotensi tunggang langgang mencari kiblat lain. PAN adalah inspirasi bagi warga kelas menengah yang cenderung rasional. PAN terancam oleh bergesernya suara warga Muhammadiyah yang dalam pengamatan sementara kalangan turut mendongkrak perolehan suara PAN. Kian bertambah usia PAN dan demokrasi Indonesia, PAN seolah menjaga jarak dengan Muhammadiyah. Kedekatan ideologis antara PAN dengan basis Muhammadiyah kurang disemai.
Pengalaman PAN dan Muhammadiyah cukup memberi warning bahwa kemunculannya bertalian dengan gejolak syahwat politik warga Muhammadiyah. Fenomena PAN sempat membikin geger Muhammadiyah karena banyak warga Muhammadiyah berduyun-duyun menjadi pengurus partai mulai dari pimpinan daerah, wilayah hingga pusat. Itu artinya, Muhammadiyah dan PAN memiliki hubungan simbiosa. PAN dalam perbincangan elit Muhammadiyah sempat disorot sebagai alat perjuangan politik Muhammadiyah walau tidak secara institusional dan organisatoris.
Gejala patronasi dalam tubuh PAN pada umumnya memang juga tengah menjangkiti partai-partai lainnya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tak bisa dilepaskan dari cengkeraman ketokohan karismatik Ibu Megawati Soekarno Putri yang mendompleng nama besar ayahnya, Soekarno, Presiden Indonesia pertama. Begitu pun dengan Partai Demokrat (PD) yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY adalah ikon tak terbantahkan menggawangi arah PD dan memiliki daya dekap yang teramat kuat. Maka, tantangan dan pekerjaan rumah dihadapan parpol saat ini adalah keluar dari jeratan ketokohan sentralistik, karismatik dan oligarkis. Kepemimpinan partai politik demokratis mensaratkan tradisi politik egaliter, profesional, dan anti-dinastik.
Egaliter
Demikian halnya dengan kepemimpian ditubuh PAN kedepan dimana cengkeraman Amien Rais masih begitu terasa. Analogi yang tepat mungkin demikian: bahwa alasan Amien Rais berada detengah hiruk-pikuk suksesi kepemimpinan PAN karena didasarkan pada pertimbangan asas resiko dan konsekuensi yang dianggap mengancam keberlanjutan PAN. Terlalu bersiko bila PAN dilepas liar. PAN masih dipandang “partai belia”, perlu mendapat “momongan” dari induknya. Makanya PAN perlu dikawal hingga benar-benar dewasa, solid, dan terbangun loyalitas utuh.
Sebagai sosok politisi kawakan dan sudah banyak makan asam garam dibelantika politik nasional, tak diragukan lagi kepiawaian dan kebijaksanaannya. Langkah Amien Rais demikian agaknya didasarkan karena kepemimpinan PAN belum beranjak keluar dari fase transisi,  transisi lepas dari induknya secara struktural.
Masa-masa transisi inilah yang memaksanya untuk hadir, walau harus mengorbankan waktu dan tenaga. Amien Rais akan terus berkecimpung dalam lorong-lorong gelap politik kekuasaan. Sejatinya Amien rais memahami bahwa saatnya untuk tidak lagi menjadi bapak partai, tapi bapak bangsa yang melintasi beragam aspirasi dan kepentingan. Lebih dari itu, Amien Rais berpeluang mengantongi gelar “pahlawan nasional”. Ia adalah sosok yang cukup dikenal sebagai tokoh reformasi. Pelabelan paling spektakkuler dalam sejarah Indonesia.  
Oleh karenanya, sebelum PAN ditinggal jauh oleh Amien Rais, dimasa-masa transisi inilah waktunya bagi bagi PAN membangun sendi-sendi kepemimpinan yang egaliter. Ikon Amien Rais sebagai perekat partai maupun pengikat konstituen pasti suatu saat akan pudar ditelan zaman. Demi keberlanjutan PAN dimasa yang akan datang, PAN dituntut membenahi pola dan strategi kaderisasi kepemimpinannya yang lebih efektif memunculkan kader-kader dan calon pemimpin partai sekaligus pemimpin bangsa yang orisnil dan militan. Selain itu, mendesak bagi PAN untuk memantapkan kualitas maupun kuantitas konstituen yang tidak lagi bersandar pada ikon ketokohan, namun konstituen ideologis berbasis tanggung jawab, peran dan fungsi semestinya partai.  
»»  baca selengkapnya...

Rabu, 13 Januari 2010

Gusdur, Sosok Kosmopolit

Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Bapak pluralisme, Abdurrahman Wahid atau Gusdur, –begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memujinya- telah berpulang kepangkuan sang ilahi. Bagi warga Nahdiyin (Nahdatul Ulama), kepergian Gusdur tentu menyisakan sejuta tangisan. Lebih-lebih bagi bangsa ini, pikiran-pikiran dan tindakannya relevan hingga saat ini. Bicara soal kebebasan berfikir, pluralisme, hak asasi manusia (HAM), tidak bisa dilepaskan dari perjuangan sosok Gusdur. Pemikir, aktivis, sekaligus politisi muslim ini telah menginspirasi banyak orang di Indonesia hingga jajaran Internasional.
Secara fisik, Gusdur memang tidak akan kembali hadir memberi ceramah, pencerahan, bagi orang-orang dibelakangnya. Namun ide, gagasan, dan pengaruhnya akan tetap menyapa. Apa-apa yang diyakini Gusdur akan terus menemukan kesempurnaan narasinya dijagat pemikiran keislaman berkebangsaan, keindonesiaan dan kemanusiaan. Pengalaman keberagaman Indonesia menanti jawaban-jawaban keteguhan dan kosistensi ide dan gagasan Gusdur.
Sebagian orang memang melihat pemikiran Gusdur nyleneh, penuh parodi. Tapi dibalik itu semua sarat kritik-konstruktif. Sentilan-sentilan pemikiran yang disampaikan terasa renyah dipahami, tanpa mengaburkan substansi. Gusdur adalah prototipe pemikir yang mampu berbicara sesuai bahasa rakyatnya. Popularitas yang disandangnya tidak lepas dari pemikiran-pemikirannya yang disampaikan dengan bahasa populer, tapi sama sekali tidak mengurangi bobot keilmiahannya.
Intellectual tension  
Pemikiran-pemikiran nyeleneh Gusdur jika dikonfirmasi dengan ide dan gagasan besarnya akan ditemukan benang merah yang membuat siapa saja yang memahaminya mengamini. Gusdur hendak menciptakan situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan. Narasi-narasi pemikirannya yang tidak jarang berujung pada debatable dan kontroversial, sebagai hidangan yang “menjauhkan” antara normatifitas dan kebebasan berfikir. Antara normatifitas dan kebebasan berfikir tidak  hendak diletakkan secara “berhimpitan”, tapi perlu menjaga jarak. Dari sinilah ketegangan-ketegangan konstruktif intelektual (intellectual tension) akan dan terus muncul. Bagi Gusdur, ketegangan-ketegangan ini menjadi prasarat terciptanya dialektika, dialog.  
Sebagai sosok yang dibesarkan dalam tradisi keislaman yang kuat, Gusdur konsisten dengan alur berfikir yang tidak pernah melepaskan semangat keberislaman yang diyakininya. Pemikiran yang disajikan bertolak dari gagasan universalisme Islam sebagai prasarat mutlak mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin, berkeadilan sosial, kemanusiaan, dan antidiskriminasi. Pemikirannya mendasarkan diri pada realitas keberislaman Indonesia berikut kompleksitas dan keunikan yang didalamnya. Indonesia sebagai negara mayoritas muslim di dunia memungkinkan menemukan kejayaannya dengan jalan melirik ajaran universalisme Islam.
Indonesia dengan wajahnya yang heterogen, pluralis, multikultural, mulai dari agama, bahasa, budaya, suku, etnis, tidak bisa tidak memerlukan paradigma yang melampaui jawaban-jawaban pragmatis, dangkal, dan jangka pendek. Oleh karenanya tantangan eksklusifitas dan pemikiran sempit perlu dijawab dengan –meminjam istilah Gusdur- membangun kosmopolitanisme kreatif.
Kosmopolitan akan tercapai manakala terdapat keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat termasuk nonmuslim. Didalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang teguh pada kebenaran. Seperti disebut diatas, inilah yang disebut dengan menciptakan situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalitas Islam untuk terus menerus mewujud dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam bentuk-bentuk postulat belaka.
Bagi Gusdur, umat Islam harus keluar dari lorong-lorong gelap pemahaman normatif dan imperatif dengan mendengungkan kebebasan berfikir dan upaya keras para pemikir, budayawan, negarawan. Seruan yang juga didengungkan Gusdur, antara normatifitas dan kebenaran berfikir jangan diletakkan secara “berhimpitan”, tapi perlu menjaga jarak agar ketegangan-ketegangan intelektual (intellectual tension) dapat muncul kepermukaan. Situasi seperti itu akan menjadi motor kospolitanisme, sebuah keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan.
Untuk semua
Bila sepakat dengan ide dan gagasan Gusdur diatas, menampilkan kembali universalisasi Islam mutlak dilakukan. Agenda universalisasi Islam ini akan terasa lebih kegunaanya bagi umat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu-belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencengkeram kehidupan umat Islam di Indonesia. 
Hanya dengan menampilkan universalisme Islam, Islam akan mampu memberikan perangkat sumber-sumber manusia yang diperlukan. Seperti, menciptakan etika sosial baru yang penuh semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif. Secara substansial tentu tidak ada yang menolak ide dan gagasan Gusdur. Hanya saja, ketidakterimaannya terletak pada media, alat, atau cara menuju cita-cita itu.
Oleh karenanya, estafet ide dan gagasan Gusdur diatas tampaknya perlu terus menerus didengungkan. Kalau selama ini kecenderungan sebagian orang-orang dibelakangnya memilih jalur penokohan, saatnya untuk melembagakannya. Sebagai manusia biasa yang pastinya tidak lepas dari salah, upaya pelembagaan menjadi penting agar secara selektif dan kritis ide maupun gagasan Gusdur dapat dibaca secara proporsional. Sisi-sisi Gusdur yang tidak sejalan dengan garis dan pengalaman Indonesia perlu disari kembali atau dipertimbangkan sesuai tuntutan dan kebutuhan zaman, Indonesia yang terus dan pasti berubah.                                 
»»  baca selengkapnya...

Senin, 11 Januari 2010

Memanusiawikan keadilan hukum

Oleh Legiman
JUDUL di atas seolah menyimpan segumpal umpatan dalam kaitannya dengan keadilan hukum. Rupa-rupanya keadilan hukum kerap hadir tidak secara berimbang. Adil bagi yang satu, tapi tidak adil bagi lainnya. Padahal, keadilan adalah sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan (Abdurahman Wahid, 1995).
Umpatan tak sedap yang mengatakan bahwa hukum di negeri ini masih jauh dari semangat keadilan buat kalangan atau masyarakat kecil tampaknya bukan sekadar cibiran sinis tanpa dasar. Berbagai kasus yang mendesak hadirnya ketegasan hukum terjebak pada mekanisme formal yang acap menanggalkan dimensi keadilan. Hukum di negeri ini masih menyisakan wajah bopengnya, menghadirkan keadilan yang bukan sebenarnya.
Bagi masyarakat pendamba keadilan yang notabene jauh dari akses kekuasaan atau uang, hukum tak ubahnya seperti monster yang siap menelan. Masyarakat kecil dimata hukum tidak hendak diperjuangkan tapi malah menjadi korban. Hukum hanya cukup melihat siapa dan apa yang dilakukan berikut pasal apa dan ayat berapa yang kemudian digunakan untuk menjustifikasi kesalahan, tanpa menelisik lebih jauh mengapa kesalahan itu dibuat.
Alih-alih melihat dalam konteks seperti apa yang cocok untuk diterapkan, pasal dan ayat hukum menjadi kiblat buta dan siap menghantam siapa saja yang melanggarnya. Kasus-kasus seperti yang dialami Prita Mulyasari, Mbah Minah dengan beberapa biji coklat, dan kasuskasus sejenis lainnya adalah sederet korban yang tersubordinasi oleh dominasi kekuasaan dan uang terhadap hukum. Selantang apa pun perlawanan hukum dilakukan, ketika ketegasan hukum dibahasakan, sekali salah tetap salah. Akan berbeda realitasnya jika yang dijatuhi pasal dan ayat hukum adalah orang-orang the have atau memiliki modal politik yang kuat, bahasabahasa ketegasan hukum akan menjadi seremoni belaka. Rule of law tak berdaya. Kasus-kasus yang ada mungkin publik sudah banyak yang mafhum
Tidak sedikit pakar hukum dengan fasih menyuarakan pencerahan hukum. Dan tidak kurang lantangnya para juru bicara keadilan hukum melontarkan gagasan-gagasan keadilan. Salah satu sarat terwujudnya keadilan adalah dengan sudi keluar dari kungkungan formalitas baku yang ada. Artinya, hukum secara apik perlu diracik dengan perangkat pengetahuan sosiologis, misalnya, dalam proses-proses penetapannya. Sehingga, hukum akan lebih mantap melihat siapa dan mengapa pelanggaran dilakukan.
Dalam mengawal upaya pencerahan hukum, bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, walau harus mengorbankan segala kebakuankebakuan yang sudah mapan. Hanya saja, proses akhirnya tentu tergantung pada kerja keras dan ijtihad maksimal pemangku keputusan hukum agar menelurkan produkproduk hukum yang adil dan mampu memangkas sisi subjektivitas yang kerap ditutupi oleh imingiming materi dengan melanggar kode etik.
Kesepadanan
Sekedar perbandingan, dalam membangun kerangka metodologis sebagai ikhtiar mencerahkan hukum tampaknya perlu menyepadankan dan berkaca pada tradisi penemuan hukum Islam. Konstruksi hukum Islam yang bersumber dari dua sumber asasi yakni Alquran dan As-Sunnah dalam alam jagat pewacanaan cukup memiliki kekayaan. Kekayaan kerangka metodologis hukum Islam jika digarap serius menjanjikan terwujudnya kemaslahatan dengan bersendikan keadilan sejati.
Sumber asasi hukum Islam adalah Alquran dan As-Sunnah. Keduanya diyakini memiliki nilai dan kualitas absolut dan mutlak. Bahwa, pesan-pesan substansialnya benarbenar dihadirkan oleh sang pembuat hukum, yakni Allah SWT. Universalitas pesan keadilan wajib ditegakkan. Oleh karenanya segala tata aturan yang tidak mengindahkan dimensi keadilan adalah ditolak dan tidak patut ditegakkan. Dari alur logika itu, maka menegakkan hukum Allah SWT berarti menegakkan keadilan.
Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dituntut untuk mengembangkan kreativitas dan kapasitasnya, sebagai khalifah dan pengemban amanah, untuk terus mengaktualkan pesan universal dan substansial yang dianjurkan Allah SWT. Jalan dimaksud itulah yang akrab dikenal dengan ijtihad. Dengan modal ijtihad, aspek-aspek keadilan diturunkan yang kemudian menghasilkan produk-produk turunan hukum yang disesuaikan dengan konteks sosiologis, misalnya, di mana hukum itu diterapkan. Metodologi ijtihad yang kini popular dan masih dipegang teguh oleh orang-orang yang dinilai memiliki otoritas seperti qiyas, ijma’, istihsan, maslahah mursalah, ’urf, dan lain-lain.
Berbagai temuan gagasan terkait bangunan kerangka metodologi hukum Islam kian waktu pun terus membanjir. Yang paling menonjol adalah hermeunetika. Adalah sebuah keabsahan tentunya ditengah kemajuan ilmu pengetahuan mulai dari bahasa, sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya jika pengkajian hukum Islam memanfaatkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan tersebut. Sebab, bila hukum Islam tidak dibaca dan dipahami dengan metodologi yang mencerahkan dan hanya terjebak pada ’’pasalpasal” atau ayat-ayat yang tertera dalam sumber-sumber asasinya, sudah barang tentu akan menemui keganjilan dan kontradiksi hebat. Keganjilan atau kontradiksi itu salah satunya disebabkan oleh benturan semangat perubahan yang menuntut cara baca baru.
Tentu tidak bisa dinafikan bahwa latar historis petama kali hukum Islam diterapkan jauh berbeda dengan konteks saat ini. Dimensi keadilan yang intrinsik dalam hukum Islam dipengaruhi oleh semangat zaman, yakni perubahan konteks ruang dan waktu. Oleh karenanya, bicara soal keadilan tentu harus membuka mata melihat semangat perubahan yang menyertai. Siapa, kapan, di mana, mengapa, dan lain-lain perlu mendapat porsi lebih agar keadilan hukum dapat membekas.
Akhirnya, dalam menentukan hukum, penggunaan pola akal dan nurani perlu dikedepankan. Proses shifting paradigm dari pasal-pasal atau ayat ayat yang baku dan kaku mendesak untuk diupayakan dan dirintis secara berani, kritis dan analitik.
Tak terkecuali dalam kasus Prita Mulyasari misalnya, atau Mbah Minah yang mampu menyedot perhatian dan simpati publik, harus dilihat dalam semangat demokratisasi dan partisipasi dalam menentukan hukum sebagai konsekuensi perubahan sosiologis masyarakat yang kian sadar dan kritis. Di atas partisipasi itulah hukum akan berdiri di atas semangat kebutuhan dan aspirasi publik yang rindu akan keadilan, persamaan, dan kesederajatan hukum sejati. Kita pun pantas berdalih, bahwa hukum Allah SWT saja dalam batas-batas tertentu memungkinkan mengalami pergeseran pola dan konteks, apalagi hukum manusia! Legiman Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dimuat di Koran Sore Wawasan Monday, 11 January 2010
»»  baca selengkapnya...
Template by : kendhin x-template.blogspot.com