Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Sepakat atau tidak, dalam belantara pemikiran dan aksi keislaman berkebangsaan, keindonesiaan dan kemanusiaan, Abdurrahman Wahid (Gusdur) ibarat mutiara yang bersinar. Ide-ide cerdasnya sulit ditampik relevannya dalam konteks kekinian, kususnya di Indonesia. Sosok Gusdur menjadi buah bibir yang positif dalam sejarah bangunan inklusifitas atau keterbukaan bangsa yang saat ini sedang menuju pintu-pintu demokratisasi.
Berpulangnya Gusdur kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa nyaris menampar emosi kemanusiaan bangsa yang plural ini. Iring-iringan kesedihan diperlihatkan ribuan bahkan jutaan warga bangsa, juga dunia. Dibalik semarak duka cita itu, menyumbul dengan kasatnya kehendak untuk mengatakan; Selamat Jalan Gus….
Bermacam julukan disematkan disisinya. Ia dipuja sebagai bapak bangsa, guru pluralisme, pejuang kemanusiaan dan demokrasi, dan lain-lain. Usulan kepahlawanan (pahlawan nasional) Gusdur mengalir begitu derasnya. Walau usulan kepahlawanan Gusdur harus dihadapkan dengan proses panjang bahkan berbelit yang cenderung formalistik-birokratis, Gusdur secara defacto adalah pahlawanan. Artinya, diakui atau tidak oleh negara dan pemerintah, tidaklah mengurangi kepahlanwan Gusdur yang terbukti getol menyuarakan kesejahteraan wong cilik, kebebasan berfikir, demokrasi, dan anti diskiminasi lintas etnis dan agama. Kepahlawanan yang tidak hanya menasional, tapi juga mendunia. Hanya saja, untuk kepentingan menumbuhkan spirit dan motivasi kepahlanwan generasi bangsa ini, kepahlawanan nasional Gusdur mendesak diupayakan. Gusdur layak untuk dikenang, diabadikan, dan diingat sepanjang sejarah nasional Indonesia. Selain itu, penganugerahan kepahlawanan nasional bagi Gusdur agar bangsa ini tidak lagi dipandang sebagai bangsa yang melupakan pahlawan-pahlawannya.
Komitmen
Berteriak lantang menyuarakan kepahlawanan Gusdur bukanlah substansi menghargai jeri-payah Gusdur. Parahnya lagi jika seruan itu didasari motif-motif politis untuk meraup citra politik. Yang lebih urgen lagi adalah komitmen meneladani prinsip berfikir dan aksi yang melekat pada sosok Gusdur. Kebuntuan atas problem bangsa ini yang tanpa henti terus menerpa mulai dari kisruh hukum, politik, ekonomi sejatinya relevan menyandarkan jawaan-jawabannya pada prinsip-prinsip yang diyakini Gusdur. Jaring-jaring kepentingan pribadi, golongan dan politik telah mengerangkeng relasi emosional dan sosial-politik elit-elit partai politik. Tindak-tanduk relasi yang amat jauh dari keterbukaan sebagaimana menjadi komitmen Gusdur. Konflik elit yang ditandai dengan sikap curiga satu-sama lain, saling jegal, klaim pendiskriditan, dan sebagainya menandakan tidak adanya sikap terbuka (inclusive).
Komitmen pada prinsip inkusifitas Gusdur sudah teruji. Sejarah Inklusifitas Indonesia yang masih bersinar hingga detik ini tidak bisa dilepaskan dari pikiran dan aksi Gusdur. Komitmen Gusdur pada keterbukaan mampu melintasi jebakan-jebakan fragmentasi, varian-varian, dan pengkotak-kotakan yang cenderung ideologis dan tertutup (ekslusif).
Di era akhir 1980-an bersama tokoh-tokoh segaris dengannya seperti Abdullah Syarwani, Fahmi Saefuddin, Nasihin Hassan, dan orang-orang lebih muda seperti Slamet Effendi Yusuf, Ikhwan Syam, dan Masdar Farid Mas'udi -untuk menyebut beberapa saja- Gusdur menyerukan lompatan-lompatan yang menjembatani jurang pemisah relasi antar golongan yang dibungkus oleh kepentingan ideologis, seperti antara Islam dan negara, tradisional-modern dan lain-lain. Gusdur dan kawan-kawan telah mengawali intelektualisme Islam di Indonesia yang juga memperoleh dukungan-dukungan dari komunitas muda Islam terbaik. Islam tidak harus dibaca secara ideologis menurut ukuran 1950-an, tetapi bagaimana melihat Islam memiliki relevansi bagi kebutuhan komunitas bukan saja Islam, namun juga Indonesia.
Pada konteks ini Gusdur mengarahkan Nahdatul Ulama (NU), organisasi dakwah Islam sosial keagamaan terbesar di Indonesia, pada penciptaan free public sphere, tempat di mana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah dan penguatan pemberdayaan. Salah satu jalannya adalah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) yang digagas oleh oleh Gusdur. Gelombang besar generasi muda NU di jalur kultural sejak pertengahan 1990-an akhirnya merebak dan tumbuh mekar. Atau yang sering disebut “kultur hibrida”.
Gusdur dan PKB
Kendati demikian, sejak era reformasi orientasi Gusdur berbalik arah. Syahwat politik kekuasaan menancap kuat dalam diri Gusdur dan kalangan NU lainnya. Tanpa disadari independensi NU diterobos “tank-tank demokrasi”, yakni Partai Politik. Patai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kelahirannya tidak lepas dari sentuhan Gusdur menjebol dinding-dinding NU untuk ikut terlibat dalam dinamika politik praktis.
Ketidaklurusan orientasi Gusdur harus dilihat secara positif. Sosok Gusdur yang pada awalnya identik dengan aktivis kemudian menjadi punggawa gerakan civil society hingga kemudian mencapai puncaknya sebagai Presiden RI ke 3 adalah perubahan orientasi perjuangan yang dipengaruhi oleh dinamika sosial dan politik bangsa. Ke masa depan, warisan berserak baik dalam pemikiran atau pun aksi Gusdur perlu terus disirami. Gusdur sebagai aktivis, pemimpin ormas NU, maupun pemimpin PKB tidak harus dipertentangkan, tetapi ditarik benang merahnya agar orientasi yang sekilas berseberangan dapat didudukkan secara proposional.
Lebih-lebih bagi PKB. PKB yang selama ini dipandang sebagai anak kandung NU dituntut tanggung jawab moral-politiknya melerai dan meretas jalan baru PKB agar tidak lagi menampakkan wajah yang karut, sarat konflik kepentingan. Komitmen dan konsistensi inklusifitas Gusdur yang terejawantahkan dalam politik berpulang pada sejauhmana komitmen PKB menjadi partai yang terbuka.
Prinsip keterbukaan inilah semestinya menjadi pelecut bagi PKB menghilangkan sekat-sekat egoisme dan kepentingan pribadi. Pewaris satu-satunya yang paling sah menyirami, menyemai dan menyuburkan kembang-kembang pikiran dan pengalaman aksi Gusdur. Dengan keterbukaan, PKB diharapkan dapat menyatukan barisan untuk benar-benar memperjuangan aspirasi dan kepentingan bangsa, tidak hanya wargan NU tapi juga masyarakat dalam bingkai ke-Indonesiaan dan kebangsaan.
Akhirnya, pengakuan kepahlawanan Gusdur tidak hanya dilantunkan diatas kertas dan formalitas belaka, tapi bagaimana bangsa ini konsistensi dan komitmen meneladani kepahlawanan Gusdur. Hal ini sekaligus menjawab kegamangan sebagian kalangan yang mempertanyakan, bagaimana nasib bangsa, NU dan PKB sepeninggal Gusdur?
(Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Sepakat atau tidak, dalam belantara pemikiran dan aksi keislaman berkebangsaan, keindonesiaan dan kemanusiaan, Abdurrahman Wahid (Gusdur) ibarat mutiara yang bersinar. Ide-ide cerdasnya sulit ditampik relevannya dalam konteks kekinian, kususnya di Indonesia. Sosok Gusdur menjadi buah bibir yang positif dalam sejarah bangunan inklusifitas atau keterbukaan bangsa yang saat ini sedang menuju pintu-pintu demokratisasi.
Berpulangnya Gusdur kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa nyaris menampar emosi kemanusiaan bangsa yang plural ini. Iring-iringan kesedihan diperlihatkan ribuan bahkan jutaan warga bangsa, juga dunia. Dibalik semarak duka cita itu, menyumbul dengan kasatnya kehendak untuk mengatakan; Selamat Jalan Gus….
Bermacam julukan disematkan disisinya. Ia dipuja sebagai bapak bangsa, guru pluralisme, pejuang kemanusiaan dan demokrasi, dan lain-lain. Usulan kepahlawanan (pahlawan nasional) Gusdur mengalir begitu derasnya. Walau usulan kepahlawanan Gusdur harus dihadapkan dengan proses panjang bahkan berbelit yang cenderung formalistik-birokratis, Gusdur secara defacto adalah pahlawanan. Artinya, diakui atau tidak oleh negara dan pemerintah, tidaklah mengurangi kepahlanwan Gusdur yang terbukti getol menyuarakan kesejahteraan wong cilik, kebebasan berfikir, demokrasi, dan anti diskiminasi lintas etnis dan agama. Kepahlawanan yang tidak hanya menasional, tapi juga mendunia. Hanya saja, untuk kepentingan menumbuhkan spirit dan motivasi kepahlanwan generasi bangsa ini, kepahlawanan nasional Gusdur mendesak diupayakan. Gusdur layak untuk dikenang, diabadikan, dan diingat sepanjang sejarah nasional Indonesia. Selain itu, penganugerahan kepahlawanan nasional bagi Gusdur agar bangsa ini tidak lagi dipandang sebagai bangsa yang melupakan pahlawan-pahlawannya.
Komitmen
Berteriak lantang menyuarakan kepahlawanan Gusdur bukanlah substansi menghargai jeri-payah Gusdur. Parahnya lagi jika seruan itu didasari motif-motif politis untuk meraup citra politik. Yang lebih urgen lagi adalah komitmen meneladani prinsip berfikir dan aksi yang melekat pada sosok Gusdur. Kebuntuan atas problem bangsa ini yang tanpa henti terus menerpa mulai dari kisruh hukum, politik, ekonomi sejatinya relevan menyandarkan jawaan-jawabannya pada prinsip-prinsip yang diyakini Gusdur. Jaring-jaring kepentingan pribadi, golongan dan politik telah mengerangkeng relasi emosional dan sosial-politik elit-elit partai politik. Tindak-tanduk relasi yang amat jauh dari keterbukaan sebagaimana menjadi komitmen Gusdur. Konflik elit yang ditandai dengan sikap curiga satu-sama lain, saling jegal, klaim pendiskriditan, dan sebagainya menandakan tidak adanya sikap terbuka (inclusive).
Komitmen pada prinsip inkusifitas Gusdur sudah teruji. Sejarah Inklusifitas Indonesia yang masih bersinar hingga detik ini tidak bisa dilepaskan dari pikiran dan aksi Gusdur. Komitmen Gusdur pada keterbukaan mampu melintasi jebakan-jebakan fragmentasi, varian-varian, dan pengkotak-kotakan yang cenderung ideologis dan tertutup (ekslusif).
Di era akhir 1980-an bersama tokoh-tokoh segaris dengannya seperti Abdullah Syarwani, Fahmi Saefuddin, Nasihin Hassan, dan orang-orang lebih muda seperti Slamet Effendi Yusuf, Ikhwan Syam, dan Masdar Farid Mas'udi -untuk menyebut beberapa saja- Gusdur menyerukan lompatan-lompatan yang menjembatani jurang pemisah relasi antar golongan yang dibungkus oleh kepentingan ideologis, seperti antara Islam dan negara, tradisional-modern dan lain-lain. Gusdur dan kawan-kawan telah mengawali intelektualisme Islam di Indonesia yang juga memperoleh dukungan-dukungan dari komunitas muda Islam terbaik. Islam tidak harus dibaca secara ideologis menurut ukuran 1950-an, tetapi bagaimana melihat Islam memiliki relevansi bagi kebutuhan komunitas bukan saja Islam, namun juga Indonesia.
Pada konteks ini Gusdur mengarahkan Nahdatul Ulama (NU), organisasi dakwah Islam sosial keagamaan terbesar di Indonesia, pada penciptaan free public sphere, tempat di mana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah dan penguatan pemberdayaan. Salah satu jalannya adalah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) yang digagas oleh oleh Gusdur. Gelombang besar generasi muda NU di jalur kultural sejak pertengahan 1990-an akhirnya merebak dan tumbuh mekar. Atau yang sering disebut “kultur hibrida”.
Gusdur dan PKB
Kendati demikian, sejak era reformasi orientasi Gusdur berbalik arah. Syahwat politik kekuasaan menancap kuat dalam diri Gusdur dan kalangan NU lainnya. Tanpa disadari independensi NU diterobos “tank-tank demokrasi”, yakni Partai Politik. Patai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kelahirannya tidak lepas dari sentuhan Gusdur menjebol dinding-dinding NU untuk ikut terlibat dalam dinamika politik praktis.
Ketidaklurusan orientasi Gusdur harus dilihat secara positif. Sosok Gusdur yang pada awalnya identik dengan aktivis kemudian menjadi punggawa gerakan civil society hingga kemudian mencapai puncaknya sebagai Presiden RI ke 3 adalah perubahan orientasi perjuangan yang dipengaruhi oleh dinamika sosial dan politik bangsa. Ke masa depan, warisan berserak baik dalam pemikiran atau pun aksi Gusdur perlu terus disirami. Gusdur sebagai aktivis, pemimpin ormas NU, maupun pemimpin PKB tidak harus dipertentangkan, tetapi ditarik benang merahnya agar orientasi yang sekilas berseberangan dapat didudukkan secara proposional.
Lebih-lebih bagi PKB. PKB yang selama ini dipandang sebagai anak kandung NU dituntut tanggung jawab moral-politiknya melerai dan meretas jalan baru PKB agar tidak lagi menampakkan wajah yang karut, sarat konflik kepentingan. Komitmen dan konsistensi inklusifitas Gusdur yang terejawantahkan dalam politik berpulang pada sejauhmana komitmen PKB menjadi partai yang terbuka.
Prinsip keterbukaan inilah semestinya menjadi pelecut bagi PKB menghilangkan sekat-sekat egoisme dan kepentingan pribadi. Pewaris satu-satunya yang paling sah menyirami, menyemai dan menyuburkan kembang-kembang pikiran dan pengalaman aksi Gusdur. Dengan keterbukaan, PKB diharapkan dapat menyatukan barisan untuk benar-benar memperjuangan aspirasi dan kepentingan bangsa, tidak hanya wargan NU tapi juga masyarakat dalam bingkai ke-Indonesiaan dan kebangsaan.
Akhirnya, pengakuan kepahlawanan Gusdur tidak hanya dilantunkan diatas kertas dan formalitas belaka, tapi bagaimana bangsa ini konsistensi dan komitmen meneladani kepahlawanan Gusdur. Hal ini sekaligus menjawab kegamangan sebagian kalangan yang mempertanyakan, bagaimana nasib bangsa, NU dan PKB sepeninggal Gusdur?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar