Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Belum lama usai pelantikan presiden, wakil presiden, menteri, dan anggota DPR, isu kenaikan gaji mencuat. Rencana kenaikan hingga diberitakan hingga 20% itu pun menuai kritik. Pelbagai elemen masyarakat mulai dari pengamat, mahasiswa, LSM, bahkan sebagian politisi di senayan mengecam keras. Kebanyakan kecaman didasarkan pada persoalan relevansi. Ada kesan jomplang dengan kesejahteraan masyarakat. Artinya, kenaikan gaji kontradiktif dengan realitas negeri. Sementara kegalauan akrab ditengah kehidupan masyarakat, elit-elit politik dilingkungan senayan tanpa sungkan-sungkan memproduksi beragam isu rencana pengadaan fasilitas, kenaikan gaji.
Tentu persoalannya lebih dari itu. Ada semacam pembelajaran tidak sehat bagi proses membangun mental bangsa. Para pejabat hendak menyuburkan mentalitas malas (laziness) dan budaya instan (instant culture). Yakni, mendapatkan sesuatu tanpa proses, perjuangan dan kerja-kerja nyata yang peruntukannya bermanfaat bagi banyak orang. Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007) menyebutkan pada tahun 2005 peringkat produktivitas kerja Indonesia pada posisi 59 dari 60 negara. Anjloknya tingkat produktifitas tersebut karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing, disamping juga karena faktor budaya kerja yang masih lemah dan tidak merata.
Beruntung nian memang jadi pejabat di negeri ini. Fasilitas istimewa nan mewah mulai dari bangun tidur hingga berangkat ke dapur kerja semua tersedia. Demi mendorong kinerja dan mobilitas, mobil diadakan, gaji pun dinaikkan. Maka, selayaknya bagi pejabat berbalik memberi kesitimewaan bagi masyarakat. Antara hak dan kewajiban harus seimbang. Lebih dari itu, karena jabatan kenegaraan adalah pengabdian (dedication), pemenuhan kewajiban harusnya lebih dominan, kepentingan masyarakat luas diutamakan.
Saat ini, gaji presiden dan tunjangannya mencapai Rp 62 juta dan wakil presiden Rp 42 juta per bulan. Sedangkan Ketua DPR mencapai Rp 23 juta per bulan, sama dengan gaji Ketua Mahkamah Agung. Untuk Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) sekitar Rp 20 juta per bulan. Sedangkan para menteri dan pejabat setingkatnya mencapai Rp 18 juta per bulan. Jika benar-benar jadi dinaikkan hingga 20% tinggal dihitung saja berapa jumlahnya.
Menerima sesuatu tanpa diawali dengan memberi, jelas tidak baik. Menuntut hak atau gaji tanpa didahului kewajiban adalah tidak etis. Semestinya, memberi dan menerima, antara hak dan kewajiban harus seimbang. Secara hukum memang sah-sah saja. Dengan berbagai dalih dan logika para pemangku kepentingan, berbagai keputusan hukum dan politik ditelurkan untuk meluruskan langkah menaikkan gaji.
Bersikeras menaikkan gaji pejabat tanpa menghiraukan kritik dan penolakan sama halnya melangkahi kehendak pemilik kedaulatan. Memaksa sama saja mencuri, merampok, walau dengan bungkus yang legal, resmi dan bahkan dengan klaim-klaim konstitusional.
Mungkin satu-satunya benteng pendobrak mentalitas boros pejabat adalah sikap kenegarawanan. Kebijakan kenaikan gaji yang diributkan saat ini telah mengubur logika-logika pengabdian, kenegarawanan dan kesahajaan pejabat tinggi. Keikhlasan menjadi pejuang tergadaikan oleh motif-motif mencari laba politik, mengais sebanyak mungkin aset-aset negara untuk memenuhi kantong-kantong pribadi. Semangat kesahajaan dan kepahlawanan sunyi senyap ditelan tuntutan tanda jasa yang cenderung mengusik perasaan publik.
Setiap laku memang memiliki konsekuensi. Menjadi pejabat tinggi negara bukanlah tugas ringan. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa pejabat, pemberian hadiah atau fasilitas layak memang patut diberikan. Hal demikian merupakan konsekuensi logis yang pastinya diterima oleh pejabat dengan catatan berdasar karya dan prestasi. Memberi kelebihan fasilitas tanpa diimbangi dengan secercah karya dan kiprah merupakan penghargaan semu (awards pseudo). Bangsa ini tentu tidak ingin tersesat atau salah alamat dalam menjatuhkan pilihan-pilihan anak bangsa berprestasi.
Dibalik itu semua, konsekuensi lain yang mesti diunduh setelah mendapat hadiah adalah berjuang membenahi kinerja sesuai standar program yang diamanahkan, diatas sumpah janji yang diucapkan. Gaji, amanah dan janji setali tiga uang dengan jabatan. Tanpa menuntut gaji pun, jika amanah dan janji-janji dijalankan, sudah barang tentu simpati publik mengalir.
Keterpurukan bangsa ini, dominan disebabkan karena gurita praktek pencurian dengan modus korupsi. Korupsi kian berurat akar, menjalar ke segala sektor. Pejabat negara seyogyanya-lah mengawali dan menjadi panutan bagi pemberantasan korupsi. Bukan malah sebaliknya, menggerogoti anggaran negara untuk memenuhi keinginan pejabat tanpa didahului kerja-kerja nyata. Bagaimana jadinya bangsa ini jika ramai oleh para pemalak elit yang menodong pemegang kunci peti negara dan mendesak melegalkan kebijakan kenaikan gaji.
Kedepan, memupus budaya malas, menggumpalkan spirit kerja keras dalam berkarya atau mendahului kewajiban ketimbang hak perlu diawali oleh pejabat-pejabat negara. Sebagai panutan rakyat, sebaiknya pejabat negara mengunci pintu-pintu keinginan berlebih. Fasilitas yang diberikan jangan sampai melebihi batas-batas kebutuhan pejabat. Standar kebutuhan (standard of need) profesional tampaknya perlu diserukan bersama agar negara tidak terlanjur jauh jatuh dalam medan pemborosan anggaran negara. Masih banyak masyarakat yang lebih membutuhkan tinimbang memenuhi keinginan pejabat segelintir saja.
(Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Belum lama usai pelantikan presiden, wakil presiden, menteri, dan anggota DPR, isu kenaikan gaji mencuat. Rencana kenaikan hingga diberitakan hingga 20% itu pun menuai kritik. Pelbagai elemen masyarakat mulai dari pengamat, mahasiswa, LSM, bahkan sebagian politisi di senayan mengecam keras. Kebanyakan kecaman didasarkan pada persoalan relevansi. Ada kesan jomplang dengan kesejahteraan masyarakat. Artinya, kenaikan gaji kontradiktif dengan realitas negeri. Sementara kegalauan akrab ditengah kehidupan masyarakat, elit-elit politik dilingkungan senayan tanpa sungkan-sungkan memproduksi beragam isu rencana pengadaan fasilitas, kenaikan gaji.
Tentu persoalannya lebih dari itu. Ada semacam pembelajaran tidak sehat bagi proses membangun mental bangsa. Para pejabat hendak menyuburkan mentalitas malas (laziness) dan budaya instan (instant culture). Yakni, mendapatkan sesuatu tanpa proses, perjuangan dan kerja-kerja nyata yang peruntukannya bermanfaat bagi banyak orang. Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007) menyebutkan pada tahun 2005 peringkat produktivitas kerja Indonesia pada posisi 59 dari 60 negara. Anjloknya tingkat produktifitas tersebut karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing, disamping juga karena faktor budaya kerja yang masih lemah dan tidak merata.
Beruntung nian memang jadi pejabat di negeri ini. Fasilitas istimewa nan mewah mulai dari bangun tidur hingga berangkat ke dapur kerja semua tersedia. Demi mendorong kinerja dan mobilitas, mobil diadakan, gaji pun dinaikkan. Maka, selayaknya bagi pejabat berbalik memberi kesitimewaan bagi masyarakat. Antara hak dan kewajiban harus seimbang. Lebih dari itu, karena jabatan kenegaraan adalah pengabdian (dedication), pemenuhan kewajiban harusnya lebih dominan, kepentingan masyarakat luas diutamakan.
Saat ini, gaji presiden dan tunjangannya mencapai Rp 62 juta dan wakil presiden Rp 42 juta per bulan. Sedangkan Ketua DPR mencapai Rp 23 juta per bulan, sama dengan gaji Ketua Mahkamah Agung. Untuk Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) sekitar Rp 20 juta per bulan. Sedangkan para menteri dan pejabat setingkatnya mencapai Rp 18 juta per bulan. Jika benar-benar jadi dinaikkan hingga 20% tinggal dihitung saja berapa jumlahnya.
Menerima sesuatu tanpa diawali dengan memberi, jelas tidak baik. Menuntut hak atau gaji tanpa didahului kewajiban adalah tidak etis. Semestinya, memberi dan menerima, antara hak dan kewajiban harus seimbang. Secara hukum memang sah-sah saja. Dengan berbagai dalih dan logika para pemangku kepentingan, berbagai keputusan hukum dan politik ditelurkan untuk meluruskan langkah menaikkan gaji.
Bersikeras menaikkan gaji pejabat tanpa menghiraukan kritik dan penolakan sama halnya melangkahi kehendak pemilik kedaulatan. Memaksa sama saja mencuri, merampok, walau dengan bungkus yang legal, resmi dan bahkan dengan klaim-klaim konstitusional.
Mungkin satu-satunya benteng pendobrak mentalitas boros pejabat adalah sikap kenegarawanan. Kebijakan kenaikan gaji yang diributkan saat ini telah mengubur logika-logika pengabdian, kenegarawanan dan kesahajaan pejabat tinggi. Keikhlasan menjadi pejuang tergadaikan oleh motif-motif mencari laba politik, mengais sebanyak mungkin aset-aset negara untuk memenuhi kantong-kantong pribadi. Semangat kesahajaan dan kepahlawanan sunyi senyap ditelan tuntutan tanda jasa yang cenderung mengusik perasaan publik.
Setiap laku memang memiliki konsekuensi. Menjadi pejabat tinggi negara bukanlah tugas ringan. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa pejabat, pemberian hadiah atau fasilitas layak memang patut diberikan. Hal demikian merupakan konsekuensi logis yang pastinya diterima oleh pejabat dengan catatan berdasar karya dan prestasi. Memberi kelebihan fasilitas tanpa diimbangi dengan secercah karya dan kiprah merupakan penghargaan semu (awards pseudo). Bangsa ini tentu tidak ingin tersesat atau salah alamat dalam menjatuhkan pilihan-pilihan anak bangsa berprestasi.
Dibalik itu semua, konsekuensi lain yang mesti diunduh setelah mendapat hadiah adalah berjuang membenahi kinerja sesuai standar program yang diamanahkan, diatas sumpah janji yang diucapkan. Gaji, amanah dan janji setali tiga uang dengan jabatan. Tanpa menuntut gaji pun, jika amanah dan janji-janji dijalankan, sudah barang tentu simpati publik mengalir.
Keterpurukan bangsa ini, dominan disebabkan karena gurita praktek pencurian dengan modus korupsi. Korupsi kian berurat akar, menjalar ke segala sektor. Pejabat negara seyogyanya-lah mengawali dan menjadi panutan bagi pemberantasan korupsi. Bukan malah sebaliknya, menggerogoti anggaran negara untuk memenuhi keinginan pejabat tanpa didahului kerja-kerja nyata. Bagaimana jadinya bangsa ini jika ramai oleh para pemalak elit yang menodong pemegang kunci peti negara dan mendesak melegalkan kebijakan kenaikan gaji.
Kedepan, memupus budaya malas, menggumpalkan spirit kerja keras dalam berkarya atau mendahului kewajiban ketimbang hak perlu diawali oleh pejabat-pejabat negara. Sebagai panutan rakyat, sebaiknya pejabat negara mengunci pintu-pintu keinginan berlebih. Fasilitas yang diberikan jangan sampai melebihi batas-batas kebutuhan pejabat. Standar kebutuhan (standard of need) profesional tampaknya perlu diserukan bersama agar negara tidak terlanjur jauh jatuh dalam medan pemborosan anggaran negara. Masih banyak masyarakat yang lebih membutuhkan tinimbang memenuhi keinginan pejabat segelintir saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar