Rabu, 13 Januari 2010

Gusdur, Sosok Kosmopolit

Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Bapak pluralisme, Abdurrahman Wahid atau Gusdur, –begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memujinya- telah berpulang kepangkuan sang ilahi. Bagi warga Nahdiyin (Nahdatul Ulama), kepergian Gusdur tentu menyisakan sejuta tangisan. Lebih-lebih bagi bangsa ini, pikiran-pikiran dan tindakannya relevan hingga saat ini. Bicara soal kebebasan berfikir, pluralisme, hak asasi manusia (HAM), tidak bisa dilepaskan dari perjuangan sosok Gusdur. Pemikir, aktivis, sekaligus politisi muslim ini telah menginspirasi banyak orang di Indonesia hingga jajaran Internasional.
Secara fisik, Gusdur memang tidak akan kembali hadir memberi ceramah, pencerahan, bagi orang-orang dibelakangnya. Namun ide, gagasan, dan pengaruhnya akan tetap menyapa. Apa-apa yang diyakini Gusdur akan terus menemukan kesempurnaan narasinya dijagat pemikiran keislaman berkebangsaan, keindonesiaan dan kemanusiaan. Pengalaman keberagaman Indonesia menanti jawaban-jawaban keteguhan dan kosistensi ide dan gagasan Gusdur.
Sebagian orang memang melihat pemikiran Gusdur nyleneh, penuh parodi. Tapi dibalik itu semua sarat kritik-konstruktif. Sentilan-sentilan pemikiran yang disampaikan terasa renyah dipahami, tanpa mengaburkan substansi. Gusdur adalah prototipe pemikir yang mampu berbicara sesuai bahasa rakyatnya. Popularitas yang disandangnya tidak lepas dari pemikiran-pemikirannya yang disampaikan dengan bahasa populer, tapi sama sekali tidak mengurangi bobot keilmiahannya.
Intellectual tension  
Pemikiran-pemikiran nyeleneh Gusdur jika dikonfirmasi dengan ide dan gagasan besarnya akan ditemukan benang merah yang membuat siapa saja yang memahaminya mengamini. Gusdur hendak menciptakan situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan. Narasi-narasi pemikirannya yang tidak jarang berujung pada debatable dan kontroversial, sebagai hidangan yang “menjauhkan” antara normatifitas dan kebebasan berfikir. Antara normatifitas dan kebebasan berfikir tidak  hendak diletakkan secara “berhimpitan”, tapi perlu menjaga jarak. Dari sinilah ketegangan-ketegangan konstruktif intelektual (intellectual tension) akan dan terus muncul. Bagi Gusdur, ketegangan-ketegangan ini menjadi prasarat terciptanya dialektika, dialog.  
Sebagai sosok yang dibesarkan dalam tradisi keislaman yang kuat, Gusdur konsisten dengan alur berfikir yang tidak pernah melepaskan semangat keberislaman yang diyakininya. Pemikiran yang disajikan bertolak dari gagasan universalisme Islam sebagai prasarat mutlak mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin, berkeadilan sosial, kemanusiaan, dan antidiskriminasi. Pemikirannya mendasarkan diri pada realitas keberislaman Indonesia berikut kompleksitas dan keunikan yang didalamnya. Indonesia sebagai negara mayoritas muslim di dunia memungkinkan menemukan kejayaannya dengan jalan melirik ajaran universalisme Islam.
Indonesia dengan wajahnya yang heterogen, pluralis, multikultural, mulai dari agama, bahasa, budaya, suku, etnis, tidak bisa tidak memerlukan paradigma yang melampaui jawaban-jawaban pragmatis, dangkal, dan jangka pendek. Oleh karenanya tantangan eksklusifitas dan pemikiran sempit perlu dijawab dengan –meminjam istilah Gusdur- membangun kosmopolitanisme kreatif.
Kosmopolitan akan tercapai manakala terdapat keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat termasuk nonmuslim. Didalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang teguh pada kebenaran. Seperti disebut diatas, inilah yang disebut dengan menciptakan situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalitas Islam untuk terus menerus mewujud dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam bentuk-bentuk postulat belaka.
Bagi Gusdur, umat Islam harus keluar dari lorong-lorong gelap pemahaman normatif dan imperatif dengan mendengungkan kebebasan berfikir dan upaya keras para pemikir, budayawan, negarawan. Seruan yang juga didengungkan Gusdur, antara normatifitas dan kebenaran berfikir jangan diletakkan secara “berhimpitan”, tapi perlu menjaga jarak agar ketegangan-ketegangan intelektual (intellectual tension) dapat muncul kepermukaan. Situasi seperti itu akan menjadi motor kospolitanisme, sebuah keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan.
Untuk semua
Bila sepakat dengan ide dan gagasan Gusdur diatas, menampilkan kembali universalisasi Islam mutlak dilakukan. Agenda universalisasi Islam ini akan terasa lebih kegunaanya bagi umat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu-belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencengkeram kehidupan umat Islam di Indonesia. 
Hanya dengan menampilkan universalisme Islam, Islam akan mampu memberikan perangkat sumber-sumber manusia yang diperlukan. Seperti, menciptakan etika sosial baru yang penuh semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif. Secara substansial tentu tidak ada yang menolak ide dan gagasan Gusdur. Hanya saja, ketidakterimaannya terletak pada media, alat, atau cara menuju cita-cita itu.
Oleh karenanya, estafet ide dan gagasan Gusdur diatas tampaknya perlu terus menerus didengungkan. Kalau selama ini kecenderungan sebagian orang-orang dibelakangnya memilih jalur penokohan, saatnya untuk melembagakannya. Sebagai manusia biasa yang pastinya tidak lepas dari salah, upaya pelembagaan menjadi penting agar secara selektif dan kritis ide maupun gagasan Gusdur dapat dibaca secara proporsional. Sisi-sisi Gusdur yang tidak sejalan dengan garis dan pengalaman Indonesia perlu disari kembali atau dipertimbangkan sesuai tuntutan dan kebutuhan zaman, Indonesia yang terus dan pasti berubah.                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com