Kamis, 14 Januari 2010

PAN dan Bumerang Pemimpin Karismatik

Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
   
Pengalaman Kongres III Partai Amanat Nasional (PAN) di Batam, Kepulauan Riau, baru-baru ini, menjadi pelajaran berharga untuk menerawang nasib dan masa depan demokrasi di Indonesia. PAN merupakan salah satu pilar utama terbangunnya sendi-sendi demokrasi. Layak kiranya jika terawang demokrasi disandarkan pada partai reformis satu ini, dan tentunya juga partai-partai lainnya. Gejala yang hamper merata, partai politik (parpol) sulit melepaskan diri dari jeratan kepemimpinan sentralistik, menggantungkan pada karisma tokoh tertentu.
Kemasa depan, kepemimpinan karismatik akan menjadi duri dalam daging dan batu ganjalan bagi terselenggaranya demokrasi yang egaliter dan tranparan. 
Telah dipahami khalayak, satu agenda penting Kongres III PAN di Batam baru-baru ini menabuhkan genderang sepakat kepada Hatta Rajasa, rival Dradjat Hari Wibowo. Hatta Rajasa terpilih secara aklamasi tanpa voting. Mencuat gonjang-ganjing, keterpilihan tersebut tidak lepas dari kedipan mata Amien Rais. 
Ngemong partai
Spontan terlintas dibenak khalayak perihal partai berlambang matahari itu. PAN lahir berbarengan dengan euforia reformasi. Dari pemikiran dan aksi matang Amien Rais-lah PAN hadir mendengungkan ikrar sebagai partai pembaru, refomsi, terbuka, dan pluralis. Namun dalam perjalannya, tidak sedikit kalangan yang mencecar PAN. Face, postur dan langkahnya tersedak oleh gejala politik bercorak dinastik, oligarkis, dan patronasi. Fenomena Amien Rais yang terus “menyetubuhi” setiap gerak-gerik PAN menjadi bukti persetubuhan itu. Ditambah lagi sembulan iming-iming pragmatisme dan semilir angin kekuasaan yang berhembus dengan kencangnya hingga menusuk jantung-jantung idealisme PAN. Lebih-lebih pascapemilu 2009 lalu. 
Menggunakan kategori partai pemerintah dan oposisi, PAN dipastikan berada dalam dekapan pemerintah, partainya pemerintah. Artinya, untuk lima tahun kedepan dipastikan PAN berdiri tegak bergandengan tangan dengan pemerintah. Konsekuensinya, jika pemerintah diserbu citra buruk, sulit bagi PAN menghindari percikan getahnya. Tapi tidak sebaliknya. Bila pemerintah berhasil mengais citra positif, PAN akan tetap tertutupi bayang-bayang pemerintah.  
Kekhawatiran yang muncul, tersumbatnya kanal-kanal pesona daya pikat PAN dimata khalayak. Simpatisan atau konstituen PAN yang bisa dibilang masih labil dan belum kokoh berpotensi tunggang langgang mencari kiblat lain. PAN adalah inspirasi bagi warga kelas menengah yang cenderung rasional. PAN terancam oleh bergesernya suara warga Muhammadiyah yang dalam pengamatan sementara kalangan turut mendongkrak perolehan suara PAN. Kian bertambah usia PAN dan demokrasi Indonesia, PAN seolah menjaga jarak dengan Muhammadiyah. Kedekatan ideologis antara PAN dengan basis Muhammadiyah kurang disemai.
Pengalaman PAN dan Muhammadiyah cukup memberi warning bahwa kemunculannya bertalian dengan gejolak syahwat politik warga Muhammadiyah. Fenomena PAN sempat membikin geger Muhammadiyah karena banyak warga Muhammadiyah berduyun-duyun menjadi pengurus partai mulai dari pimpinan daerah, wilayah hingga pusat. Itu artinya, Muhammadiyah dan PAN memiliki hubungan simbiosa. PAN dalam perbincangan elit Muhammadiyah sempat disorot sebagai alat perjuangan politik Muhammadiyah walau tidak secara institusional dan organisatoris.
Gejala patronasi dalam tubuh PAN pada umumnya memang juga tengah menjangkiti partai-partai lainnya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tak bisa dilepaskan dari cengkeraman ketokohan karismatik Ibu Megawati Soekarno Putri yang mendompleng nama besar ayahnya, Soekarno, Presiden Indonesia pertama. Begitu pun dengan Partai Demokrat (PD) yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY adalah ikon tak terbantahkan menggawangi arah PD dan memiliki daya dekap yang teramat kuat. Maka, tantangan dan pekerjaan rumah dihadapan parpol saat ini adalah keluar dari jeratan ketokohan sentralistik, karismatik dan oligarkis. Kepemimpinan partai politik demokratis mensaratkan tradisi politik egaliter, profesional, dan anti-dinastik.
Egaliter
Demikian halnya dengan kepemimpian ditubuh PAN kedepan dimana cengkeraman Amien Rais masih begitu terasa. Analogi yang tepat mungkin demikian: bahwa alasan Amien Rais berada detengah hiruk-pikuk suksesi kepemimpinan PAN karena didasarkan pada pertimbangan asas resiko dan konsekuensi yang dianggap mengancam keberlanjutan PAN. Terlalu bersiko bila PAN dilepas liar. PAN masih dipandang “partai belia”, perlu mendapat “momongan” dari induknya. Makanya PAN perlu dikawal hingga benar-benar dewasa, solid, dan terbangun loyalitas utuh.
Sebagai sosok politisi kawakan dan sudah banyak makan asam garam dibelantika politik nasional, tak diragukan lagi kepiawaian dan kebijaksanaannya. Langkah Amien Rais demikian agaknya didasarkan karena kepemimpinan PAN belum beranjak keluar dari fase transisi,  transisi lepas dari induknya secara struktural.
Masa-masa transisi inilah yang memaksanya untuk hadir, walau harus mengorbankan waktu dan tenaga. Amien Rais akan terus berkecimpung dalam lorong-lorong gelap politik kekuasaan. Sejatinya Amien rais memahami bahwa saatnya untuk tidak lagi menjadi bapak partai, tapi bapak bangsa yang melintasi beragam aspirasi dan kepentingan. Lebih dari itu, Amien Rais berpeluang mengantongi gelar “pahlawan nasional”. Ia adalah sosok yang cukup dikenal sebagai tokoh reformasi. Pelabelan paling spektakkuler dalam sejarah Indonesia.  
Oleh karenanya, sebelum PAN ditinggal jauh oleh Amien Rais, dimasa-masa transisi inilah waktunya bagi bagi PAN membangun sendi-sendi kepemimpinan yang egaliter. Ikon Amien Rais sebagai perekat partai maupun pengikat konstituen pasti suatu saat akan pudar ditelan zaman. Demi keberlanjutan PAN dimasa yang akan datang, PAN dituntut membenahi pola dan strategi kaderisasi kepemimpinannya yang lebih efektif memunculkan kader-kader dan calon pemimpin partai sekaligus pemimpin bangsa yang orisnil dan militan. Selain itu, mendesak bagi PAN untuk memantapkan kualitas maupun kuantitas konstituen yang tidak lagi bersandar pada ikon ketokohan, namun konstituen ideologis berbasis tanggung jawab, peran dan fungsi semestinya partai.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com