Oleh: LEGIMAN
(Peminat masalah politik, mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan statemen politik sarat kecurigaan. Yakni, adanya gerakan “subversif” dengan mendompleng gerakan sosial, diarahkan pada gerakan politik yang merongrong kekuasaan SBY. Gerakan itu muncul berbarengan dengan peringatan Hari Anti Korupsi se-dunia 9 Desember 2009.
Sikap curiga itu tentu berlebihan. Ada semacam kegamangan kepercayaan diri sebagai pemangku kekuasaan tertinggi. Legitimasi politik yang dikantongi Presiden hingga 65 persen saat Pemilu lalu rupa-rupanya tidak membuat Presiden nyaman. Padahal, kalau Presiden berdiri diatas langkah yang benar kekhawatiran itu tidak seharusnya dihadirkan. Sejatinya, gerakan anti korupsi didudukkan sebagai dukungan terhadap SBY dalam upaya pemberantasan korupsi.
Atau, memang itulah gaya Presiden dalam membangun citra dan kesan? Yakni trik lama yang sudah menjadi rahasia umum. Dari situ publik akan menafsirkan bahwa SBY sedang dikeroyok secara sistematis dan terorganisir. Simpati dan prihatin diharapkan muncul dari publik. Disisi lain, Presiden menyemai api permusuhan dengan publik, menyulut genderang perang dengan tokoh masyarakat, kelompok, intelektual, para aktivis yang concern dalam pemberantasan korupsi.
Demokrasi dan gerakan sosial
Dalam iklim demokrasi yang kini sedang dirajut, kemunculan gerakan sosial merupakan hal wajar dan semestinya ada. Menggerakkan roda pemerintahan tanpa korupsi dan bersih dari kolusi dan nepotisme meniscayakan adanya transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas pemangku kekuasaan. “Tidak terhadap korupsi” dan demokrasi adalah setali tiga uang, berjalan seiring. Sementara itu demokrasi dan gerakan sosial pun ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam kerangka demokrasi dan gerakan sosial itulah transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas pemimpin ditegakkan, dipertaruhkan. Tujuannya tak lain adalah sebagai kontrol, kritik, dan sumbang-saran agar pemegang kekuasaan senantiasa berjalan diatas amanah rakyat, memberantas korupsi misalnya.
Pengalaman dibanyak negara dunia, lebih-lebih Eropa, atau Barat, demokrasi dan gerakan sosial (baca: civil society) adalah satu paket. Demokrasi tanpa civil society ibarat sayur yang berkuah tapi tanpa garam, akan terasa hambar. Atinya, tanpa garam, otoritarianisme, totalitarianisme, absolutisme, dan kediktatoran politik akan tetap bercokol. Civil society merupakan wahana artikulasi diri secara bebas bagi kelompok-kelompok sosial agar tercipta ruang-ruang sosial-politik.
Kalau pun belakangan ini benar-benar muncul gejala “subversif”, penggoyangan atau pelengseran terhadap pemerintahan SBY sebagamaina banyak diberitakan media massa, adalah sah-sah saja selama demokrasi –kedaulatan rakyat- tidak lagi memberi legitimasi bagi kepemimpinan SBY. Meminjam istilah Geovanni Sartori (1987: 206), demokrasi adalah sebuah sistem ketika seseorang tidak memilih dirinya sendiri, tidak bisa memberi kekuasaan kepada dirinya sendiri untuk memerintah, dan karenanya seseorang tidak bisa merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri dengan tanpa sarat dan tidak terbatas.
Dengan demikian jelas bahwa demokrasi dan civil society memiliki semangat perjumpaan. Maka, tepat jika dikatakan civil society adalah juga gerakan politik. Demokrasi sejati tidak mengenal toleransi selama pemerintahan atau kekuasaan yang ada mengidap kejanggalan-kejanggalan dan patologi, apalagi jika ditopang oleh gerakan sosial, civil society.
Tapi tampaknya wacana pemakzulan Presiden tidak mudah dibumikan. Kalaupun skandal Bank Century bakal melengserkan pejabat negara, kemungkinan terburuk adalah Srimulyani dan Boediono. Keduanya dinilai paling bertanggung jawab atas penggelontoran dana talangan 6,7 triliun rupiah yang kini masih misterius alias tidak jelas juntrungnya. Memang muaranya adalah ke Presiden. Namun membidikkan isu pemakzulan ke jantung dan lokus kekuasan SBY dirasa berpotensi menyedot resiko tidak sedikit.
Simalakama politik
Dalam bahasa Abu Rizal Bakrie (Ketua Umum Golkar) beberapa waktu lalu, Presiden harus diselamatkan. Inilah mungkin yang disebut “toleransi demokrasi” dengan berbagai pertimbangan, seperti stabilitas politik, citra bangsa beradab, dan harmonisasi. Adapun Srimulyani dan Boediono tidak memiliki sarat-sarat itu.
Sebagaimana jamak dipahami, Srimulyani dan Boediono muncul dipanggung pemerintahan tidak berangkat dari latar belakangan politik. keduanya dari kalangan profesional, bukan partai politik yang tidak memiliki massa pendukung dibelakangnya. Pertimbangan inilah yang menguatkan adanya kerawaann pelengseran keduanya.
Persoalan yang kemudian muncul, bagaimana mekanisme penggantian posisi Srimulyani, terkhusus Boediono bila kemudian hari konstelasi politik menghendaki keduanya lengser? Berdasarkan pilihan Presiden-kah? Atau, dimeja sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat? Atau bahkan, berdasar kalkulasi kekuatan politik? jika pilihannya yang terakhir, Golkar paling berpeluang. Pasalnya, partai berlambang pohon beringin ini adalah pemenang kedua Pemilu lalu setelah Partai Demokrat.
Perlu juga dicatat, pada posisi ini SBY sulit dibebankan keluasan prerogatifnya untuk memilih dan menunjuk sendiri wakil Presiden pengganti Boediono mengingat legitimasi SBY menguap, diantaranya disebabkan kasus Cicak versus Buaya (KPK dan Polri) maupun skandal Bank Century. Implikasi lain yang sulit dihindari adalah menguatnya konflik kepentingan politik.
Dengan demikian, simalakama politik mewarnai dinamika dan konstelasi politik. Mundur sulit, maju terbentur tembok keras dan terjerumus jurang nan terjal. Kendati demikian harus dicari jalan keluar dari kemelut politik tersebut. Pilihan politik bijak adalah mengambil jalan yang dirasa paling kecil resikonya.
Demokrasi memang perlu pengorbanan. Apapun resiko yang bakal membekas, korupsi dan berbagai skandal tidak suci lainnya yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat, bangsa dan negara harus dienyahkan dari muka bumi Indonesia dan diusut tuntas walau harus mengorbankan demokrasi prosedural. Tidak jadi soal jika demokrasi prosedural disisihkan asal tidak mengabaikan demokrasi substansial, yakni tujuan kesejaheteraan dan keadilan.
(Peminat masalah politik, mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan statemen politik sarat kecurigaan. Yakni, adanya gerakan “subversif” dengan mendompleng gerakan sosial, diarahkan pada gerakan politik yang merongrong kekuasaan SBY. Gerakan itu muncul berbarengan dengan peringatan Hari Anti Korupsi se-dunia 9 Desember 2009.
Sikap curiga itu tentu berlebihan. Ada semacam kegamangan kepercayaan diri sebagai pemangku kekuasaan tertinggi. Legitimasi politik yang dikantongi Presiden hingga 65 persen saat Pemilu lalu rupa-rupanya tidak membuat Presiden nyaman. Padahal, kalau Presiden berdiri diatas langkah yang benar kekhawatiran itu tidak seharusnya dihadirkan. Sejatinya, gerakan anti korupsi didudukkan sebagai dukungan terhadap SBY dalam upaya pemberantasan korupsi.
Atau, memang itulah gaya Presiden dalam membangun citra dan kesan? Yakni trik lama yang sudah menjadi rahasia umum. Dari situ publik akan menafsirkan bahwa SBY sedang dikeroyok secara sistematis dan terorganisir. Simpati dan prihatin diharapkan muncul dari publik. Disisi lain, Presiden menyemai api permusuhan dengan publik, menyulut genderang perang dengan tokoh masyarakat, kelompok, intelektual, para aktivis yang concern dalam pemberantasan korupsi.
Demokrasi dan gerakan sosial
Dalam iklim demokrasi yang kini sedang dirajut, kemunculan gerakan sosial merupakan hal wajar dan semestinya ada. Menggerakkan roda pemerintahan tanpa korupsi dan bersih dari kolusi dan nepotisme meniscayakan adanya transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas pemangku kekuasaan. “Tidak terhadap korupsi” dan demokrasi adalah setali tiga uang, berjalan seiring. Sementara itu demokrasi dan gerakan sosial pun ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam kerangka demokrasi dan gerakan sosial itulah transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas pemimpin ditegakkan, dipertaruhkan. Tujuannya tak lain adalah sebagai kontrol, kritik, dan sumbang-saran agar pemegang kekuasaan senantiasa berjalan diatas amanah rakyat, memberantas korupsi misalnya.
Pengalaman dibanyak negara dunia, lebih-lebih Eropa, atau Barat, demokrasi dan gerakan sosial (baca: civil society) adalah satu paket. Demokrasi tanpa civil society ibarat sayur yang berkuah tapi tanpa garam, akan terasa hambar. Atinya, tanpa garam, otoritarianisme, totalitarianisme, absolutisme, dan kediktatoran politik akan tetap bercokol. Civil society merupakan wahana artikulasi diri secara bebas bagi kelompok-kelompok sosial agar tercipta ruang-ruang sosial-politik.
Kalau pun belakangan ini benar-benar muncul gejala “subversif”, penggoyangan atau pelengseran terhadap pemerintahan SBY sebagamaina banyak diberitakan media massa, adalah sah-sah saja selama demokrasi –kedaulatan rakyat- tidak lagi memberi legitimasi bagi kepemimpinan SBY. Meminjam istilah Geovanni Sartori (1987: 206), demokrasi adalah sebuah sistem ketika seseorang tidak memilih dirinya sendiri, tidak bisa memberi kekuasaan kepada dirinya sendiri untuk memerintah, dan karenanya seseorang tidak bisa merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri dengan tanpa sarat dan tidak terbatas.
Dengan demikian jelas bahwa demokrasi dan civil society memiliki semangat perjumpaan. Maka, tepat jika dikatakan civil society adalah juga gerakan politik. Demokrasi sejati tidak mengenal toleransi selama pemerintahan atau kekuasaan yang ada mengidap kejanggalan-kejanggalan dan patologi, apalagi jika ditopang oleh gerakan sosial, civil society.
Tapi tampaknya wacana pemakzulan Presiden tidak mudah dibumikan. Kalaupun skandal Bank Century bakal melengserkan pejabat negara, kemungkinan terburuk adalah Srimulyani dan Boediono. Keduanya dinilai paling bertanggung jawab atas penggelontoran dana talangan 6,7 triliun rupiah yang kini masih misterius alias tidak jelas juntrungnya. Memang muaranya adalah ke Presiden. Namun membidikkan isu pemakzulan ke jantung dan lokus kekuasan SBY dirasa berpotensi menyedot resiko tidak sedikit.
Simalakama politik
Dalam bahasa Abu Rizal Bakrie (Ketua Umum Golkar) beberapa waktu lalu, Presiden harus diselamatkan. Inilah mungkin yang disebut “toleransi demokrasi” dengan berbagai pertimbangan, seperti stabilitas politik, citra bangsa beradab, dan harmonisasi. Adapun Srimulyani dan Boediono tidak memiliki sarat-sarat itu.
Sebagaimana jamak dipahami, Srimulyani dan Boediono muncul dipanggung pemerintahan tidak berangkat dari latar belakangan politik. keduanya dari kalangan profesional, bukan partai politik yang tidak memiliki massa pendukung dibelakangnya. Pertimbangan inilah yang menguatkan adanya kerawaann pelengseran keduanya.
Persoalan yang kemudian muncul, bagaimana mekanisme penggantian posisi Srimulyani, terkhusus Boediono bila kemudian hari konstelasi politik menghendaki keduanya lengser? Berdasarkan pilihan Presiden-kah? Atau, dimeja sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat? Atau bahkan, berdasar kalkulasi kekuatan politik? jika pilihannya yang terakhir, Golkar paling berpeluang. Pasalnya, partai berlambang pohon beringin ini adalah pemenang kedua Pemilu lalu setelah Partai Demokrat.
Perlu juga dicatat, pada posisi ini SBY sulit dibebankan keluasan prerogatifnya untuk memilih dan menunjuk sendiri wakil Presiden pengganti Boediono mengingat legitimasi SBY menguap, diantaranya disebabkan kasus Cicak versus Buaya (KPK dan Polri) maupun skandal Bank Century. Implikasi lain yang sulit dihindari adalah menguatnya konflik kepentingan politik.
Dengan demikian, simalakama politik mewarnai dinamika dan konstelasi politik. Mundur sulit, maju terbentur tembok keras dan terjerumus jurang nan terjal. Kendati demikian harus dicari jalan keluar dari kemelut politik tersebut. Pilihan politik bijak adalah mengambil jalan yang dirasa paling kecil resikonya.
Demokrasi memang perlu pengorbanan. Apapun resiko yang bakal membekas, korupsi dan berbagai skandal tidak suci lainnya yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat, bangsa dan negara harus dienyahkan dari muka bumi Indonesia dan diusut tuntas walau harus mengorbankan demokrasi prosedural. Tidak jadi soal jika demokrasi prosedural disisihkan asal tidak mengabaikan demokrasi substansial, yakni tujuan kesejaheteraan dan keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar