Jumat, 11 Desember 2009

Blunder Politik Century

Oleh: LEGIMAN
(Peminat masalah politik, kuliah pada program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Upaya penjajakan menyibak jalan terang skandal Bank Century kian menohok. Riak-riak dan dentuman suara “sejuta masyarakat” mulai dari elemen mahasiswa hingga statemen tokoh-tokoh bangsa turut mengawal derap langkah pengusutan dana gelap Rp 6,7 triliun. Dukungan itu tentu berbeda dengan logika dukungan melalui mekanisme hukum dan prosedur politik. Lalu, kemanakah angin dukungan “sejuta masyarakat” itu dilimpahkan? 
Dukungan “sejuta masyarakat” itu mungkin satu-satunya harapan yang tersisa, yakni sikap untuk tidak tunduk, tetap kritis dan tidak malas mendengungkan kebenaran yang datang dari sebuah generasi penerus “peradaban” Indonesia. Sebab, bukan tidak mungkin, “pembobolan illegal” diluar standar hukum dan prosedural-formal tersebut yang membuat rugi negara, merupakan fase jatuhnya “peradaban” Indonesia.
Meminjam optik sejarawan kawakan Ibnu Khaldun, sebuah peradaban sangat dipengaruhi dan terkait dengan perkembangan kekuasaan atau negara. Kasus Bank Century merupakan skandal kekuasaan yang bila tidak diluruskan secara jernih dengan mekanisme bijak, transparan, dan akuntabel, akan menguatkan kengerian massal, disorientasi demokrasi dan destabilitas politik seperti banyak dikhawatirkan sementara kalangan.
Blunder politik  
Masih terngiang pekat, baru-baru ini demokrasi langsung sebagai ajang pergulatan pencarian kalah menang dalam kekuasaan dirayakan melalui Pemilu. Fase pergulatan Pemilu ini adalah awal dari sebuah peradaban. Dan pada fase ini pula, penguasa (pemenang) dijadikan model. Berbagai kekuatan politik berkerumun dan berdesak-desakan meminta “jatah”, turut hanyut dalam model politik yang dimotori politik (penguasa) pemenang.
Fase berikutnya adalah gejala pemerintahan otokratik yang menjauh dari aspirasi rakyatnya (lupa akan janji-janji politik). Sayang, belum lagi fase ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan direngkuh, fase pemborosan menggurita. Skandal Bank Century dan sederet kasus-kasus korupsi lainnya adalah bukti otentik pemborosan.
Selain dukungan sejuta masyarakat, implikasi lain yang muncul kepermukaan adalah kegamangan kekuasaan dilingkungan elit politik, bahkan Presiden. Presiden sempat terlihat gusar. Desakan pemberhentian Srimulyani (Menteri Keuangan) menguat. Yang tak kalah serunya lagi agar Boediono (mantan Gubernur Bank Indonesia) dinonaktifkan. Sempat juga muncul wacana pemakzulan Presiden. Isarat politik pun memperlihatkan Bank Century tidak lagi berdiri diatas bendera kepercayaan penegakan hukum, tapi politik, dikerumuni pelbagai kepentingan politik, menjadi kue empuk dan barang komoditas politik bagi ragam kepentingan yang saling tumpang tindih. 
Keabsahan skandal Bank Century memang belum teruji. Namun dari aspek politik nyaris ditempatkan seolah-olah sebagai fakta yang benar. Sebagian kelompok atau individu merasa dirugikan, sementara yang lain diuntungkan.
Sampai disini kekuatan hukum tampak terpojok. Akibatnya dominasi politik membalikkan peran dan fungsi hukum dan politik, hukum dan politik mengalami kesenjangan. Artinya, hukum tidak lagi dipercaya sebagai penglima. Kasus ini sudah terlanjur di kantongi para pilitisi yang rawan penyalahgunaan. Perbedaan kepentingan sulit dihindari bahkan kepentingan yang saling kontradiksi. Akibatnya, proses penyelesaiannya pun kontra-produktif.
Pada akhirnya, kasus yang menggendong amanat “sejuta rakyat”, misi keadilan, kesejahteraan, transparansi dan akuntabilitas hukum dimanfaatkan untuk kesenangan dan kenyamanan segelincir orang yang telah diamanahi mengurus kekuasaan. Pengalaman hukum dan pilitik negeri ini acap diwarnai oleh ambiguitas. Hukum tidak berdaya, sementara politik kerap memperdayai hukum.
Sikap bijak
Agar gejala kritis sosial moral politik yang belakangan ini tampak bergeliat tidak terkooptasi kepentingan-kepentingan politik tertentu, gerakan sosial perlu diarahkan dukungannya terhadap penegakan hukum yang terlepas dari hiruk-pikuk pilitik kekuasaan. Pengidentifikasian ini menjadi penting ditengah ramalan spekulatif destabitas politik. Diatas lembaga-lembaga penegakan hukum yang ada mulai dari kejaksaan, kepolisian, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut dibubuhi dukungan agar segera mereposisi diri sekaligus menyatukan persepsi menggalang koordinasi menuntaskan bola panas kasus Bank Century.
Dukungan “sejuta masyarakat” kepada lembaga-lembaga hukum diatas diharapkan mampu melejitkan rasa kepercayaan diri hukum membuka tabir kelam kasus Bank Century. Hukum harus menjadi panglima. Sebab, dominannya peran politik tanpa disadari membuyarkan rasa kepercayaan diri terhadap hukum itu sendiri. Persoalannya bukan tidak mungkin akan lebih “njlimet”, “mbulet” dan melingkar-lingkar tanpa ujung.
Disamping itu, lembaga-lembaga negara lainnya juga dituntut tanggung jawab konsitutusional-moral dan profesionalitasnya adalah Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan lainnya. Sejak dini lembaga-lembaga itu seyogianya melakukan pembacaan antisipatif dari segala kemungkinan-kemungkinan disorientasi politik, inkonstitusional.
Dari lembaga-lembaga itulah gawang konstitusional dapat berdiri kokoh agar bola panas Bank Century tidak membobol pintu konsitusional. Sehingga, stabilisasi politik tetap terjaga sebagai modal penting menegakkan panji-panji keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dalam bingkai demokratisasi. Demokrasi harus berdiri diatas tatatan konstitusional, bukan demokrasi “bar-bar” yang mudah tersulut isu destabilitas politik. Obsesi dan optimisme tinggi bangsa ini dalam mendendangkan demokrasi yang transparan dan akuntabel perlu terus-menerus “dipaksakan untuk sematkan.
Bangsa ini tentu tidak ingin mengkonfirmasi kebenaran dan relevansi ramalan Ibnu Khaldun tentang kejatuhan sebuah peradaban yang diakibatkan oleh pemusatan kekuasaan tanpa transparansi dan akuntabiltas untuk menikmati keberhasilan kekuasaan itu. Yakni, kejatuhan yang ditandai oleh penggunaan uang negara yang merugikan. Dukungan sejuta masyarakat sebagai bukti sebuah generasi yang tidak malas dan tidak tunduk dengan terus menerus melakukan kritik perlu dijulangkan tinggi-tinggi. Dari sinilah kejatuhan peradaban Indonesia dapat dicegah. Sikap bijak dan konstitusional ditunggu pembumiannya.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com