Oleh Legiman
Polemik KPK-Polri yang belakangan membuat cemas, marah, dan waswas masyarakat pendamba keadilan kian meneguhkan remuk-redamnya wajah hukum dinegeri ini. Polemik itu pun sekaligus menyapu habis puja dan puji yang dialamatkan Indonesia sebagai negara demokratis.
Hukum yang sejatinya menjadi panglima sekaligus mengawal proses-proses demokratisasi begitu mudahnya terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan tertentu yang pun lahir dari rahim demokrasi itu sendiri.
Di tengah kebuntuan dan ketidakpastian hukum, pilihan keputusan politik yang tegas, cepat dan sigap agar hukum berdiri didepan menjadi panglima tak kunjung gelontorkan. Yang terjadi malah tarik ulur bak permaian yoyo. Alih-alih hukum menjadi panglima, yang terjadi malah penyanderaan terhadap hukum itu sendiri. Penyanderanya pun kerap berdiri demi dan atas nama demokrasi.
Hal demikian bisa bisa dibaca dari politik pengabaian Presiden, ketidaktegasan lembaga yudikatif, dan keberpihakan nyata salah kekuatan politik dari senayan (legislatif) terhadap salah satu pihak yang sedang berseteru.
Dukungan sejuta masyarakat terhadap KPK yang dinilai menjadi korban arogansi Polri dibalas oleh dukungan tandingan sebagian masyakat yang mendukung Polri. Di luar itu, ada juga unsur lembaga legislatif yang terkesan menjadi pengawal citra Polri di mata masyarakat, menjadi benteng pembela kebaikan-kebaikan Polri.
Pemberhentian Kasus
Selain itu, wacana memberhentikan kasus KPK-Polri dengan mencari jalan pintas biarpun didasarkan dalih ada pembenaran dari konstitusi juga bisa dilihat sebagai indikasi tersanderanya hukum oleh domain politik.
Demi kemaslahatan umum, bangsa dan negara, diteruskannya polemik KPK-Polri hanya akan meruntuhkan bangunan kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum, begitu kira-kira dalilnya. Oleh karenanya, berdasar dalih tersebut, wacana yang berkembang adalah penghentian kasus KPK vs Polri.
Rekonsiliasi atau apapun namanya antardua lembaga itu perlu digalakkan. Pada konteks ini, ingatan kolektif masyarakat hendak dibersihkan dari balada skandal hukum KPK-Polri.
Bila kisruh KPK-Polri berhenti tanpa ada kejelasan hukum dan transparansi duduk persoalan sebenarnya, tentu menjadi preseden tidak sehat bagi masa depan penegakan hukum berikut demokrasi. Itu artinya, ada saling ”tampar” atau bahkan konspirasi antara hukum dan demokrasi yang kini sedang dalam proses pematangan dan penguatan.
Hukum pada akhirnya akan diposisikan secara subordinat oleh kekuasaan. Kekuatan politik yang telah diakumulasi lewat proses-proses demokratisasi mengerdilkan akuntabilitas, kredibiltas dan objektivitas hukum. Dengan kekuasaan politik yang dimiliki salah satu lembaga demokrasi peraup suara terbanyak dalam Pemilu, hukum pun dikontrol. Bukan sebaliknya, yakni hukum sebagai pengontrol kekuatan politik.
Kita tentu tidak menginginkan hukum dipengaruhi, ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik. Apalagi jika hukum dijadikan sebagai alat justifikasi (pembenar) atas kehendak-kehendak pemegang kekuasaan politik yang dominan sehingga tidak dapat memainkan perannya sebagai alat kontrol dan penjaga batas-batas kekuasaan (Mahfud MD (1998: 49).
Sejatinyalah hukum menentukan dan memengaruhi kekuasaan (politik). Bukan malah sebaliknya, yakni ketika ketentuan dan asas hukum hanya berdiri sebagai pajangan karena lebih menentukan putusan dibelakangnya.
Asumsi-asumsi di atas tepat disandarkan pada polemik KPK-Polri yang sekaligus menyeret lembaga-lembaga demokrasi lainnya seperti kejaksaan dan legislatif bahkan Presiden.
Belum lama bangsa ini untuk kali kesekian merayakan pesta demokrasi melalui Pemilu, sebuah wahana penting aktualisasi konsep demokrasi. Sayangnya, demokrasi yang dilakoni tidak sepenuhnya membawa kemaslahatan karena hukum yang ada tidak memungkinkan untuk itu. Padahal hukum adalah nilai-nilai yang mengatur kekuasaan legitimsi produk demokrasi prosedural agar tidak terjadi kesenjangan-kesenjangan dalam pelaksanaannya.
Bila ditelisik lebih jauh lagi, kecelakaan sejarah demokrasi dan hukum adalah sebab-musabah mengapa hukum tidak mampu menjadi alat kontrol politik. Kemunculan demokrasi dan hukum di Indonesia tidak selaras dengan tesis yang mengatakan bahwa hukum hadir untuk melayani demokrasi.
Demokrasi muncul di tengah carut marut hukum. Dampaknya, hukum tak lebih dari pelayan demokrasi berikut kekuasaan yang ada di dalamnya. Hukum bukan menjadi panglima. Kekuatan politik yang merupakan produk aktualisasi demokrasi lewat pemilu akan lebih dilayani oleh hukum.
Tesis di atas ingin mengatakan, kehadiran hukum ada untuk membuka jalan terciptanya lembaga-lembaga demokrasi untuk mengakomodasi kepentingan atau aspirasi masyarakat. Jika demokrasi dan hukum muncul secara bergandengan, sistem hukum akan demokratis, menjadi panglima. Peluang-peluang mengkooptasi kekuasaan atas hukum bisa dihindari ketika hukum muncul bersamaan dengan demokrasi.
Sejarah muasal ketika hukum dan demokrasi itu muncul mencatat, prinsip demokrasi lahir sebagai saudara kembar dari prinsip hukum dalam negara-negara modern. Ketika gagasan demokrasi muncul kembali setelah tenggelam karena takluknya Romawi terhadap Eropa Barat, maka pemunculan itu diikuti oleh prinsip hukum sebagai prosedur untuk memproses aspirasi rakyat dan prosedur untuk menegakkannya. Jadi dapat diketahui bahwa revolusi Prancis yang merupakan tonggak berdirinya demokrasi sekaligus disusul pula dengan lahirnya negara hukum. Jadi demokrasi dan hukum itu lahir dari ibu kandung yang sama (Mahfud MD, 1999: 176).
Reformasi Hukum
Harapan meluruskan kecelakaan sejarah antara hukum dan demokrasi di atas tak lain adalah reformasi hukum secara menyeluruh sembari mengawal proses-proses demokratisasi. Pertanyaanya kemudian, di atas pundak siapa gawang reformasi itu layak untuk dipangggul?
Rekayasa dan skenario sistematis menjadikan hukum sebagai dagelan kekuasaan elite-elite politik yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat harus dicegah lewat seruan-seruan moral-politik dengan kontinuitas dan frekuensi yang lebih tinggi lagi. Potensi-potensi mempengaruhi hukum, kemunculan mafia peradilan, makelar kasus (markus), dan semisal akan tetap hadir jika reformasi hukum dan kontrol proses konsolidasi demokrasi tidak terus digalakkan.
Partai politik (parpol), misalnya, sebagai salah satu pilar demokrasi dan representasi kepentingan masyarakat di alam demokrasi perlu didorong untuk menjadi garda depan dan candradimuka reformasi hukum dan perbaikan-perbaikan demokrasi agar lebih transparan. (80)
—Legiman, mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Polemik KPK-Polri yang belakangan membuat cemas, marah, dan waswas masyarakat pendamba keadilan kian meneguhkan remuk-redamnya wajah hukum dinegeri ini. Polemik itu pun sekaligus menyapu habis puja dan puji yang dialamatkan Indonesia sebagai negara demokratis.
Hukum yang sejatinya menjadi panglima sekaligus mengawal proses-proses demokratisasi begitu mudahnya terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan tertentu yang pun lahir dari rahim demokrasi itu sendiri.
Di tengah kebuntuan dan ketidakpastian hukum, pilihan keputusan politik yang tegas, cepat dan sigap agar hukum berdiri didepan menjadi panglima tak kunjung gelontorkan. Yang terjadi malah tarik ulur bak permaian yoyo. Alih-alih hukum menjadi panglima, yang terjadi malah penyanderaan terhadap hukum itu sendiri. Penyanderanya pun kerap berdiri demi dan atas nama demokrasi.
Hal demikian bisa bisa dibaca dari politik pengabaian Presiden, ketidaktegasan lembaga yudikatif, dan keberpihakan nyata salah kekuatan politik dari senayan (legislatif) terhadap salah satu pihak yang sedang berseteru.
Dukungan sejuta masyarakat terhadap KPK yang dinilai menjadi korban arogansi Polri dibalas oleh dukungan tandingan sebagian masyakat yang mendukung Polri. Di luar itu, ada juga unsur lembaga legislatif yang terkesan menjadi pengawal citra Polri di mata masyarakat, menjadi benteng pembela kebaikan-kebaikan Polri.
Pemberhentian Kasus
Selain itu, wacana memberhentikan kasus KPK-Polri dengan mencari jalan pintas biarpun didasarkan dalih ada pembenaran dari konstitusi juga bisa dilihat sebagai indikasi tersanderanya hukum oleh domain politik.
Demi kemaslahatan umum, bangsa dan negara, diteruskannya polemik KPK-Polri hanya akan meruntuhkan bangunan kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum, begitu kira-kira dalilnya. Oleh karenanya, berdasar dalih tersebut, wacana yang berkembang adalah penghentian kasus KPK vs Polri.
Rekonsiliasi atau apapun namanya antardua lembaga itu perlu digalakkan. Pada konteks ini, ingatan kolektif masyarakat hendak dibersihkan dari balada skandal hukum KPK-Polri.
Bila kisruh KPK-Polri berhenti tanpa ada kejelasan hukum dan transparansi duduk persoalan sebenarnya, tentu menjadi preseden tidak sehat bagi masa depan penegakan hukum berikut demokrasi. Itu artinya, ada saling ”tampar” atau bahkan konspirasi antara hukum dan demokrasi yang kini sedang dalam proses pematangan dan penguatan.
Hukum pada akhirnya akan diposisikan secara subordinat oleh kekuasaan. Kekuatan politik yang telah diakumulasi lewat proses-proses demokratisasi mengerdilkan akuntabilitas, kredibiltas dan objektivitas hukum. Dengan kekuasaan politik yang dimiliki salah satu lembaga demokrasi peraup suara terbanyak dalam Pemilu, hukum pun dikontrol. Bukan sebaliknya, yakni hukum sebagai pengontrol kekuatan politik.
Kita tentu tidak menginginkan hukum dipengaruhi, ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik. Apalagi jika hukum dijadikan sebagai alat justifikasi (pembenar) atas kehendak-kehendak pemegang kekuasaan politik yang dominan sehingga tidak dapat memainkan perannya sebagai alat kontrol dan penjaga batas-batas kekuasaan (Mahfud MD (1998: 49).
Sejatinyalah hukum menentukan dan memengaruhi kekuasaan (politik). Bukan malah sebaliknya, yakni ketika ketentuan dan asas hukum hanya berdiri sebagai pajangan karena lebih menentukan putusan dibelakangnya.
Asumsi-asumsi di atas tepat disandarkan pada polemik KPK-Polri yang sekaligus menyeret lembaga-lembaga demokrasi lainnya seperti kejaksaan dan legislatif bahkan Presiden.
Belum lama bangsa ini untuk kali kesekian merayakan pesta demokrasi melalui Pemilu, sebuah wahana penting aktualisasi konsep demokrasi. Sayangnya, demokrasi yang dilakoni tidak sepenuhnya membawa kemaslahatan karena hukum yang ada tidak memungkinkan untuk itu. Padahal hukum adalah nilai-nilai yang mengatur kekuasaan legitimsi produk demokrasi prosedural agar tidak terjadi kesenjangan-kesenjangan dalam pelaksanaannya.
Bila ditelisik lebih jauh lagi, kecelakaan sejarah demokrasi dan hukum adalah sebab-musabah mengapa hukum tidak mampu menjadi alat kontrol politik. Kemunculan demokrasi dan hukum di Indonesia tidak selaras dengan tesis yang mengatakan bahwa hukum hadir untuk melayani demokrasi.
Demokrasi muncul di tengah carut marut hukum. Dampaknya, hukum tak lebih dari pelayan demokrasi berikut kekuasaan yang ada di dalamnya. Hukum bukan menjadi panglima. Kekuatan politik yang merupakan produk aktualisasi demokrasi lewat pemilu akan lebih dilayani oleh hukum.
Tesis di atas ingin mengatakan, kehadiran hukum ada untuk membuka jalan terciptanya lembaga-lembaga demokrasi untuk mengakomodasi kepentingan atau aspirasi masyarakat. Jika demokrasi dan hukum muncul secara bergandengan, sistem hukum akan demokratis, menjadi panglima. Peluang-peluang mengkooptasi kekuasaan atas hukum bisa dihindari ketika hukum muncul bersamaan dengan demokrasi.
Sejarah muasal ketika hukum dan demokrasi itu muncul mencatat, prinsip demokrasi lahir sebagai saudara kembar dari prinsip hukum dalam negara-negara modern. Ketika gagasan demokrasi muncul kembali setelah tenggelam karena takluknya Romawi terhadap Eropa Barat, maka pemunculan itu diikuti oleh prinsip hukum sebagai prosedur untuk memproses aspirasi rakyat dan prosedur untuk menegakkannya. Jadi dapat diketahui bahwa revolusi Prancis yang merupakan tonggak berdirinya demokrasi sekaligus disusul pula dengan lahirnya negara hukum. Jadi demokrasi dan hukum itu lahir dari ibu kandung yang sama (Mahfud MD, 1999: 176).
Reformasi Hukum
Harapan meluruskan kecelakaan sejarah antara hukum dan demokrasi di atas tak lain adalah reformasi hukum secara menyeluruh sembari mengawal proses-proses demokratisasi. Pertanyaanya kemudian, di atas pundak siapa gawang reformasi itu layak untuk dipangggul?
Rekayasa dan skenario sistematis menjadikan hukum sebagai dagelan kekuasaan elite-elite politik yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat harus dicegah lewat seruan-seruan moral-politik dengan kontinuitas dan frekuensi yang lebih tinggi lagi. Potensi-potensi mempengaruhi hukum, kemunculan mafia peradilan, makelar kasus (markus), dan semisal akan tetap hadir jika reformasi hukum dan kontrol proses konsolidasi demokrasi tidak terus digalakkan.
Partai politik (parpol), misalnya, sebagai salah satu pilar demokrasi dan representasi kepentingan masyarakat di alam demokrasi perlu didorong untuk menjadi garda depan dan candradimuka reformasi hukum dan perbaikan-perbaikan demokrasi agar lebih transparan. (80)
—Legiman, mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dimuat di Harian Suara Merdeka 20 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar