Oleh: LEGIMAN
(Peserta Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Seteru KPK-Polri kian memuncak. Elit-elit disekeliling dua lembaga yang sedang “berperang” itu sibuk dengan jampi-jampi hukum sebagai manuver untuk saling menjatuhkan, mendelegitimasi antarsatu dengan lainnya. Pembunuhan karakter tak terhindarkan. Semuanya berdiri diatas klaim keadilan, demokrasi, dan penegakan hukum. Bongkar pasang pasal hukum, teriakan atas nama rakyat, hingga bersumpah diatas kesucian Tuhan (Allah) pun tak luput disuarakan secara nyaring, walau tak sedap didengar.
Lembaga-lembaga demokrasi lainnya seperti Presiden, kejaksaan, maupun legislatif pun demikian. Ibarat kesebelasan sepakbola, saling tendang bola keadilan menjadi fenomena memilukan. Berbeda dengan permainan sepakbola sebenarnya, perang yang berawal dari kisruh KPK-Polri kali ini tidak menampakkan soliditas dan kerjasama. Padahal, lembaga-lembaga diatas sejatinya menjadi punggawa dan candradimuka penegakan keadilan. Bukan tidak mungkin, jika komitmen terpatri kuat dalam lubuk lembaga-lembaga demokrasi yang ada, titik terang keadilan hukum bukanlah hal yang sulit. Bola keadilan akan melesat dengan mudahnya masuk ke gawang yang jauh-jauh hari dinantikan publik pendamba keadilan.
Diluar seteru level elit, masyarakat akar rumput pun turut terpola, terkotak-kotak. Variasi aspirasi dan dukungan membahana. Sikap pro-kontra dan dukungan baik terhadap KPK mapun Polri mewarnai gerak irama suara rakyat yang notabene sumber asali demokrasi. Pada konteks inilah gugatan patut ditorehkan diatas cap dan label demokrasi. Jika semuanya berdiri diatas demokrasi lalu siapa pengibar demokrasi yang sebenarnya? Atau, memang wajah demokrasi selalu berwajah ganda yang satu membawa anarki disamping juga membopong cita-cita keadilan?
Nir-demokrasi
Diatas kertas, konsep demokrasi tak elak mengemban misi suci nan mulia. Jargon satu ini merupakan alternatif bagi masyarakat berkeadaban, modern, dan prasarat ditengah kerumunan manusia-manusia rasional. Pelbagai gejolak kepentingan, subjektifitas aspirasi, dan kecenderungan berkebutuhan yang beragam dapat terkondisikan dengan cara yang relatif damai, aman dan lebih selamat. Panggung sejarah kekuasaan membuktikan, ketika demokrasi tidak dijunjung tinggi, kesewenang-wenangan menjamur tanpa sedikitpun menampakkan wajah kompromi. Bagi kita, demokrasi bak dewa penyelamat yang seakan sudi digantungkan segudang harapan-harapan terwujudnya peran-peran yang relatif bebas tanpa tekanan dan intimidasi. Tak elak, rakyat sendirilah yang turut andil dalam membangun demokrasi.
Hanya saja, cita-cita ideal sistem politik pada saat terlembagakan secara rapih dan prosedural, kesewenang-wenangan bukannya memudar dan hilang, tapi muncul dengan tampilan yang lebih halus serta memberi kesan memukau. Rakyat terhipnotis oleh fenomena menjamurnya lembaga-lembaga negara yang merepresentasikan cita-cita demokrasi. Demokrasi prosedural memunculkan elit-elit politik berkarakter transaksional. Korupsi, suap-menyuap, dan semisalnya yang bersembunyi dibalik jubah konspirasi dan politik transaksional merupakan contoh kesewenang-wenangan gaya baru dengan bungkus yang tampak elok bahkan legal. Elit-elit lembaga-lembaga demokrasi berkerumun menyesaki pundi-pundi yang dinilai potensial dan menjanjikan buat kepentingan pribadi dan golongan.
Lebih dari sepuluh tahun proses pelembagaan demokrasi berjalan. Sayangnya, seiring dengan proses-proses itu, tindak-tanduk nir-demokrasi kian mengental yang memaksa rakyat untuk kembali menyambangi proses-proses diluar kelembagaan. Pelbagai ekspresi dan ragam wahana dilakukuan rakyat untuk mendobrak kebuntuan dan nasib diujung tanduk lembaga demokrasi. Lihat saja, demonstrasi jalanan kian marak, misal. Yang tak kalah seru lagi adalah partisipasi ribuan rakyat lewat jejaring sosial maya, facebook, secara beramai-ramai mengecam lembaga-lembaga demokrasi.
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Mungkin itu bahasa yang pas dilekatkan disaat kesewenang-wenangan kembali merajai. Protes lantang dan oposisi mutlak rakyat seolah sudah menjadi hukum alam disaat negara berikut lembaga-lembaga demokrasi mengalami kebuntuan aspirasi. Suara-suara Tuhan akan terus hadir menggalang kekuatan jika tradisi hegemoni, dominasi, dan kesewenang-wenangan muncul.
Revolusi hukum
Demokrasi adalah suara rakyat sementara suara rakyat merupakan suara Tuhan yang bernuansa transendental diatas tampaknya patut digarisbawahi. Proses-proses konsolidasi demokrasi yang selama ini dinilai kian mantap sekonyong-konyong dikaburkan oleh fenomena demokrasi transaksional yang dilakoni-elit-elit politik. Terhentinya denyut nadi konsolidasi demokrasi berarti berhenti pula tingkat kepercayaan rakyat. Negeri ini tentu tidak menginginkan bila fenomena kisruh KPK-Polri dan kegamangan lembaga-lembaga lainnya berujung pada anti-klimaks demokrasi.
(Peserta Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Seteru KPK-Polri kian memuncak. Elit-elit disekeliling dua lembaga yang sedang “berperang” itu sibuk dengan jampi-jampi hukum sebagai manuver untuk saling menjatuhkan, mendelegitimasi antarsatu dengan lainnya. Pembunuhan karakter tak terhindarkan. Semuanya berdiri diatas klaim keadilan, demokrasi, dan penegakan hukum. Bongkar pasang pasal hukum, teriakan atas nama rakyat, hingga bersumpah diatas kesucian Tuhan (Allah) pun tak luput disuarakan secara nyaring, walau tak sedap didengar.
Lembaga-lembaga demokrasi lainnya seperti Presiden, kejaksaan, maupun legislatif pun demikian. Ibarat kesebelasan sepakbola, saling tendang bola keadilan menjadi fenomena memilukan. Berbeda dengan permainan sepakbola sebenarnya, perang yang berawal dari kisruh KPK-Polri kali ini tidak menampakkan soliditas dan kerjasama. Padahal, lembaga-lembaga diatas sejatinya menjadi punggawa dan candradimuka penegakan keadilan. Bukan tidak mungkin, jika komitmen terpatri kuat dalam lubuk lembaga-lembaga demokrasi yang ada, titik terang keadilan hukum bukanlah hal yang sulit. Bola keadilan akan melesat dengan mudahnya masuk ke gawang yang jauh-jauh hari dinantikan publik pendamba keadilan.
Diluar seteru level elit, masyarakat akar rumput pun turut terpola, terkotak-kotak. Variasi aspirasi dan dukungan membahana. Sikap pro-kontra dan dukungan baik terhadap KPK mapun Polri mewarnai gerak irama suara rakyat yang notabene sumber asali demokrasi. Pada konteks inilah gugatan patut ditorehkan diatas cap dan label demokrasi. Jika semuanya berdiri diatas demokrasi lalu siapa pengibar demokrasi yang sebenarnya? Atau, memang wajah demokrasi selalu berwajah ganda yang satu membawa anarki disamping juga membopong cita-cita keadilan?
Nir-demokrasi
Diatas kertas, konsep demokrasi tak elak mengemban misi suci nan mulia. Jargon satu ini merupakan alternatif bagi masyarakat berkeadaban, modern, dan prasarat ditengah kerumunan manusia-manusia rasional. Pelbagai gejolak kepentingan, subjektifitas aspirasi, dan kecenderungan berkebutuhan yang beragam dapat terkondisikan dengan cara yang relatif damai, aman dan lebih selamat. Panggung sejarah kekuasaan membuktikan, ketika demokrasi tidak dijunjung tinggi, kesewenang-wenangan menjamur tanpa sedikitpun menampakkan wajah kompromi. Bagi kita, demokrasi bak dewa penyelamat yang seakan sudi digantungkan segudang harapan-harapan terwujudnya peran-peran yang relatif bebas tanpa tekanan dan intimidasi. Tak elak, rakyat sendirilah yang turut andil dalam membangun demokrasi.
Hanya saja, cita-cita ideal sistem politik pada saat terlembagakan secara rapih dan prosedural, kesewenang-wenangan bukannya memudar dan hilang, tapi muncul dengan tampilan yang lebih halus serta memberi kesan memukau. Rakyat terhipnotis oleh fenomena menjamurnya lembaga-lembaga negara yang merepresentasikan cita-cita demokrasi. Demokrasi prosedural memunculkan elit-elit politik berkarakter transaksional. Korupsi, suap-menyuap, dan semisalnya yang bersembunyi dibalik jubah konspirasi dan politik transaksional merupakan contoh kesewenang-wenangan gaya baru dengan bungkus yang tampak elok bahkan legal. Elit-elit lembaga-lembaga demokrasi berkerumun menyesaki pundi-pundi yang dinilai potensial dan menjanjikan buat kepentingan pribadi dan golongan.
Lebih dari sepuluh tahun proses pelembagaan demokrasi berjalan. Sayangnya, seiring dengan proses-proses itu, tindak-tanduk nir-demokrasi kian mengental yang memaksa rakyat untuk kembali menyambangi proses-proses diluar kelembagaan. Pelbagai ekspresi dan ragam wahana dilakukuan rakyat untuk mendobrak kebuntuan dan nasib diujung tanduk lembaga demokrasi. Lihat saja, demonstrasi jalanan kian marak, misal. Yang tak kalah seru lagi adalah partisipasi ribuan rakyat lewat jejaring sosial maya, facebook, secara beramai-ramai mengecam lembaga-lembaga demokrasi.
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Mungkin itu bahasa yang pas dilekatkan disaat kesewenang-wenangan kembali merajai. Protes lantang dan oposisi mutlak rakyat seolah sudah menjadi hukum alam disaat negara berikut lembaga-lembaga demokrasi mengalami kebuntuan aspirasi. Suara-suara Tuhan akan terus hadir menggalang kekuatan jika tradisi hegemoni, dominasi, dan kesewenang-wenangan muncul.
Revolusi hukum
Demokrasi adalah suara rakyat sementara suara rakyat merupakan suara Tuhan yang bernuansa transendental diatas tampaknya patut digarisbawahi. Proses-proses konsolidasi demokrasi yang selama ini dinilai kian mantap sekonyong-konyong dikaburkan oleh fenomena demokrasi transaksional yang dilakoni-elit-elit politik. Terhentinya denyut nadi konsolidasi demokrasi berarti berhenti pula tingkat kepercayaan rakyat. Negeri ini tentu tidak menginginkan bila fenomena kisruh KPK-Polri dan kegamangan lembaga-lembaga lainnya berujung pada anti-klimaks demokrasi.
Daya pikat yang menarik rakyat untuk turut andil dalam hiruk-pikuk proses demokeasi online atau parlemen jalanan harus ditempatkan sebagai fenomena gerak obsesi akan kerinduan keadilan hukum. Oleh karenanya, untuk bisa selamat dari gejala anti-klimaks demokrasi, revolusi hukum tak bisa dielakkan dan ditawar-tawar. “Revolusi” teknologi, politik, dan sosial-kebudayaan sudah pernah dirasakan bangsa ini.
Keadilan sejati diatas bumi negara hukum tak bisa tidak adalah dengan menjadikan hukum sebagai panglima. Panglima simbolis yang merupakan produk dari demokrasi. Demokrasi harus berbuah keadilan, bukan demokrasi “mandul” bak macan ompong yang menafikan hukum. Hanya dengan revolusi hukum-lah anti-klimaks demokrasi yang menakutkan dapat terhindarkan sedini mungkin. Yakni, revolusi yang meniscayakan perubahan pola hukum yang mendatangkan keadilan dan persamaan.
Keadilan sejati diatas bumi negara hukum tak bisa tidak adalah dengan menjadikan hukum sebagai panglima. Panglima simbolis yang merupakan produk dari demokrasi. Demokrasi harus berbuah keadilan, bukan demokrasi “mandul” bak macan ompong yang menafikan hukum. Hanya dengan revolusi hukum-lah anti-klimaks demokrasi yang menakutkan dapat terhindarkan sedini mungkin. Yakni, revolusi yang meniscayakan perubahan pola hukum yang mendatangkan keadilan dan persamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar