Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Senandung kemenangan pasca diumumkannya hasil Ujian Nasional [UN] tingkat SMA dan sederajat menggema diseantero nusantara. Sorak-sorai ribuan siswa yang lulus UN bisa dimaknai sebagai luapan kesuksesan melewati proses-proses pendidikan selama tiga tahun. Disamping ekspresi girang itu, isak tangis dan kekecewaan pun mendera para siswa yang tidak lulus.
Bagi siswa yang lulus, ekspresi luapan kesuksesan disamping diperlihatkan oleh raut wajah girang dan berbunga-bunga, coret-coret almamater seakan menjadi tradisi. Pun, tidak sedikit siswa yang tumpah ruah dijalanan menggunakan sepeda motor. Rutinitas tiga tahunan itu sempat memusingkan polisi lalu lintas maupun para pengguna jalan.
Singkatnya, aroma kemenangan seakan mewarnai lubuk hati para siswa yang lulus. Pihak-phak yang tak luput dari aroma kemenangan adalah para guru atau pihak sekolah hingga orang tua siswa. Pertayaannya, sejauhmanakah makna kemengan siswa itu ketika dihadapkan dengan kekalahan bangsa saat ini? Atau, manakah yang lebih bermakna, kemenangan tapi tidak jujur dibandingkan siswa yang gagal tapi berusaha dengan sekuat tenaga tanpa ditopang bocoran jawaban?
Sorotan Kritik
Idealnya, kemenangan atau kelulusan siswa dalam mengikuti UN tidak disokong kecurangan atau intervensi makelar kunci jawaban, akan tetapi dengan usaha dan jeri payah keras, yakni belajar. Sayang, slogan menjunjung tinggi martabat dan wajah pendidikan untuk tidak berlaku curang dalam UN seakan terkubur oleh selentingan-selentingan berita terkait kecurangan yang kerap menimpa penyeleggaraan pendidikan. Modusnya, salah satunya adalah kolaborasi dan sinergi antara guru dan siswa.
Sudah menjadi alasan klasik bahwa motif dibalik kolaborasi antara guru atau pihak sekolah dengan murid adalah sama-sama merengkuh keuntungan status quo. Atinya, image positif sekolah dimata publik terletak dipundak siswa. Pada ranah ini pihak sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk meluluskan siswanya agar citra sekolah tetap terjaga.
Pada konteks inilah tanpa disadari siswa dieksploitasi dalam bingkai bangunan citra. Kesempatan yang luas karena kurangnya komitmen memberikan proteksi dan regulasi menghalau kerja-kerja nepotisme gaya baru di dunia pendidikan nyaris mengajarkan siswa untuk tidak jujur. Dan tanpa disadari pula, kelulusan dan kemenangan yang direngkuh oleh siswa dan orang tua siswa atau citra positif sekolah adalah kemengan semu, status quo dan meninabobokkan.
Begitulah konsekuensi hasrat para petinggi atau elit pendidikan negeri ini dalam membagun wajah pendidikan dengan standarisasi UN tapi tidak diimbangi dengan birokrasi dan manajemen yang transparan, efektif, dan bersih. Lagi-lagi akibatnya adalah terbukanya peluang korupsi, kolusi dan nepotisme dalam dalam kultur dan struktur dunia pendidikan.
Sejak awal digulirkannya standarisasi UN tidak sedikit pemerhati, teoritisi, maupun praktisi pendidikan yang bersikap apriori dan apatis terhadap penyelenggaraan UN. Selain mendistorsi dan mereduksi orientasi substantif pendidikan, yakni proses pendidikan, UN tidak dipandang tidak akomodatif terhadap varian-varian wajah pendidikan dari Sabang sampai Marauke. Artinya, ketimpangan dalam infrastruktur, fasilitas pendidikan hingga kesenjangan sumber daya manusia [SDM] kususnya tenaga pengajar [guru], menjadi pangkal cacatnya UN. Cacat dalam arti ketidakmerataan transfer pengetahuan.
Alasanlogis lain yang patut diketengahkan adalah mata pelajaran yang diujikan tendensius ke ranah kognitif dan miskin perspektif afektif. Pespektif inilah yang kerap digugat dengan alasan abai terhadap nilai-nilai moralitas dalam diri siswa. Sudah menjadi rahasia umum, salah satu pangkal kebangkrutan tatanan berbangsa dan bernegara saat ini adalah rapuhnya sendi-sendi moralitas.
Korupsi, suap-menyuap, moralitas remaja yang diambang batas, mabuk-mabukan, narkoba, seks bebas, pencurian, perampokan, dan lain sebagainya merupakan potret pudarnya internalisasi moralitas. Yang tak kalah miris lagi adalah potret masyarakat yang emosional, frustasi, agresif,. Seseorang baik kelompok maupun perseorangan sangat mudah melakukan tindak kekerasan.
Potret diatas merupakan bagian dari dampak peradaban modern yang sudah diyakini membawa segudang kemajuan. Sayangnya beriringan dengan kemajuan itu akibat negatif dan patologi sosial mewabah. Seperti individualistik materialistik, hedonistik, gejala alienasi, hingga tendensi dehumanisasi. Patologi-patologi itu nyaris mempengaruhi hubungan interpersonal, antarkomunitas, dan antar budaya.
Ketimpangan SDM
Alasan mulia dibalik penyelenggaraan UN yang kerap dijadikan prinsip adalah guna menghadapi tantangan modernitas dan era globalisasi. Dengan kata lain modernisasi dan globalisasi hanya bisa dijawab dengan memantapkan sumber daya manusianya.
Pendidikan diyakini sebagai kancah candradimuka pemantapan SDM bangsa. Dengan UN pendidikan akan dinamis dan memacu anak didik untuk rajin belajar. Dan dengan rajin belajar anak didik sebagai bagian dari regenerasi bangsa akan cerdas. Maka ketika generasi bangsa cerdas, cerdas pulalah bangsa ini.
Adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah memajukan SDM warganya. Akan tetapi pembangunan SDM harus tetap melirik dan mengedepankan kualitas moral, pemerataan dan persamaan dimata semua. Kastanisasi sejatinya ditolak.
Penulis meyakini bahwa kehadiran UN dengan tameng tantangan modernisasi dan globalisasi menjadi pangkal pengkotak-kotakan atau polarisasi dunia pendidikan. Standar UN yang tiap tahun selalu dinaikkan hanya mampu dijawab oleh siswa yang cerdas, sekolah yag berkualitas, dan fasilitas lengkap.
Lembaga-lembaga pendidikan berbondong-bondong membikin sekolah bertaraf diatas rata-rata dan menjanjikan jaminan bagi siswa-siswanya lulus. Konsekuensinya, tarif pendidikan dikerek setinggi mungkin.
Mewaspadai kemuncullan fenomena kastanisasi dunia pendidikan kini dan kelak, laik kiranya menggugat para kandidat Calon Presiden-Calon Wakil Presiden terkait komitmen peningkatan SDM anak bangsa yang merata dan berkeadilan.
(Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Senandung kemenangan pasca diumumkannya hasil Ujian Nasional [UN] tingkat SMA dan sederajat menggema diseantero nusantara. Sorak-sorai ribuan siswa yang lulus UN bisa dimaknai sebagai luapan kesuksesan melewati proses-proses pendidikan selama tiga tahun. Disamping ekspresi girang itu, isak tangis dan kekecewaan pun mendera para siswa yang tidak lulus.
Bagi siswa yang lulus, ekspresi luapan kesuksesan disamping diperlihatkan oleh raut wajah girang dan berbunga-bunga, coret-coret almamater seakan menjadi tradisi. Pun, tidak sedikit siswa yang tumpah ruah dijalanan menggunakan sepeda motor. Rutinitas tiga tahunan itu sempat memusingkan polisi lalu lintas maupun para pengguna jalan.
Singkatnya, aroma kemenangan seakan mewarnai lubuk hati para siswa yang lulus. Pihak-phak yang tak luput dari aroma kemenangan adalah para guru atau pihak sekolah hingga orang tua siswa. Pertayaannya, sejauhmanakah makna kemengan siswa itu ketika dihadapkan dengan kekalahan bangsa saat ini? Atau, manakah yang lebih bermakna, kemenangan tapi tidak jujur dibandingkan siswa yang gagal tapi berusaha dengan sekuat tenaga tanpa ditopang bocoran jawaban?
Sorotan Kritik
Idealnya, kemenangan atau kelulusan siswa dalam mengikuti UN tidak disokong kecurangan atau intervensi makelar kunci jawaban, akan tetapi dengan usaha dan jeri payah keras, yakni belajar. Sayang, slogan menjunjung tinggi martabat dan wajah pendidikan untuk tidak berlaku curang dalam UN seakan terkubur oleh selentingan-selentingan berita terkait kecurangan yang kerap menimpa penyeleggaraan pendidikan. Modusnya, salah satunya adalah kolaborasi dan sinergi antara guru dan siswa.
Sudah menjadi alasan klasik bahwa motif dibalik kolaborasi antara guru atau pihak sekolah dengan murid adalah sama-sama merengkuh keuntungan status quo. Atinya, image positif sekolah dimata publik terletak dipundak siswa. Pada ranah ini pihak sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk meluluskan siswanya agar citra sekolah tetap terjaga.
Pada konteks inilah tanpa disadari siswa dieksploitasi dalam bingkai bangunan citra. Kesempatan yang luas karena kurangnya komitmen memberikan proteksi dan regulasi menghalau kerja-kerja nepotisme gaya baru di dunia pendidikan nyaris mengajarkan siswa untuk tidak jujur. Dan tanpa disadari pula, kelulusan dan kemenangan yang direngkuh oleh siswa dan orang tua siswa atau citra positif sekolah adalah kemengan semu, status quo dan meninabobokkan.
Begitulah konsekuensi hasrat para petinggi atau elit pendidikan negeri ini dalam membagun wajah pendidikan dengan standarisasi UN tapi tidak diimbangi dengan birokrasi dan manajemen yang transparan, efektif, dan bersih. Lagi-lagi akibatnya adalah terbukanya peluang korupsi, kolusi dan nepotisme dalam dalam kultur dan struktur dunia pendidikan.
Sejak awal digulirkannya standarisasi UN tidak sedikit pemerhati, teoritisi, maupun praktisi pendidikan yang bersikap apriori dan apatis terhadap penyelenggaraan UN. Selain mendistorsi dan mereduksi orientasi substantif pendidikan, yakni proses pendidikan, UN tidak dipandang tidak akomodatif terhadap varian-varian wajah pendidikan dari Sabang sampai Marauke. Artinya, ketimpangan dalam infrastruktur, fasilitas pendidikan hingga kesenjangan sumber daya manusia [SDM] kususnya tenaga pengajar [guru], menjadi pangkal cacatnya UN. Cacat dalam arti ketidakmerataan transfer pengetahuan.
Alasanlogis lain yang patut diketengahkan adalah mata pelajaran yang diujikan tendensius ke ranah kognitif dan miskin perspektif afektif. Pespektif inilah yang kerap digugat dengan alasan abai terhadap nilai-nilai moralitas dalam diri siswa. Sudah menjadi rahasia umum, salah satu pangkal kebangkrutan tatanan berbangsa dan bernegara saat ini adalah rapuhnya sendi-sendi moralitas.
Korupsi, suap-menyuap, moralitas remaja yang diambang batas, mabuk-mabukan, narkoba, seks bebas, pencurian, perampokan, dan lain sebagainya merupakan potret pudarnya internalisasi moralitas. Yang tak kalah miris lagi adalah potret masyarakat yang emosional, frustasi, agresif,. Seseorang baik kelompok maupun perseorangan sangat mudah melakukan tindak kekerasan.
Potret diatas merupakan bagian dari dampak peradaban modern yang sudah diyakini membawa segudang kemajuan. Sayangnya beriringan dengan kemajuan itu akibat negatif dan patologi sosial mewabah. Seperti individualistik materialistik, hedonistik, gejala alienasi, hingga tendensi dehumanisasi. Patologi-patologi itu nyaris mempengaruhi hubungan interpersonal, antarkomunitas, dan antar budaya.
Ketimpangan SDM
Alasan mulia dibalik penyelenggaraan UN yang kerap dijadikan prinsip adalah guna menghadapi tantangan modernitas dan era globalisasi. Dengan kata lain modernisasi dan globalisasi hanya bisa dijawab dengan memantapkan sumber daya manusianya.
Pendidikan diyakini sebagai kancah candradimuka pemantapan SDM bangsa. Dengan UN pendidikan akan dinamis dan memacu anak didik untuk rajin belajar. Dan dengan rajin belajar anak didik sebagai bagian dari regenerasi bangsa akan cerdas. Maka ketika generasi bangsa cerdas, cerdas pulalah bangsa ini.
Adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah memajukan SDM warganya. Akan tetapi pembangunan SDM harus tetap melirik dan mengedepankan kualitas moral, pemerataan dan persamaan dimata semua. Kastanisasi sejatinya ditolak.
Penulis meyakini bahwa kehadiran UN dengan tameng tantangan modernisasi dan globalisasi menjadi pangkal pengkotak-kotakan atau polarisasi dunia pendidikan. Standar UN yang tiap tahun selalu dinaikkan hanya mampu dijawab oleh siswa yang cerdas, sekolah yag berkualitas, dan fasilitas lengkap.
Lembaga-lembaga pendidikan berbondong-bondong membikin sekolah bertaraf diatas rata-rata dan menjanjikan jaminan bagi siswa-siswanya lulus. Konsekuensinya, tarif pendidikan dikerek setinggi mungkin.
Mewaspadai kemuncullan fenomena kastanisasi dunia pendidikan kini dan kelak, laik kiranya menggugat para kandidat Calon Presiden-Calon Wakil Presiden terkait komitmen peningkatan SDM anak bangsa yang merata dan berkeadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar