Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Jalan perdamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa Indonesia kian hari berhadapan dengan tembok keras. Seluruh unsur, elemen, maupun komponen yang ada tampak suram masa depannya untuk saling menyapa, berdialog, dan duduk bareng. Dampak langsungnya, pintu masuk agar bangsa ini keluar dari kemelut serta krisis akut yang terus mendera makin tertutu rapat.
Ditambah lagi kini hajatan pesta demokrasi pemilu Presiden 2009 yang sarat dengan perang citra dan adegan-adegan pembunuhan karakter antar pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) terus memuncak dan mengalami eskalasi.
Perbedaan tidak lagi ditempatkan sebagai rahmah, akan tetapi menjadi musibah yang setiap saat mengancam soliditas, solidaritas, dan integritas. Dalam catatan sejarah bangsa, perbedaan yang mengancam tersebut mampu disatukan dalam wadah ideologi yang disebut Pancasila. Baru-baru ini, tepatnya 1 Juni 2009, bangsa ini kembali memperingati hari kelahiran Pancasila. Perlukah tafsiran Pancasila?
Pergulatan doktrin
Pancasila memang terbukti ampuh. Berbagai kekuatan kepentingan sosial, agama, politik, ekonomi hingga budaya mampu disatukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila sebagai dasar negara tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Sejak kelahirannya 1 Juni 1945 oleh Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, hingga sekarang ini Pancasila mengalami pasang surut. Pun, tidak jarang menorehkan sederet catatan kelam yang merenggut banyak korban hanya demi meneguhkan eksistensi atau kesaktian Pancasila.
Laiknya deologi-ideologi lainnya, seperti liberalisme yang berbuah pada model ekonomi kapitalisme dan politik demokrasi, atau pun sosialisme dengan masyarakat komunisme dan sistem politik totalitarianisme-nya, Pancasila lahir diatas semangat revolusi. Pun, latar kelahiran ideologi-ideologi diatas juga mengilhami kehadiran ideologi demokrasi sosialis yang konon sebagai buah perkawinan antara kapitalisme dan sosialisme.
Sejarah dunia Eropa dikenal Renaisans, Aufklarung, Revolusi Industri hingga Revolusi Bolsevik di Rusia. Tak elak, kelahiran Pancasila tidak terlepas dari pergulatan ideologi-idologi yang ada baik kapitalisme, sosialisme, demokrasi sosial, hingga ideologi Islam. Ideologi-idologi inilah yang sempat hidup dan mengharu-birukan pergerakan bangsa dalam mencari satu titik temu yang sesuai dengan ciri, identitas, dan kekhasan bangsa.
Tidak tepat kiranya jika Pancasila diklaim sebagai produk genuine atau hasil olah pikir, rasa, budaya, dan karakter yang dimiliki Indonesia. Pancasila merupakan sintesis yang diolah dan diracik dari berbagai persinggungan antar ideologi.
Diperkaya dengan intelektualitas dan kemampuan jernih dalam berfikir yang dimilik founding fathers, ideologi khas Indonesia menemukan formulasinya. Dengan demikian, mereka (founding fathers) dan Pancasila adalah produk sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu mulai dari sosio-kultural, politik, hingga budaya.
Perjalanan Pancasila mengalami mismanejemen atau kesalahan strategi dalam sosialisasi dan internalisasinya. Memassifkan ideologi Pancasila dalam segala lini dan sektor kehidupan kerap menggunakan cara-cara yang sebenarnya tidak berdiri diatas keberagaman atau perbedaan.
Pada ranah ini, tidak jarang kita menemukan, untuk meneguhkan kesaktian Pancasila selalu ditopang dan dijunjung oleh ribuan pucuk senjata dan jutaan peluru. Nyaris, nilai-nilai Pancasila tereduksi oleh kepentingan kekuasaan dan cenderung mengabaikan spirit idealisme yang terangkum dalam butir-butir Pancasila.
Meninjam istilah Michel Foucault- keilmiahan Pancasila ditopang oleh kekuasaan negara yang hegemonik dan dominatif. Sementara, dibalik hegemoni dan dominasi negara terselip penindasan dan sub-ordinasi. Dalam hal ini kekuasaan Orde Baru (Orba) terlihat jelas melakukan praktek-praktek manipulatif terhadap Pancasila dengan kekuasaan represif dan absolutismenya. Alhasil, ke-limiah-an dan objektifitas Pancasila menjadi absurd serta kabur.
Kontekstualisasi
Demokrai kini bak berhala yang dipuja dan dielu-elukan. Sedari dulu, Pancasila sudah mewanti-wanti agar bangsa ini respek terhadap Pancasila.
Dalam bahasa Syafi’i Ma’arif (1996; 124) esensi demokrasi adalah kedaulatan tertinggi dalam negara berada ditangan rakyat. Kedaulatan ini baru dipandang sah bila rakyat, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya yang dipilih diberi kebebasan dan hak penuh untuk turut serta membuat keputusan keputusan apapun yang penting bagi bangsa dan negara. Hak politik rakyat ini tidak boleh diganggu gugat. Ia adalah sesuatu yang suci!.
Sayangnya, pegalaman demokrasi kita tereduksi. Tujuan suci Pancasila dikaburkan oleh orientasi yang lebih menguntungkan sebagian elit dan golongan serta menanggalkan kepentingan-kepentingan maupun kedaulatan rakyat secara keseluruhan.
Demokrasi Orde Lama dan Orde Baru sudah menjadi masa lalu. Kini, keduanya diganti oleh demokrasi reformasi yang tampaknya sedang mencari bentuk yang lebih mantap.
Tanggung jawab semua elemen bangsa-lah untuk menafsir, memaknai, menginterpretasikan, dan membumikan Pancasila sesuai makna zaman tanpa ada sakralisasi. Tidak ada yang sakral atau absolut apa-apa yang keluar dari pikiran manusia. Pancasila bukanlah agama baru.
Pancasila harus dilihat dari beragam perspektif. Paradigma. Pancasila akan mengalami dinamika dan kesesuaian bila mampu ditransformasikan menjadi pesan-pesan yang bisa menguak segala ketimpangan dan ketertindasan. Pancasila adalah produk atau kreasi bangsa yang didasarkan atas kebutuhan dan kepentingan sesuai konteks identitas, karakter baik sosio-kultural, budaya, agama, moralitas politik yang dimiliki oleh Indonesia sendiri.
(Mahasiswa program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Jalan perdamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa Indonesia kian hari berhadapan dengan tembok keras. Seluruh unsur, elemen, maupun komponen yang ada tampak suram masa depannya untuk saling menyapa, berdialog, dan duduk bareng. Dampak langsungnya, pintu masuk agar bangsa ini keluar dari kemelut serta krisis akut yang terus mendera makin tertutu rapat.
Ditambah lagi kini hajatan pesta demokrasi pemilu Presiden 2009 yang sarat dengan perang citra dan adegan-adegan pembunuhan karakter antar pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) terus memuncak dan mengalami eskalasi.
Perbedaan tidak lagi ditempatkan sebagai rahmah, akan tetapi menjadi musibah yang setiap saat mengancam soliditas, solidaritas, dan integritas. Dalam catatan sejarah bangsa, perbedaan yang mengancam tersebut mampu disatukan dalam wadah ideologi yang disebut Pancasila. Baru-baru ini, tepatnya 1 Juni 2009, bangsa ini kembali memperingati hari kelahiran Pancasila. Perlukah tafsiran Pancasila?
Pergulatan doktrin
Pancasila memang terbukti ampuh. Berbagai kekuatan kepentingan sosial, agama, politik, ekonomi hingga budaya mampu disatukan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila sebagai dasar negara tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Sejak kelahirannya 1 Juni 1945 oleh Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, hingga sekarang ini Pancasila mengalami pasang surut. Pun, tidak jarang menorehkan sederet catatan kelam yang merenggut banyak korban hanya demi meneguhkan eksistensi atau kesaktian Pancasila.
Laiknya deologi-ideologi lainnya, seperti liberalisme yang berbuah pada model ekonomi kapitalisme dan politik demokrasi, atau pun sosialisme dengan masyarakat komunisme dan sistem politik totalitarianisme-nya, Pancasila lahir diatas semangat revolusi. Pun, latar kelahiran ideologi-ideologi diatas juga mengilhami kehadiran ideologi demokrasi sosialis yang konon sebagai buah perkawinan antara kapitalisme dan sosialisme.
Sejarah dunia Eropa dikenal Renaisans, Aufklarung, Revolusi Industri hingga Revolusi Bolsevik di Rusia. Tak elak, kelahiran Pancasila tidak terlepas dari pergulatan ideologi-idologi yang ada baik kapitalisme, sosialisme, demokrasi sosial, hingga ideologi Islam. Ideologi-idologi inilah yang sempat hidup dan mengharu-birukan pergerakan bangsa dalam mencari satu titik temu yang sesuai dengan ciri, identitas, dan kekhasan bangsa.
Tidak tepat kiranya jika Pancasila diklaim sebagai produk genuine atau hasil olah pikir, rasa, budaya, dan karakter yang dimiliki Indonesia. Pancasila merupakan sintesis yang diolah dan diracik dari berbagai persinggungan antar ideologi.
Diperkaya dengan intelektualitas dan kemampuan jernih dalam berfikir yang dimilik founding fathers, ideologi khas Indonesia menemukan formulasinya. Dengan demikian, mereka (founding fathers) dan Pancasila adalah produk sejarah yang tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu mulai dari sosio-kultural, politik, hingga budaya.
Perjalanan Pancasila mengalami mismanejemen atau kesalahan strategi dalam sosialisasi dan internalisasinya. Memassifkan ideologi Pancasila dalam segala lini dan sektor kehidupan kerap menggunakan cara-cara yang sebenarnya tidak berdiri diatas keberagaman atau perbedaan.
Pada ranah ini, tidak jarang kita menemukan, untuk meneguhkan kesaktian Pancasila selalu ditopang dan dijunjung oleh ribuan pucuk senjata dan jutaan peluru. Nyaris, nilai-nilai Pancasila tereduksi oleh kepentingan kekuasaan dan cenderung mengabaikan spirit idealisme yang terangkum dalam butir-butir Pancasila.
Meninjam istilah Michel Foucault- keilmiahan Pancasila ditopang oleh kekuasaan negara yang hegemonik dan dominatif. Sementara, dibalik hegemoni dan dominasi negara terselip penindasan dan sub-ordinasi. Dalam hal ini kekuasaan Orde Baru (Orba) terlihat jelas melakukan praktek-praktek manipulatif terhadap Pancasila dengan kekuasaan represif dan absolutismenya. Alhasil, ke-limiah-an dan objektifitas Pancasila menjadi absurd serta kabur.
Kontekstualisasi
Demokrai kini bak berhala yang dipuja dan dielu-elukan. Sedari dulu, Pancasila sudah mewanti-wanti agar bangsa ini respek terhadap Pancasila.
Dalam bahasa Syafi’i Ma’arif (1996; 124) esensi demokrasi adalah kedaulatan tertinggi dalam negara berada ditangan rakyat. Kedaulatan ini baru dipandang sah bila rakyat, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya yang dipilih diberi kebebasan dan hak penuh untuk turut serta membuat keputusan keputusan apapun yang penting bagi bangsa dan negara. Hak politik rakyat ini tidak boleh diganggu gugat. Ia adalah sesuatu yang suci!.
Sayangnya, pegalaman demokrasi kita tereduksi. Tujuan suci Pancasila dikaburkan oleh orientasi yang lebih menguntungkan sebagian elit dan golongan serta menanggalkan kepentingan-kepentingan maupun kedaulatan rakyat secara keseluruhan.
Demokrasi Orde Lama dan Orde Baru sudah menjadi masa lalu. Kini, keduanya diganti oleh demokrasi reformasi yang tampaknya sedang mencari bentuk yang lebih mantap.
Tanggung jawab semua elemen bangsa-lah untuk menafsir, memaknai, menginterpretasikan, dan membumikan Pancasila sesuai makna zaman tanpa ada sakralisasi. Tidak ada yang sakral atau absolut apa-apa yang keluar dari pikiran manusia. Pancasila bukanlah agama baru.
Pancasila harus dilihat dari beragam perspektif. Paradigma. Pancasila akan mengalami dinamika dan kesesuaian bila mampu ditransformasikan menjadi pesan-pesan yang bisa menguak segala ketimpangan dan ketertindasan. Pancasila adalah produk atau kreasi bangsa yang didasarkan atas kebutuhan dan kepentingan sesuai konteks identitas, karakter baik sosio-kultural, budaya, agama, moralitas politik yang dimiliki oleh Indonesia sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar