Oleh: LEGIMAN
(Staf Pengajar STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Pemilu Presiden [Pilpres] 2009 sudah didepan mata. Tahap kampanye sudah memasuki rapat umum terbuka. Beragam strategi kampanye diperlihatkan oleh para kandidat. Deklarasi tim kampanye mewabah, lawatan dari pasar ke pasar dilakukan, hingga silaturrahim politik ke beberap aulama kondang.
Dilihat dari latar belakang, pasangan capres-cawapres mengalamai pergeseran drastis. Tokoh-tokoh yang tampil hampir-hampir mengabaikan latar belakang kepemimpinan agama. Jika Pilpres 2004 lalu diramaikan tokoh-tokoh yang kental pesona Islam santri, kini warna itu tak lagi dominan. Wiranto (militer), Boediono (teknokrat/profesional), Prabowo Subianto (militer) dan lain-lain, bukanlah representasi berlatar belakang dan berbasis intelektual Islam santri.
Walau tidak menggaet pasangan berbasis agama, strategi kampanye tetap membidik tokoh agama [ulama] yang diyakini mampu menghantar dalam mempengaruhi suara calon pemilih. Strategi itu bisa dilihat dari geliat para kandidat yang intens melakukan komunikasi dengan beberapa ulama. Para kandidat berlomba sowan ulama.
Independen
Kiayi memang secara langsun tidak ikut sebagai kontestan Pilpres, namun seruan yang dilakukan ulama dalam orasi verbalnya mendukung capres-cawapres tidak bisa dikatakan sebagai di luar kerja politik praktis. Puncak politik praktis salah satunya adalah kepemimpinan nasional. Belajar dari pengalaman-pengalaman yang ada, ketika ulama masuk dalam politik praktis, bercak yang membekas tak lain adalah beban ancaman konflik.
Tidak sedikit kalangan yang menaruh sikap apatis mendalam terhadap dampak dari kerja-kerja politik praktis. Politik kekuasaan adalah wilayah yang sesak dan panas. Mata indra bahkan mata hati seakan dibutakan sehingga sulit mendeteksi mana kawan dan mana lawan. Tidak ada kawan dan lawan sejati, yang ada adalah kepentingan. Dari pengertian itu, tak salah jika ulama diajak untuk mendapatkan kekuasaan, kapan dan bagaimana walau dengan cara-cara diluar etika kemaslahatan umum.
Kepentingan atas nama kepentingan adalah berhala utama yang dikedepankan. Maka, popularitas ulama yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan dapat menjadi jembatan penghantar menuju jurang permusuhan dan konflik.
Respon atas aksi sowan para kandidat terhadap ulama sejauh ini memang hanya sebatas imbauan dukung mendukung yang sifatnya seruan moral. Apalagi tidakada sangsi sama sekal kalau pun ulama bersikap terang-terangan mendukung para kandidat. Selain itu pun seruan moral itu tanpa paksaan dan tetap dikembalikan pada pilihan nurani orang-orang yang diserukan. Namun pun demikian jika kita mendudukankan secara benar peran dan fungsi ulama akan segera menemui dis-orientasi.
Antara ulama dan umat ada semacam bangunan sistem interaksi dimana didalamnya ada “alokasi” wewenang yang mengikat atau yang mengandung otoritas untuk diimplementasikan, yakni keyakinan agama yang sifatnya absolut, transenden dan sakral. Dis-orientasi yang muncul tak elak adalah kebingungan umat membedakan mana wilayah agama dan politik yang sifatnya provan dan temporal (keduniwian/hubbut dinya).
Sejatinya, independensi ulama harus tetap dipupuk. Ulama adalah modal sosial, budaya, dan gudangnya pembangunan etika dan moral bangsa tanpa harus tergoyahkan oleh rayuan dan kepentingan politik praktis. Alangkah apiknya lagi jika ulama menjadi ikon perubahan sosial dan konsisten menjadi elemen potensial membangn gerakan civil society.
Partner pemerintah
Gagasan civil society segaris dengan konsep wacana masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat utama, dan masyarakat beradab (Ahmad Baso, 1999: 184-189). Namun secara substansial civil society sering kali merujuk pada arti sebagai masyarakat beradab, lembaga, kelompok atau perorangan yang “bukan negara” seperti Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM, Organisasi Masyarakat (Ormas). Civil society erat dilekatkan sebagai masyarakat yang sopan dan toleran satu sama lain, yang mampu mengatur diri sendiri melalui pelbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah.
Di Indonesia civil society menampilkan bentuk fungsi yang terus berevolusi, yakni pertama sebagai kekuatan resistensi atau oposisi, kedua mitra pemerintah atau penguasa dalam melaksanakan kepentingan publik, dan ketiga bila kehidupan publik telah terakomodasi secara baik civil society dapat memainkan fungsinya secara komplementer, di mana ia muncul untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.
Dari ragam corak dan bentuk fungsi civil society, tampaknya untuk saat ini peran ulama lebih relevan jika mengacu pada fungsi yang terakhir. Kendati demikian hubungan harmonis mitra strategis atau komplementer bukan berarti harus saling menjinakkan, atau pemimpin politik “membeli” ulama, tarik-menarik maupun dukung mendukung capres-cawapres.
Meminjam istilahnya Azyumari Azra (2000:44) antara pemerinah dan ulama harus menjadi partner. Makna mitra adalah teman yang tidak saja sekedar memberi tahu hal-hal yang baik, namun juga kritik. Sehingga, pada saat yang sama menjadi kekuatan chek and balance.
Dalam konteks relasi kamplementer, kemunculan ulama dalam melengkapi kebutuhan masyarakat bisa juga dimaknai dengan pemenuhan seruan dakwah yang tidak melepaskan diri pemenuhan ekonomi selain juga pendidikan, pemberdayaan dan aspek-aspek kesejahteraan lainnya.
Dengan posisi seperti itu semoga ulama menjadi bagian dari problem solving (pemecah masalah) kompleksitas persoalan umat yang kini bak labirin dan tak tahu ujung pangkalnya.
(Staf Pengajar STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Pemilu Presiden [Pilpres] 2009 sudah didepan mata. Tahap kampanye sudah memasuki rapat umum terbuka. Beragam strategi kampanye diperlihatkan oleh para kandidat. Deklarasi tim kampanye mewabah, lawatan dari pasar ke pasar dilakukan, hingga silaturrahim politik ke beberap aulama kondang.
Dilihat dari latar belakang, pasangan capres-cawapres mengalamai pergeseran drastis. Tokoh-tokoh yang tampil hampir-hampir mengabaikan latar belakang kepemimpinan agama. Jika Pilpres 2004 lalu diramaikan tokoh-tokoh yang kental pesona Islam santri, kini warna itu tak lagi dominan. Wiranto (militer), Boediono (teknokrat/profesional), Prabowo Subianto (militer) dan lain-lain, bukanlah representasi berlatar belakang dan berbasis intelektual Islam santri.
Walau tidak menggaet pasangan berbasis agama, strategi kampanye tetap membidik tokoh agama [ulama] yang diyakini mampu menghantar dalam mempengaruhi suara calon pemilih. Strategi itu bisa dilihat dari geliat para kandidat yang intens melakukan komunikasi dengan beberapa ulama. Para kandidat berlomba sowan ulama.
Independen
Kiayi memang secara langsun tidak ikut sebagai kontestan Pilpres, namun seruan yang dilakukan ulama dalam orasi verbalnya mendukung capres-cawapres tidak bisa dikatakan sebagai di luar kerja politik praktis. Puncak politik praktis salah satunya adalah kepemimpinan nasional. Belajar dari pengalaman-pengalaman yang ada, ketika ulama masuk dalam politik praktis, bercak yang membekas tak lain adalah beban ancaman konflik.
Tidak sedikit kalangan yang menaruh sikap apatis mendalam terhadap dampak dari kerja-kerja politik praktis. Politik kekuasaan adalah wilayah yang sesak dan panas. Mata indra bahkan mata hati seakan dibutakan sehingga sulit mendeteksi mana kawan dan mana lawan. Tidak ada kawan dan lawan sejati, yang ada adalah kepentingan. Dari pengertian itu, tak salah jika ulama diajak untuk mendapatkan kekuasaan, kapan dan bagaimana walau dengan cara-cara diluar etika kemaslahatan umum.
Kepentingan atas nama kepentingan adalah berhala utama yang dikedepankan. Maka, popularitas ulama yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan dapat menjadi jembatan penghantar menuju jurang permusuhan dan konflik.
Respon atas aksi sowan para kandidat terhadap ulama sejauh ini memang hanya sebatas imbauan dukung mendukung yang sifatnya seruan moral. Apalagi tidakada sangsi sama sekal kalau pun ulama bersikap terang-terangan mendukung para kandidat. Selain itu pun seruan moral itu tanpa paksaan dan tetap dikembalikan pada pilihan nurani orang-orang yang diserukan. Namun pun demikian jika kita mendudukankan secara benar peran dan fungsi ulama akan segera menemui dis-orientasi.
Antara ulama dan umat ada semacam bangunan sistem interaksi dimana didalamnya ada “alokasi” wewenang yang mengikat atau yang mengandung otoritas untuk diimplementasikan, yakni keyakinan agama yang sifatnya absolut, transenden dan sakral. Dis-orientasi yang muncul tak elak adalah kebingungan umat membedakan mana wilayah agama dan politik yang sifatnya provan dan temporal (keduniwian/hubbut dinya).
Sejatinya, independensi ulama harus tetap dipupuk. Ulama adalah modal sosial, budaya, dan gudangnya pembangunan etika dan moral bangsa tanpa harus tergoyahkan oleh rayuan dan kepentingan politik praktis. Alangkah apiknya lagi jika ulama menjadi ikon perubahan sosial dan konsisten menjadi elemen potensial membangn gerakan civil society.
Partner pemerintah
Gagasan civil society segaris dengan konsep wacana masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat utama, dan masyarakat beradab (Ahmad Baso, 1999: 184-189). Namun secara substansial civil society sering kali merujuk pada arti sebagai masyarakat beradab, lembaga, kelompok atau perorangan yang “bukan negara” seperti Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM, Organisasi Masyarakat (Ormas). Civil society erat dilekatkan sebagai masyarakat yang sopan dan toleran satu sama lain, yang mampu mengatur diri sendiri melalui pelbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah.
Di Indonesia civil society menampilkan bentuk fungsi yang terus berevolusi, yakni pertama sebagai kekuatan resistensi atau oposisi, kedua mitra pemerintah atau penguasa dalam melaksanakan kepentingan publik, dan ketiga bila kehidupan publik telah terakomodasi secara baik civil society dapat memainkan fungsinya secara komplementer, di mana ia muncul untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.
Dari ragam corak dan bentuk fungsi civil society, tampaknya untuk saat ini peran ulama lebih relevan jika mengacu pada fungsi yang terakhir. Kendati demikian hubungan harmonis mitra strategis atau komplementer bukan berarti harus saling menjinakkan, atau pemimpin politik “membeli” ulama, tarik-menarik maupun dukung mendukung capres-cawapres.
Meminjam istilahnya Azyumari Azra (2000:44) antara pemerinah dan ulama harus menjadi partner. Makna mitra adalah teman yang tidak saja sekedar memberi tahu hal-hal yang baik, namun juga kritik. Sehingga, pada saat yang sama menjadi kekuatan chek and balance.
Dalam konteks relasi kamplementer, kemunculan ulama dalam melengkapi kebutuhan masyarakat bisa juga dimaknai dengan pemenuhan seruan dakwah yang tidak melepaskan diri pemenuhan ekonomi selain juga pendidikan, pemberdayaan dan aspek-aspek kesejahteraan lainnya.
Dengan posisi seperti itu semoga ulama menjadi bagian dari problem solving (pemecah masalah) kompleksitas persoalan umat yang kini bak labirin dan tak tahu ujung pangkalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar