Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa Program Doktor UIN Yoyakarta)
Perang urat saraf dalam kampanye capres dan cawapres pilpres 2009 terus memuncak. Isu ekonomi dipandang sebagai modal layak jual. Sementara diluar itu adalah isu sampingan [second issue]. Sepintas lalu para kandidat memang menyelipkan isu-isu ke-bhineka-an diluar ekonomi, tapi sifatnya hanya sekilas dan kurang menukik.
Isu keberagaman, dialog antaragama, dan masa depan perbedaan bangsa kurang mendapat porsi lebih dan istimewa. Padahal, tidak sedikit pandangan harap cemas bahwa kesejahteraan, kedamaian dan kemajuan bangsa akan terwujud jika bangsa ini mampu melerai dan mengurai silang sengkarut keberagaman mulai dari agama, etnis, bahasa, suku dan lan-lain. Artinya, kesejukan politik dan penguatan ekonomi bangsa akan tersandung oleh ketidaksalingpahaman ditengah keberagaman.
Pertentangan aliran dan tanggung jawab negara merupakan persoalan yang sejak belakangan menguatkan indikasi ketidakharmonisan hidup dalam keberagama. Bahkan Pancasila yang diyakini sebagai perekat bangsa dari beragam ideologi, aliran, dan entitas-entitas keberagaman lainnya kerap disalahartikan dan menjadi bulan-bulanan pelbagai kepentingan.
Kasus-kasus intimidasi dan kekerasan terhadap alira-aliran diluar mainstrem keberagamaan yang sempat mewarnai bumi Pancasila ini masih kuat dalam ingatan kolektif kita. Parahnya lagi, kesan yang melekat adalah pengabaian pemerintah yang notabene penyelenggara negara.
Komitmen dialog
Dari kaca mata sosilogi-keagamaan dikatakan bahwa sejarah sosial masyarakat beragama tidak lepas dari konflik baik yang bersumber dari perbedaan agama maupun yang disebabkan oleh faktor non-keagamaan seperti etnis, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Memang ihwal kerusuhan tidak dipicu langsung oleh agama. Tetapi, mengamati perilaku para perusuh yang merusak tempat ibadah, seperti Masjid dan Gereja, sentimen keagamaan tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai salah satu variabel penting yang dapat memicu terjadinya kerusuhan sosial.
Penyebabnya, tak lain karena agama erat berkaitan dengan persoalan keyakinan dan pandangan hidup yang paling mendasar. Muatan emosionalitas yang terkandung di dalamnya sangat tinggi, karena memang agama diyakini sebagai pedoman hidup manusia yang paling luhur. Selain itu, disamping juga agama mengandung ortodoksi [nilai khas] yang berbeda dengan lainnya, didalam agama juga terdapat ajaran dakwah (misi) untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama kepada orang lain.
Bagi seorang penganut agama, iman, ortodoksi dan misi harus sejalan. Misi merupakan perwujudan iman dan ortodoksi. Kegagalan dalam misi berarti kegagalan iman. Pemutlakan secara berlebihan terhadap ketiga elemen ini tidak jarang bersinggungan dengan penganut agama lain. Dalam masyarakat yang plural dan majemuk (khususnya kemajemukan agama) sangat potensial terjadi konflik antarumat beragama, jika masing-masing penganut agama tidak pandai mengatur hubungan antaragama.
Oleh karena itulah, pemupukan kerukunan antarumat beragama tampaknya harus secara terus-menerus dilakukan baik perorangan atau kelompok dan jangan terhenti pada dimensi struktural-ideologis, eksklusif dan tertutup. Apalagi komitmen dalam usaha-usaha untuk mengatur hubungan antarumat beragama di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan pada abad-abad yang lampau, seperti yang terekam dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika atau pun dalam bingkai Pancasila.
Selain juga dialog lintas agama, dialog pun tampaknya harus dilakukan oleh umat dalam satu agama. Seperti yang marak belakangan ini konflik agama atau aliran diperlihatkan oleh agama Islam itu sendiri. Aksi-aksi pendeskreditan dan pemarjinalan terhadap salah satu aliran keagamaan kerap mewarnai.
Dalam kehidupan bernegara yang mengedepankan kekuatan hukum sebagai panglima, secara yuridis aksi penyerangan sepihak terhadap aliran-aliran keberagamaan jelas melanggar hukum dan bagian dari kerja kriminalitas. Seperti tertuang dalam konstitusi serta produk hukum lainnya, kekerasan yang dilakukan tanpa dasar dan alasan yang jelas merupakan pelangaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Sipil dan Politik dan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan.
Melihat fenomene itu pemerintah terkesan diam. Sikap pasif pemerintah mengindikasikan bahwa negara telah gagal mengeliminir huru-hara massa yang meneriakkan slogan “ganyang aliran sesat” atas nama kebenaran pemehaman agama Islam tertentu.
Diteropong dari kacamata HAM [Hak Asasi Manusia], jamak dipahami seruan untuk bersikap tegas dan mengadili para pelanggar HAM bukan hanya disuarakan oleh kalangan pro-kemanusian di Tanah Air, tapi juga oleh dunia Internasional. Pada Sidang Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial dalam di Genewa Swiss tepatnya 31 Juli-18 Agustus 2007, pemerintah Indonesia diminta untuk melindungi pengikut Jama’ah Islam Ahmadiyah karena penyerangan terhadap mereka merupakan pelanggaran HAM. Bukan hanya Jamaa’t Islam Ahmadiyah, namun juga aliran-aliran keagamaan lainnya.
Tanggung jawab negara
Sikap lunak pemerintah yang berdampak semakin banyaknya korban pelanggaran HAM dinegeri ini patut dijadikan pelajaran manata kehidupan beragamad alam keberagaman. Adalah tugas polisi dan penegak hukum lainnya menindak pelaku pelanggaran HAM yang ditandai dengan pemaksaan agama atau pemahaman agama. Sudah saatnya pemerintah tidak lagi bersikap lunak. Dan bagi pelaku kerusuhan agar dimejahijaukan sesuai aturan dan undang-undang yang berlaku agar ketenangan, kedamaian, dan kebebasan beragama dapat dirasakan oleh siapa saja dan dimana saja.
Kekerasan terselubung yang terlanjur di lakukan pemerintah dan terlanjur pula telah menyulut benih-benih permusuhan dan pengrusakan harus diganti dengan upaya me-mediasi proses dialog. Bukan tidak mungkin, bila pemerintah tetap bungkam seribu bahasa, kekerasan akan tetap terjadi.
Negara seyogyanya memposisikan diri sebagai pengayom, bersikap objektif, serta tidak berpihak terhadap agama satu pun. Segala kebijakan sosial, ekonomi-politik, maupun hukum bila tidak dalam bingkai sistem kenegaraan yang berlandaskan Pancasila dan mendeskriditkan salah satu kelompok agama adalah inkonstitusional.
Belum lama Hari Kelahiran Pancasila diperingati dan masing-masing capres-cawapres dengan kusuk menyulam harapan eksistensi Pancasila sebagai perekat bangsa. Semoga capres-cawapres terpilih kelak mampu mengejawantahkan semangat Pancasila yang sarat pesan keadilan, kemanusiaan, musyawarah, persatuan, dan jaminan kebebasan beragama sesuai keyakinan dan hati nurani. Semangat terakhir inilah yang mendesak untuk diejawantahkan dalam ranah kehidupan sosio-kultural, sosial-keagamaan, dan politik Indonesia.
(Mahasiswa Program Doktor UIN Yoyakarta)
Perang urat saraf dalam kampanye capres dan cawapres pilpres 2009 terus memuncak. Isu ekonomi dipandang sebagai modal layak jual. Sementara diluar itu adalah isu sampingan [second issue]. Sepintas lalu para kandidat memang menyelipkan isu-isu ke-bhineka-an diluar ekonomi, tapi sifatnya hanya sekilas dan kurang menukik.
Isu keberagaman, dialog antaragama, dan masa depan perbedaan bangsa kurang mendapat porsi lebih dan istimewa. Padahal, tidak sedikit pandangan harap cemas bahwa kesejahteraan, kedamaian dan kemajuan bangsa akan terwujud jika bangsa ini mampu melerai dan mengurai silang sengkarut keberagaman mulai dari agama, etnis, bahasa, suku dan lan-lain. Artinya, kesejukan politik dan penguatan ekonomi bangsa akan tersandung oleh ketidaksalingpahaman ditengah keberagaman.
Pertentangan aliran dan tanggung jawab negara merupakan persoalan yang sejak belakangan menguatkan indikasi ketidakharmonisan hidup dalam keberagama. Bahkan Pancasila yang diyakini sebagai perekat bangsa dari beragam ideologi, aliran, dan entitas-entitas keberagaman lainnya kerap disalahartikan dan menjadi bulan-bulanan pelbagai kepentingan.
Kasus-kasus intimidasi dan kekerasan terhadap alira-aliran diluar mainstrem keberagamaan yang sempat mewarnai bumi Pancasila ini masih kuat dalam ingatan kolektif kita. Parahnya lagi, kesan yang melekat adalah pengabaian pemerintah yang notabene penyelenggara negara.
Komitmen dialog
Dari kaca mata sosilogi-keagamaan dikatakan bahwa sejarah sosial masyarakat beragama tidak lepas dari konflik baik yang bersumber dari perbedaan agama maupun yang disebabkan oleh faktor non-keagamaan seperti etnis, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Memang ihwal kerusuhan tidak dipicu langsung oleh agama. Tetapi, mengamati perilaku para perusuh yang merusak tempat ibadah, seperti Masjid dan Gereja, sentimen keagamaan tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai salah satu variabel penting yang dapat memicu terjadinya kerusuhan sosial.
Penyebabnya, tak lain karena agama erat berkaitan dengan persoalan keyakinan dan pandangan hidup yang paling mendasar. Muatan emosionalitas yang terkandung di dalamnya sangat tinggi, karena memang agama diyakini sebagai pedoman hidup manusia yang paling luhur. Selain itu, disamping juga agama mengandung ortodoksi [nilai khas] yang berbeda dengan lainnya, didalam agama juga terdapat ajaran dakwah (misi) untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama kepada orang lain.
Bagi seorang penganut agama, iman, ortodoksi dan misi harus sejalan. Misi merupakan perwujudan iman dan ortodoksi. Kegagalan dalam misi berarti kegagalan iman. Pemutlakan secara berlebihan terhadap ketiga elemen ini tidak jarang bersinggungan dengan penganut agama lain. Dalam masyarakat yang plural dan majemuk (khususnya kemajemukan agama) sangat potensial terjadi konflik antarumat beragama, jika masing-masing penganut agama tidak pandai mengatur hubungan antaragama.
Oleh karena itulah, pemupukan kerukunan antarumat beragama tampaknya harus secara terus-menerus dilakukan baik perorangan atau kelompok dan jangan terhenti pada dimensi struktural-ideologis, eksklusif dan tertutup. Apalagi komitmen dalam usaha-usaha untuk mengatur hubungan antarumat beragama di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan pada abad-abad yang lampau, seperti yang terekam dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika atau pun dalam bingkai Pancasila.
Selain juga dialog lintas agama, dialog pun tampaknya harus dilakukan oleh umat dalam satu agama. Seperti yang marak belakangan ini konflik agama atau aliran diperlihatkan oleh agama Islam itu sendiri. Aksi-aksi pendeskreditan dan pemarjinalan terhadap salah satu aliran keagamaan kerap mewarnai.
Dalam kehidupan bernegara yang mengedepankan kekuatan hukum sebagai panglima, secara yuridis aksi penyerangan sepihak terhadap aliran-aliran keberagamaan jelas melanggar hukum dan bagian dari kerja kriminalitas. Seperti tertuang dalam konstitusi serta produk hukum lainnya, kekerasan yang dilakukan tanpa dasar dan alasan yang jelas merupakan pelangaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Sipil dan Politik dan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan.
Melihat fenomene itu pemerintah terkesan diam. Sikap pasif pemerintah mengindikasikan bahwa negara telah gagal mengeliminir huru-hara massa yang meneriakkan slogan “ganyang aliran sesat” atas nama kebenaran pemehaman agama Islam tertentu.
Diteropong dari kacamata HAM [Hak Asasi Manusia], jamak dipahami seruan untuk bersikap tegas dan mengadili para pelanggar HAM bukan hanya disuarakan oleh kalangan pro-kemanusian di Tanah Air, tapi juga oleh dunia Internasional. Pada Sidang Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial dalam di Genewa Swiss tepatnya 31 Juli-18 Agustus 2007, pemerintah Indonesia diminta untuk melindungi pengikut Jama’ah Islam Ahmadiyah karena penyerangan terhadap mereka merupakan pelanggaran HAM. Bukan hanya Jamaa’t Islam Ahmadiyah, namun juga aliran-aliran keagamaan lainnya.
Tanggung jawab negara
Sikap lunak pemerintah yang berdampak semakin banyaknya korban pelanggaran HAM dinegeri ini patut dijadikan pelajaran manata kehidupan beragamad alam keberagaman. Adalah tugas polisi dan penegak hukum lainnya menindak pelaku pelanggaran HAM yang ditandai dengan pemaksaan agama atau pemahaman agama. Sudah saatnya pemerintah tidak lagi bersikap lunak. Dan bagi pelaku kerusuhan agar dimejahijaukan sesuai aturan dan undang-undang yang berlaku agar ketenangan, kedamaian, dan kebebasan beragama dapat dirasakan oleh siapa saja dan dimana saja.
Kekerasan terselubung yang terlanjur di lakukan pemerintah dan terlanjur pula telah menyulut benih-benih permusuhan dan pengrusakan harus diganti dengan upaya me-mediasi proses dialog. Bukan tidak mungkin, bila pemerintah tetap bungkam seribu bahasa, kekerasan akan tetap terjadi.
Negara seyogyanya memposisikan diri sebagai pengayom, bersikap objektif, serta tidak berpihak terhadap agama satu pun. Segala kebijakan sosial, ekonomi-politik, maupun hukum bila tidak dalam bingkai sistem kenegaraan yang berlandaskan Pancasila dan mendeskriditkan salah satu kelompok agama adalah inkonstitusional.
Belum lama Hari Kelahiran Pancasila diperingati dan masing-masing capres-cawapres dengan kusuk menyulam harapan eksistensi Pancasila sebagai perekat bangsa. Semoga capres-cawapres terpilih kelak mampu mengejawantahkan semangat Pancasila yang sarat pesan keadilan, kemanusiaan, musyawarah, persatuan, dan jaminan kebebasan beragama sesuai keyakinan dan hati nurani. Semangat terakhir inilah yang mendesak untuk diejawantahkan dalam ranah kehidupan sosio-kultural, sosial-keagamaan, dan politik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar