Oleh: Legiman
(Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Perolehan suara pemilihan umum legislatif 9 April 2009 seolah mendudukkan wajah partai politik Islam “remuk redam”. Suara partai-partai Islam jeblok. Partai-partai Islam tersungkur kepinggir konstalasi politik nasional. Nyaris, menurunnya trust (kepercayaan) pemilih yang notabene mayoritas muslim menjadikan partai Islam bak “tamu” dirumahnya sendiri.
Ditengah suasana girang elit-elit partai nasionalis, partai-partai Islam harus puas diurutan “buncit”. Perolehan suara hasil hitungan cepat memposisikan Partai Demokrat sebagai raja diraja. Setelah Demokrat, bertengger dua partai nasionalis yakni Partai Golkar dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Disusul kemudian oleh PKS (Partai Keadilan Sosial), PAN (Partai Amanat Nasional), PPP (Partai Pesatuan Pembangunan), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat), dan lain-lain.
Jauh hari sebelum pemilu legislatif digelar, suara-suara optimis selalu muncul, yakni hendak mengusung capres. Namun realitas politik berbicara lain. Slogan capres. dari rahim partai Islam pun meredup. Karena target perolehan suara jauh dari harapan, partai-partai Islam akhirnya putar haluan dan menihilkan cita-cita pencalonan presiden.
Partai reformis
Berduyun-duyun partai-partai Islam menawarkan cawapres untuk disandingkan dengan capres yang diusung partai-partai besar. Pada ending-nya, tak satu pun kader partai Islam berkesempatan mencicipi peluang memesan tiket politik baik capres maupun cawapres.
Padahal jika saja partai-partai Islam berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) dan membentuk satu barisan koalisi yang kuat dan solid, capres-cawapres dari rahim partai Islam bukanlah ilusi. Pertimbangannya, selain parta-partai Islam (selain PPP) adalah anak kandung reformasi dan didalamnya tersarang sederet tokoh-tokoh reformis yang komitmen terhadap arah gerak reformasi, koalisi berdasarkan persamaan platform, visi-misi, maupun program-pogram politik menjadi prasarat utama. Secara teknis antar partai Islam memang berbeda, namun secara substansi memiliki persamaan yang bersumbu dari satu ideologi dan asas, yakni Islam.
Koalisi partai-partai Islam juga menjadi langkah maju sekaligus memupus kesan-kesan pragmatisme yang kerap dialamatkan kepada partai-partai dilingkaran partai koalisi. Koalisi yang didasarkan pada perbedaan ideologi hanya akan menghasilkan koalisi semu dan potensial menjadi bomerang bagi cita-cita pembentukan pemerintahan kuat, solid, dan efektif.
Pertimbangan penting lainnya adalah pemilih yang mayoritas muslim. Mayoritas pemilih disini tentu bukanlah mayoritas ideologis dan bahkan hampir semua partai Islam tidak lagi mengidentikkan diri sebagai partai ideologis. Isu-isu yang dibangun sarat dengan universalitas, keberagaman, toleransi, persamaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Selain itu, partai-partai Islam juga tidak lagi menampakkan eksklusivitasnya. Kesadaran akan keberagaman (pluralitas) bangsa dan kehidupan era globalitas memaksa partai-partai Islam untuk tidak lagi menjadi rumah tertutup tapi terbuka bagi semua elemen dan kalangan. PAN dan PKB misalnya. Keduanya bisa dibilang motor penggerak terciptanya inklusivitas partai Islam. Dua partai yang dibidani dua tokoh reformis, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, menjadi partai yang tidak hanya dinaungi tokoh-tokoh muslim-reformis, tapi juga non muslim atau tokoh-tokoh nasionalis lainnya.
Pil pahit
Biarpun demikian, ketika dihadapkan dengan realitas politik yang ada, partai-partai Islam tertinggal beberapa langkah dari partai-partai nasionalis lainnya. Sejalan dengan tesis yang mengatakan bahwa kepemelukan seseorang (pemilih) terhadap suatu agama ternyata tidak cukup signifikan dengan partisipasi politik yang bersangkutan, termasuk terhadap partai bersimbol agama yang sama seperti dipeluknya [Abdul Munir Mulkhan (2000].
Sebab paling logis ketidakterimaan pemilih terhadap partai-partai Islam adalah karena tidak adanya kejelasan dalam memperjuangkan kebaikan umat. Abdul Munir Mulkhan tanpa enggan mengatakan bahwa partai Islam miskin gagasan dan defisit strategi konsep pemberdayaan umat. Jalan politik [kebijakan] yang dilewati partai Islam tidak menampakkan sifat kebaruan baik dalam konsep ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Sehingga, apa yang digagas partai-partai Islam tidak pernah dijadikan referensi dalam menentukan kebijakan nasional.
Miskin gagasan dan ketidakjelasan basis perjuangan partai partai Islam menjadi pil pahit yang harus ditelan. Padahal, jika saja agenda-agenda jalan politik baru diatas jauh-jauh hari dijalankan, soal menang hanya tinggal menunggu dan tergatung strategi pemenangan pemilu.
Memupus dwikotomi
Pemilihan Presiden 2009 tinggal hitungan minggu. Konsolidasi elite-elite politik semakin meriuhkan suasana konstalasi perpolitikan yang tidak hanya terlihat di dilevel nasional namun juga pada lokal. Parpol koalisi pun terus menderu-deru guna mensukseskan dan menghantarkan pasangannya memenangkan perebutan kursi RI 1 dan RI 2.
Koalisi Pilpres kali ini mengerucut dalam tiga poros atau kubu. Partai Demokrat dan partai menengah kususnya berbasis yang Islam [PKB, PPP, PAN, PKS] ditambah beberapa partai gurem mengusung Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Sementara Golkar dan Hanura mengusung Jusuf Kalla dan Wiranto. Adapun Megawati Sukarno Putri dan Prabowo Subiyanto dari PDIP, Gerindera dan juga beberap apartai gurem.
Paling tidak koalisi parpol-parpol berbasis Islam dengan partai nasionalis memberi makna baru bahwa dwikotomi Islam dan nasionalis kian memudar. Namun, penepisan dwikotomi Islam dan nasionalis tidaklah cukup. Lebih-lebih motif koalisi hanya untuk kepentingan sesaat yakni kekuasaan, modal, jabatan, atau mencari selamat.
Hal mendesak yang harus dilakukan adalah bersama-sama membangun paradigma alternatif dan cara pandang yang tidak didasarkan pada kepentingan tertentu namun tetap diletakkan pada kepentingan bersama, rakyat, dan negara. Ladang garapan paradigma alternatif sejatinya mampu menyelesaikan problem kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan [terorisme, disintegritas]. Semoga!
(Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Perolehan suara pemilihan umum legislatif 9 April 2009 seolah mendudukkan wajah partai politik Islam “remuk redam”. Suara partai-partai Islam jeblok. Partai-partai Islam tersungkur kepinggir konstalasi politik nasional. Nyaris, menurunnya trust (kepercayaan) pemilih yang notabene mayoritas muslim menjadikan partai Islam bak “tamu” dirumahnya sendiri.
Ditengah suasana girang elit-elit partai nasionalis, partai-partai Islam harus puas diurutan “buncit”. Perolehan suara hasil hitungan cepat memposisikan Partai Demokrat sebagai raja diraja. Setelah Demokrat, bertengger dua partai nasionalis yakni Partai Golkar dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Disusul kemudian oleh PKS (Partai Keadilan Sosial), PAN (Partai Amanat Nasional), PPP (Partai Pesatuan Pembangunan), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat), dan lain-lain.
Jauh hari sebelum pemilu legislatif digelar, suara-suara optimis selalu muncul, yakni hendak mengusung capres. Namun realitas politik berbicara lain. Slogan capres. dari rahim partai Islam pun meredup. Karena target perolehan suara jauh dari harapan, partai-partai Islam akhirnya putar haluan dan menihilkan cita-cita pencalonan presiden.
Partai reformis
Berduyun-duyun partai-partai Islam menawarkan cawapres untuk disandingkan dengan capres yang diusung partai-partai besar. Pada ending-nya, tak satu pun kader partai Islam berkesempatan mencicipi peluang memesan tiket politik baik capres maupun cawapres.
Padahal jika saja partai-partai Islam berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) dan membentuk satu barisan koalisi yang kuat dan solid, capres-cawapres dari rahim partai Islam bukanlah ilusi. Pertimbangannya, selain parta-partai Islam (selain PPP) adalah anak kandung reformasi dan didalamnya tersarang sederet tokoh-tokoh reformis yang komitmen terhadap arah gerak reformasi, koalisi berdasarkan persamaan platform, visi-misi, maupun program-pogram politik menjadi prasarat utama. Secara teknis antar partai Islam memang berbeda, namun secara substansi memiliki persamaan yang bersumbu dari satu ideologi dan asas, yakni Islam.
Koalisi partai-partai Islam juga menjadi langkah maju sekaligus memupus kesan-kesan pragmatisme yang kerap dialamatkan kepada partai-partai dilingkaran partai koalisi. Koalisi yang didasarkan pada perbedaan ideologi hanya akan menghasilkan koalisi semu dan potensial menjadi bomerang bagi cita-cita pembentukan pemerintahan kuat, solid, dan efektif.
Pertimbangan penting lainnya adalah pemilih yang mayoritas muslim. Mayoritas pemilih disini tentu bukanlah mayoritas ideologis dan bahkan hampir semua partai Islam tidak lagi mengidentikkan diri sebagai partai ideologis. Isu-isu yang dibangun sarat dengan universalitas, keberagaman, toleransi, persamaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Selain itu, partai-partai Islam juga tidak lagi menampakkan eksklusivitasnya. Kesadaran akan keberagaman (pluralitas) bangsa dan kehidupan era globalitas memaksa partai-partai Islam untuk tidak lagi menjadi rumah tertutup tapi terbuka bagi semua elemen dan kalangan. PAN dan PKB misalnya. Keduanya bisa dibilang motor penggerak terciptanya inklusivitas partai Islam. Dua partai yang dibidani dua tokoh reformis, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, menjadi partai yang tidak hanya dinaungi tokoh-tokoh muslim-reformis, tapi juga non muslim atau tokoh-tokoh nasionalis lainnya.
Pil pahit
Biarpun demikian, ketika dihadapkan dengan realitas politik yang ada, partai-partai Islam tertinggal beberapa langkah dari partai-partai nasionalis lainnya. Sejalan dengan tesis yang mengatakan bahwa kepemelukan seseorang (pemilih) terhadap suatu agama ternyata tidak cukup signifikan dengan partisipasi politik yang bersangkutan, termasuk terhadap partai bersimbol agama yang sama seperti dipeluknya [Abdul Munir Mulkhan (2000].
Sebab paling logis ketidakterimaan pemilih terhadap partai-partai Islam adalah karena tidak adanya kejelasan dalam memperjuangkan kebaikan umat. Abdul Munir Mulkhan tanpa enggan mengatakan bahwa partai Islam miskin gagasan dan defisit strategi konsep pemberdayaan umat. Jalan politik [kebijakan] yang dilewati partai Islam tidak menampakkan sifat kebaruan baik dalam konsep ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Sehingga, apa yang digagas partai-partai Islam tidak pernah dijadikan referensi dalam menentukan kebijakan nasional.
Miskin gagasan dan ketidakjelasan basis perjuangan partai partai Islam menjadi pil pahit yang harus ditelan. Padahal, jika saja agenda-agenda jalan politik baru diatas jauh-jauh hari dijalankan, soal menang hanya tinggal menunggu dan tergatung strategi pemenangan pemilu.
Memupus dwikotomi
Pemilihan Presiden 2009 tinggal hitungan minggu. Konsolidasi elite-elite politik semakin meriuhkan suasana konstalasi perpolitikan yang tidak hanya terlihat di dilevel nasional namun juga pada lokal. Parpol koalisi pun terus menderu-deru guna mensukseskan dan menghantarkan pasangannya memenangkan perebutan kursi RI 1 dan RI 2.
Koalisi Pilpres kali ini mengerucut dalam tiga poros atau kubu. Partai Demokrat dan partai menengah kususnya berbasis yang Islam [PKB, PPP, PAN, PKS] ditambah beberapa partai gurem mengusung Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Sementara Golkar dan Hanura mengusung Jusuf Kalla dan Wiranto. Adapun Megawati Sukarno Putri dan Prabowo Subiyanto dari PDIP, Gerindera dan juga beberap apartai gurem.
Paling tidak koalisi parpol-parpol berbasis Islam dengan partai nasionalis memberi makna baru bahwa dwikotomi Islam dan nasionalis kian memudar. Namun, penepisan dwikotomi Islam dan nasionalis tidaklah cukup. Lebih-lebih motif koalisi hanya untuk kepentingan sesaat yakni kekuasaan, modal, jabatan, atau mencari selamat.
Hal mendesak yang harus dilakukan adalah bersama-sama membangun paradigma alternatif dan cara pandang yang tidak didasarkan pada kepentingan tertentu namun tetap diletakkan pada kepentingan bersama, rakyat, dan negara. Ladang garapan paradigma alternatif sejatinya mampu menyelesaikan problem kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan [terorisme, disintegritas]. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar