Sabtu, 23 Mei 2009

Legitimasi Agama dalam Golput

Oleh Legiman
Fatwa haram golput merupakan produk agama. Bicara soal agama,
MUI menjadi salah satu  rujukannya. Lembaga MUI, sebagai institusi bentukan pemerintah yang khusus berbicara tentang persoalan-persoalan seputar agama itu, tentu dalam posisi tersubordinasi.
PEMILIHAN Umum (Pemilu) legislatif April 2009 telah menominasikan golput (golput) sebagai ”pemenang”. Walau disokong oleh fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) persentase golput tetap menunjukkan kadar yang tinggi. Menjelang pemilihan umum presiden tidak sedikit kalangan yang memprediksi bakal terjadi lonjakan golput.
Berbeda dengan fatwa haram MUI, di tataran grass root (akar rumput) sederet tokoh masyarakat gencar melakukan seruan golput pada pemilu presiden Juli 2009 mendatang seperti yang dilakukan oleh Sri Bintang Pamungkas. Secara terang-terangan Sri Bintang Pamungkas menjadi Koordinator Kongres Nasional Golongan Putih.
Fatwa haram MUI dan Kongres Nasional Golongan Putih tentu berlawanan secara diametral. Tanpa alasan yang jelas, Sri Bintang menyerukan masyarakat untuk golput, sementara MUI menghendaki agar masyarakat tidak golput dengan alasan bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah wajib.
Bedanya lagi kalau MUI adalah kepanjangan tangan pemerintah, sedangkan Kongres Nasional Golongan Putih merupakan inisiasi sebagian elite yang bersifat kultural, kalau bukan disebut barisan sakit hati yang selama ini berada di luar struktural kekuasaan.
Namun demikian, perbedaan mencolok antara MUI dan Kongres Nasional Golongan Putih bukan lantas menempatkan fatwa haram golput tanpa masalah. Jika Konres Nasioal Golongan Putih cenderung mengaburkan demokrasi, tapi gerakannya menjadi bagian dari demokrasi itu sendiri.
Sementara MUI, fatwa haram golput yang bertujuan mengefektifkan demokrasi memunculkan ”bercak noda” sekaligus mencederai otoritas dan profesionalitas lembaga suci MUI.
Pertengkaran Elite
Jika dirunut jauh kebelakang, inisiasi fatwa haram golput muncul di tengah pertengkaran elite. Pada awalnya adalah statemen Abdurrahman Wahid, politisi sepuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang menyerukan ancaman golput pada  pemilu 2009. Jika boleh direka-reka, ancaman golput itu dilatari rasa ”sakit hati” terhadap pemerintah karena lebih berpihak kepada PKB kubu Muhaimin Iskandar.
Seruan ancaman itu kemudian ditangkap oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekaligus politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nurwahid, dengan aroma tidak sepakat. Hidayat Nurwahid lalu memberi sinyal kepada MUI untuk memproduksi fatwa haram golput.
Kesepemahaman ulama-ulama MUI pun mucul. Hasilnya golput haram. Pro-kontra kemudian merebak, namun tidak sedikit pula yang bersikap dingin dan acuh tak acuh. Dalam perjalanannya, tak hanya media dan pengamat yang geger, masyarakat pun turut dipusingkan oleh fatwa haram golput itu.  Jika tidak memilih, ada kekhawatiran diganjar masuk neraka karena melalukan tindakan atau sikap politik yang telah dicap haram.
Corong Kepentingan
Fatwa haram golput merupakan produk agama. Bicara soal agama, MUI menjadi salah satu  rujukannya. Lembaga MUI, sebagai institusi bentukan pemerintah yang khusus berbicara tentang persoalan-persoalan seputar agama itu tentu dalam posisi tersubordinasi. Legitimasi yang dimiliki tidaklah setangguh lembaga-lembaga politik negara lain seperti eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Namun, bagaimanapun, MUI adalah representasi aspirasi dan kepentingan umat. Keberadaan MUI menjadi penting untuk meningkatkan bargaining position sekaligus menjadi penyambung lidah kepentingan umat Islam.
Kemunculan fatwa haram golput itu kemudian masuk dalam lautan konflik kepentingan di antara kelompok-kelompok yang menyerukan golput dengan golongan yang antigolput. Tidak salah jika kemudian, setelah ketetapan fatwa itu dipublikasikan, MUI menjadi bulan-bulanan kritik. Selain itu, independensi, kapabilitas, dan kredibilitas MUI digugat dan diragukan.
Padahal jika bicara efektivitas, fatwa haram golput bukan malah mendatangkan kemaslahatan, namun kemudaratan. Fatwa itu seakan memaksa agama untuk bermain tarik tambang dengan kekuasaan yang saling tarik-menarik. Di samping itu juga, gawang konstitusi yang secara gamblang mengisyaratkan bahwa memilih adalah hak ditabrak oleh MUI menjadi wajib. Wajib dalam arti haram hukumnya jika tidak memilih.
Jalan kultural
Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik, yakni tidak golput, pada dasarnya baik. Hanya saja, fatwa itu dimunculkan ketika perseteruan antarelite politik mengemuka secara tajam. Padahal tanpa fatwa formal MUI pun sebenarnya ada jalan yang lebih efektif sehingga bisa menghidari sejauh mungkin gesekan-gesekan politik. Cara itu adalah melalui jalan kultural.
Saya pikir seruan tidak golput lebih pas jika menggunakan jalur kutural. Secara sosiologis, peran ulama di mata masyarakat adalah ikon kultural yang selalu di-gugu, menjadi suri tauladan, penasihat agama, curahan hati masyarakat, gawang spiritual.
Kedekatan secara kutural dan emosional itulah ulama bisa menyisipkan pesan-pesan pendidikan politik demi kemajuan dan perubahan bangsa lebih baik, demokratis dan mencerdaskan.(80)
–– Legiman, mahasiswa program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dimuat di Harian Suara Merdeka 23 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com