Minggu, 17 Mei 2009

Jalan transisi menuju pemerintahan efektif

Oleh: Legiman
(Kuliah S-3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Didahului pasangan Jusuf Kalla-Wirano (JK-Win), pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono (SBY-Berbudi) dan Megawati-Prabowo akhirnya menyusul. Disokong suara nasional Partai Golkar 14,45% dan Partai Hanura 3,77%, JK-Win bermodalkan 18,22%, SBY-Berbudi 45% (Partai Demokrat 20,85%, PAN 6,01%, PPP 5,32%, PKB 4,94%, dan PKS 7,88%), sedangkan Mega-Prabowo 18,76% gabungan dari PDIP (14,3%) dan Partai Gerindra (4,6%) (SOLOPOS, 16/5).
Pasangan JK-Win sekonyong-konyong tampil, SBY-Berbudi penuh misteri, dan Mega-Prabowo diawali proses lobi yang cukup alot. Berbeda dengan SBY-berbudi, biarpun sempat menyulut api ancaman dari partai politik mitra koalisi (PAN, PKS, PPP dan lain-lain), namun tidak seperti yang dialami dua pasangan lainnya (JK-Win dan Mega-Prabowo). Seperti tersiar selama ini lewat media massa baik elektronik (teve) maupun koran, pilihan SBY menggandeng Budiono yang notabene tokoh non-parpol membuat gerah PKS, PPP maupun PAN dan mengancam akan keluar dari koalisi. Selang beberapa jam saja sebelum deklarasi SBY-Berbudi, ketidakterimaan itu luluh dan pada akhirnya menerima kehadiran Budiono.
Jalan selanjutnya yang segera dipikirkan pasca Pemilu Presiden 2009 adalah membangun pemerintahan solid, kuat, dan efektif dalam bingkai model pemerintahan presidensil. Tujuan inilah yang sejatinya menjadi latar dalam melakukan lobi-lobi, koalisi, maupun pendeklarasian pasangan capres-cawapres. Jika koalisi hanya bersandar pada pragmatisme politik, sulit dikatakan pemerintahan kedepan akan lebih baik dari sebelumnya.      
Namun pun demikian, berpijak pada konsistensi dan komitmen membangun model pemerintahan presidensil, koalisi atas dasar persamaan ideologi ditengah keberadaan sistem politik multipartai harus ditempatkan pada aras transisi. Artinya, koalisi ideologis merupakan tujuan jangka pendek dimana jangka panjangnya adalah meniscayakan keberadaan parpol yang ramping agar benar-benar terwujud pemerintahan efektif. Mengapa?
Latar elit-elit parpol dalam membangun jejaring koalisi yang tidak lagi melihat persamaan plat form, visi-misi, dan program politik, tapi dilatari semangat pragmatisme layak dicurigai karena hanya akan menjadi momok dan bomerang bagi cita-cita pemerintahan efektif.
Dulu dan kini
Sedikit membalikkan ingatan kebelakang, pertengkaran antar parpol dan ideologi pernah mewarnai gerak perjalanan bangsa. Antar ideologi saling baku hantam dan berebut pengaruh menawarkan solusi dalam membangun nasib masa depan bangsa.
Walau tidak selamanya berada ditengah luapan kotras, antar ideologi sempat duduk bareng memperbincangkan arah bangun bangsa. Buah persandingan itu memang tidak selalu mulus, selalu saja ada jatuh bangun dan ketidaksepemahaman. Konflik ideologis antar parpol dalam konteks ini amat terasa mewarnai pemerintahan parlementer pada era Orde Lama (Orla).
Diera Orde Baru (Orba) pertengkaran ideologis menyusut, Parpol menjadi ramping yang hanya diwakil oleh Golkar, PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Karena ketatnya kontrol penguasa Orba, konflik ideologis mampu dimampatkan, riak-riak idelogis disumbat sedini mungkin. Alhasil buahnya keseimbangan, efektifitas, dan stabilitas pemerintah, walau secara defacto dua parpol diluar Golkar sama sekali tidak bergeming.
Pasca keruntuhan rezim orde baru, beragam kekuatan politik ideologis menyeruak kepermukaan. Parpol tumbuh subur bak jamur dimusim penghujan. Puluhan parpol mewarnai Pemilu 1999 maupun 2004. Beragam parpol dan ideologi pun tumpah ruah mengiringi laju pemerintahan. Akibatnya pemerintahan tidak efektif.
Diera pemerintahan SBY-JK misalnya. Pemerintahan produk koalisi pemilu 2004 tidak cukup maksimal mengantarkan program-program pemerintah berjalan sukses dan efektif. Kendala yang menghadang salah satunya adalah ketidaksolidan parpol koalisi karena berbeda dalam hal ideologi, plat form, visi-misi, atau program politik parpol. Beragam opsi ketidakterimaan kerap muncul dari balik meja anggota dewan legislatif, kususnya suara-suara dari parpol kontra koalisi SBY-JK. Bahkan parpol pengusung SBY-JK pun kerap mangkir dari kontrak dan kesepakatan koalisi.      
Jika dirunut akarnya, keberadaan multipartai adalah salah satu sebabnya. Beragam kepentingan parpol berdesakan mewarnai pemerintahan SBY-JK. Ibarat batu kerikil yang terus mengganjal, multipartai menjadi simalakama dan mengaburkan model pemerintahan presidensil yang anti akan multipartai.
Praktisi, analis, atau pun pengamat politik selama ini terbius dan terlena oleh slogan keunikan model pemerintahan Indonesia. Sayangnya, keunikan itu tidak menciptakan identitas sistem dan model pemerintahan yang produktif, namun sistem yang mandul dan kabur. Konsistensi dan komitmen menegakkan sistem pemerintahan presidensil tidak ditopang oleh kondusifitas keberadaan parpol yang ramping. Keikutsertaan multipartai dalam model pemerintahan presidensil jelas tidak memiliki kohesitas.
Untuk menciptakan pemerintahan solid, kuat, dan efektif, 26% tidaklah cukup. Paling tidak, kepala pemerintahan (presiden) harus didukung lebih dari 50% (lima puluh persen). Atau, -meminjam istilah Denny Indrayana (2006)- koalisi pas terbatas, yakni 70% (tujuh puluh persen). Untuk mencapai dukungan itu maka koalisi mutlak dilakukan. “Koalisi mutlak dilakukan” sama artinya memaksakan koalisi yang tidak segaris dengan tujuan penyelenggaraan sistem pemerintahan. Jika tetap dipaksakan maka hanya akan menjadi momok bagi perjalanan pemerintahan.
Diet partai?
Karena berjalan diatas koalisi yang dipaksakan, tidak ada jaminan pemerintahan hasil koalisi yang dipaksakan akan berjalan solid, kuat dan efektif. Gejolak egoisme elit dan pertentangan kepentingan kemungkinan besar akan tetap menyeruak. Oleh karenanya, pemerintahan presidensil sejatinya tidak berdiri diatas bangunan koalisi, namun oleh satu parpol yang memperoleh suara mayoritas.
Kedepan, yang mendesak didengungkan bukan lagi koalisi solid, kuat, dan efektif dengan tetap membuka pintu selebar-lebarnya bagi kemunculan banyak parpol, namun mewacanakan lahirnya produk undang-undangan agar parpol dibatasi seketat mungkin.   
Pada konteks inilah koalisi parpol harus diletakkan sebagai jalan transisi menuju pemerintahan solid, kuat dan efektif. Jalan transisi itu untuk mengakomodir sistem politik multipartai. Pada endingnya, ketika jalan transisi itu sudah dilalui, jalan berikutnya adalah melakukan perampingan atau diet terhadap parpol dengan cara-cara demokratis yakni membidanai lahirnya produk undang-undang yang bisa membatasi parpol dalam konstelasi politik nasional.
Melahirkan produk undang-undang untuk membatasi keberadaan parpol tidak lah dimaknai sebagai pembonsaian terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat sebagaimana terjadi pada era Orba. Perampingan atau diet parpol agar selaras dengan cita-cita membangun pemerintahan solid, kuat dan efektif disamping sebagai jalan merintis identitas model pemerintahan yang jelas dan berkarakter.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com