Selasa, 26 Mei 2009

Dilema Ulama dalam pusaran politik kekuasaan

Oleh: LEGIMAN
(Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
   
Deklarasi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2009 sudah dilakukan. Ketiganya adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Buoediono, Jusuf Kalla-Wiranto, dan Megawati Sukarno Putri-Prabowo Subianto. Sebagian Capres-Cawapres tak luput menyambangi Ulama mencari dukungan.
Strategi pemasangan Capres-Cawares tampak mengalami pergeseran drastis. Tokoh-tokoh yang tampil hampir-hampir mengabaikan latar belakang kepemimpinan agama. Kalau Pilpres 2004 lalu diramaikan tokoh-tokoh kental dengan pesona Islam, berangkat dari basis intelektual santri tradisional atau kota, kini warna itu tak lagi dominan. Lihat saja, disana ada Wiranto (militer), Boediono (teknokrat/profesional), Prabowo Subianto (militer) dan lain-lain.
Namun pun demikian, walau tidak menggaet pasangan berbasis agama, sebagian pasangan Capres-Cawapres tetap menaruh secercah keyakinan bahwa kepemimpinan beraroma agama masih berpotensi mempengaruhi psikologi umat (pemilih). Keyakinan itu bisa dilihat dari intensitas komunikasi para kandidat dengan Ulama untuk menerobos jantung pemilih umat.
Pasangan JK-Wiranto usai deklarasi langsung menghampiri Pimpinan Pondok Pesantren Al-Munawir, di Krapyak, Bantul, Yogyakarta. Selepas itu, pasangan yang mengusung slogan “Lebih cepat lebih baik” itu pun melawat ke kediaman Kiayi Dimyati di Kendal, Kiayi Habib Luthfi, sang penasehat spiritual pasangan SBY-JK di pemerintahan dan menemui Kiayi Dzikron, pimpinan Pondok Pesantren Ad Ainuriah, Semarang Jawa tengah.
Tak tanggung-tanggung, malam harinya, JK bertemu ulama se-Jawa tengah diSemarang. Tak mau kalah, pasangan SBY-Boediono dikabarkan juga melakukan safari politiknya ke sejumlah Kiayi di Jawa Timur. Tak lain, motif yang segera ditangkap publik adalah pencarian dukungan kepada Ulama yang selama ini masih dianggap memiliki citra karismatik dimata umat.
Bahkan pencarian dukungan politik atau “kampanye” dini dibalik jubah silalaturahim memperlihatkan gejala re-politisasi ulama dimana secara terang-terangan memberikan dukukungan keberpihakannya pada salah atau pasangan Capres-Cawapres. Sebagai misal adalah dukungan Ahmad Syafi’ Ma’arif, mantan orang nomor satu di Muhammadiyah yang mendukung pencalonan JK-Wiranto. Bilamana Ulama terlibat dalam dukung-mendukung Capres-Cawares?
Independensi
Memang ulama tidak ikut sebagai kontestan Pilpres, namun seruan yang dilakukan ulama dalam orasi verbalnya mendukung Capres-Cawapres tidak bisa dikatakan sebagai di luar kerja politik praktis. Sebab, puncak politik praktis adalah kepemimpinan nasional. Belajar dari pengalaman-pengalaman yang ada, ketika ulama masuk dalam kubangan politik praktis, bercak yang membekas tak lain adalah beban ancaman konflik horizontal. 
Tidak sedikit kalangan yang menaruh apatisme mendalam dampak dari kerja-kerja politik praktis. Politik kekuasaan adalah wilayah atau tempat yang sesak dan panas. Mata indra dan hati seakan dibutakan sehingga sulit mendeteksi mana kawan dan mana lawan. Tidak ada kawan dan lawan sejati, yang ada adalah kepentingan. 
Kepentingan atas nama kepentingan adalah berhala utama yang dikedepankan biarpun harus memakan korban. Maka, popularitas Ulama yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan dapat menjadi jembatan penghantar menuju jurang permusuhan dan konflik. 
Memang imbauan dukung mendukung ulama terhadap Capres-Cawapres lebih merupakan seruan moral dan tidak ada sanksinya. Pun seruan itu tanpa paksaan dan tetap dikembalikan pada pilihan nurani masing-masing. Namun pun demikian jika kita mendudukankan secara benar peran dan fungsi ulama akan segera ditemui dis-orientasi.
Antara Ulama dan umat ada semacam bangunan sistem interaksi dimana didalamnya ada “alokasi” wewenang yang mengikat atau yang mengandung otoritas untuk diimplementasikan, yakni keyakinan agama yang sifatnya absolut, transenden dan sakral. Dis-orientasi yang muncul tak elak kebingungan umat membedakan mana wilayah agama dan politik yang sifatnya provan dan temporal (keduniwian/hubbut dinya).
Sejatinya, independensi Ulama harus tetap dipupuk. Ulama adalah modal sosial, budaya, dan gudangnya pembangunan etika dan moral bangsa tanpa harus tergoyahkan oleh rayuan dan kepentingan politik praktis. Alangkah apiknya lagi jika ulama menjadi ikon perubahan sosial dan konsisten menjadi elemen potensial membangun gerakan civil society.
Civil society dan Ulama
Secara etimologis istilah civil society disepadankan dengan istilah masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat utama, dan masyarakat beradab (Ahmad Baso, 1999: 184-189).
Namun secara substansial istilah ini sering kali merujuk pada arti  masyarakat beradab, lembaga, kelompok atau perorangan yang “bukan negara” seperti Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM, Organisasi Masyarakat (Ormas). Civil society erat dilekatkan sebagai masyarakat yang sopan dan toleran satu sama lain, yang mampu mengatur diri sendiri melalui pelbagai lembaga, tanpa campur tangan pemerintah.
Di Indonesia civil society menampilkan bentuk fungsi yang terus berevolusi baik sebagai kekuatan resistensi atau oposisi, sebagai mitra pemerintah atau penguasa dalam melaksanakan kepentingan publik, dan bila kehidupan publik telah terakomodasi secara baik civil society dapat memainkan fungsinya secara komplementer, di mana ia muncul untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.
Dari ragam corak dan bentuk fungsi civil society tampaknya di era reformasi saat ini peran Ulama lebih relevan jika mengacu pada fungsi dua terakhir. Walau demikian hubungan harmonis mitra strategis atau komplementer bukan berarti harus saling menjinakkan, atau pemimpin politik “membeli” Ulama, tarik-menarik maupun dukung mendukung Capres-Cawapres.
Meminjam istilahnya Azyumari Azra (2000:44) antara pemerinah dan Ulama harus menjadi partner. Makna mitra adalah teman yang tidak saja sekedar memberi tahu hal-hal yang yang baik, namun juga kritik. Sehingga, pada saat yang sama menjadi kekuatan chek and balance.
Dalam konteks relasi kmplementer,  kemunculan ulama dalam melengkapi kebutuhan masyarakat bisa juga dimaknai dengan pepenuhan seruan dakwah yang tidak melepaskan diri pemenuhan ekonomi selain juga pendidikan, pemberdayaan dan aspek-aspek kesejahteraan lainnya.      
Dengan posisi seperti itu semoga ulama menjadi bagian dari problem solving (pemecah masalah)  dari kompleksitas persoalan umat yang kini bak labirin dan tak tahu ujung pangkalnya. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com