Minggu, 16 November 2008

Lagi, Koruptor vs Eksekusi Amrozi cs

Oleh: Legiman, M.Ag.
Sempurna sudah kejahatan yang ada di Indonesia. Mulai dari maling (mencuri) ayam, copet, korupsi hingga aksi terorisme yang menelan ratusan korban jiwa berikut fasilitas penting publik lainnya. Hukumannya pun berbeda-beda sesuai aturan dan kejahatan yang dilakukan. Sejatinya, makin besar dampak yang ditimbulkan terhadap tatanan kehidupan sosial, bangsa, dan negara, maka makin berat pula hukuman yang ditimpakan.
Ada hukuman penjara dalam hitungan bulan, kurungan kurang dari sembilan tahun, hingga vonis mati yang dialami Amrozi cs beberapa waktu lalu. Amrozi cs meregang nyawa beberapa menit setelah tim eksekutor mendaratkan peluru panas disekitar jantung Amrozi cs. Sedangkan hukuman kurang dari sembilan tahun marak menimpa elite-elite atau pejabat publik negeri ini yang terbukti bersalah.
Kedepan, hukuman kurungan kurang dari sembilan tahun pejabat-pejabat koruptor bakal ramai menyusul pejabat-pejabat yang sudah lebih dulu mendekam dipenjara setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memergoki para pejabat yang diduga melakukan konsirasi busuk alias korupsi. Ya, kurang dari sembilan tahun. Itulah hukuman yang diberikan kepada para penjahat negara yang berdampak pada kerusakan luar biasa. Adilkah hukum kita? Sebuah pertanyaan filosofis yang multitafsir, ragam interpretatasi, dan sangat subjektif.    
Untuk model hukuman mati bagi pelaku kejahatan, biarpun sempat menjadi perdebatan lumayan hangat belakangan ini, model ini masih juga dipraktekkan. Sebagai misal adalah vonis mati terhadap Ahmad Suraji terpidana asal Medan, Sumatera Utara beberapa waktu lalu. Dan yang lebih up to date adalah ekskusi mati terhadap terdakwah bom Bali I yang menewaskan 200-an orang.
Dalam kasus Amrozi cs, modusnya berbeda dengan modus-modus kejahatan lainnya seperti pencuri ayam, koruptor, maupun vonis mati terhadap Ahmad Suraji. Kasus Amrozi cs sang terdakwa bom Bali I tahun 2002 tak elak memunculkan riuh yang lumayan kompleks. Tak hanya dari aspek hukum semata namun juga aspek psikologi, sosial-politik, hingga agama, semua campur baur jadi satu.
Pada dasarnya, bila dilihat dari dampaknya, kejahatan korupsi lebih luas dan lebih berbahaya bila dibandingkan kejahatan bom Bali I atau kejahatan yang dilakukan Ahmad Suraji. Kebodohan, pengangguran, kemiskinan, kelaparan, instabilitas ekonomi, dan lain-lain adalah dampak nyata dari kejahatan korupsi.
Pertanyaannya, mengapa Ahmad Suraji secara mudah dan tanpa halangan sedikit pun sukses dihantarkan ke tiang “gantungan” (istilah lain dari tembak mati)? Mengapa wacana hukuman mati bagi Amrozi cs dari waktu ke waktu terlihat makin nyata, intensif, dan akhirnya ber-ending pada eksekusi? Sebaliknya, mengapa wacana hukuman mati bagi pejabat korupsi yang belakangan ini banyak dibicarakan kian hari makin sepi, kabur dan hilang?
Tak elak, karakter kejahatanlah yang menjadi sebab utamanya. Karakter kejahatan korupsi adalah tersembunyi, sistematis, dan terorganisir. Untuk mengungkapnya butuh analisis kritis, tajam, dan lihai. Jangankan masyarakat awam, para jaksa atau pun hakim yang selama ini dinilai berpengalaman, reformis dan komit terhadap reformasi hukum kerap terkecoh, gagap, canggung, kecolongan, dan menjadi bulan-bulanan setting dan sekenario para koruptor.
Kejahatan (korupsi) yang tak tampak secara mata telanjang ini tentu berbeda dengan pembunuhan baik melalui modus pengeboman, pembantaian berantai, pembunuhan terencana atau perampokan yang bisa dilihat dengan mata telanjang yang kemudian membangkitkan kemarahan psikologis. Gumpalan kemarahan itu kemudian diartikulasikan lewat, semisal kata-kata “tidak beradap”, “tidak manusiawi”, “pelaku layak dihukum berat, hukuman mati”, dan lain sebagainya. 
Bukan tidak mungkin, bila suatu saat  masyarakat sudah kritis, paham hukum, dan lihai menganalisis geliat prilaku menyimpang para elite pejabat yang korup, masyarakat dengan sendirinya akan berbondong-bondong menuntut kepada pemerintah dan penegak hukum untuk memvonis mati pelaku korupsi. Artinya, dorongan masyarakat melalui protes, tuntutan, dan desakan menjadi penentu dalam suatu kebijakan tertentu baik kebijakan ekonomi, politik maupun hukum.
Status sosial seseorang juga berpengaruh bagi penetapan hukum. Modal sosial seperti uang, jabatan, kuatnya jaringan mafioso, hingga shillaturrahim jaringan politik kekuasaan keluarga adalah faktor dominan sehingga para koruptor yang terindikasikan bersalah tidak tersentuh hukum. Kalau pun dijatuhi hukuman, tidak lebih dari sembilan tahun.
Apalagi hukum kita belum bisa dikatakan reformis dan masih melintasi jembatan atau masa-masa transisi. Tidak jarang kita menemukan para hakim yang terjerat kasus suap-menyuap dan memperjualbelikan hukum.
Ditengah kegalauan hukum kita saat ini, produk hukum yang ada tidak seperti setumpuk kardus berbentuk kotak yang bebas dari pegaruh-pengaruh luar. Para koruptor juga bak pohon yang memiliki akar kuat. Kekuatan politik maupun uang ibarat akar yang menghujam kebawah tanah dan menyatu dengan akar-akar pohon lainnya sehingga sulit untuk ditumbangkan.
Kekuatan politik dan uang yang masih mewarnai perjalanan hukum, bila tidak segera ditepis dan dihilangkan dari wajah dunia hukum, maka objektifitas dan keadilan hukum akan sulit untuk tegak berdiri. Dampaknya, penegakan hukum tidak lagi diorientasikan pada tujuan-tujuan sebenarnya, yakni keadilan hukum, namun diarahkan pada pembangunan citra politik.
Semoga saja vonis mati atas Amrozi cs didasarkan pada keadilan hukum dan bukan untuk tujuan-tujuan sesaat, politis, dan guna mendongkrak citra politik baik dimata dunia atau demi kepentingan pemilu 2009.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com