Oleh Legiman
(Pemerhati masalah sosial, Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Gowok Nolo Bangsan, Yogyakarta).
Selang beberapa waktu pascapengukuhan Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri sebagai Kepala Polisi Republik Indonesai (Kapolri) menggantikan Sutanto, publik dikagetkan oleh agenda Kapolri yang terobsesi untuk melibas habis salah satu penyakit sosial, yakni premanisme. Tujuan agenda Kapolri itu adalah menciptakan keamanan, kenyamanan, dan ketertiban masyarakat.
Biarpun aksi perburuan terhadap orang-orang yang sudah terindikasi “ideologi” premanisme ini pernah dijadikan ladang garapan Kapolri sebelum Bambang, namun aksi seribu langkah kali ini terlihat fenomenal dan sempat terbesit secercah harapan dari penulis terkait prospek dan efektifitasnya. Hampir disetiap daerah, dilokus-lokus tertentu razia yang dilakukan oleh polisi menjadi pemandangan yang tidak asing lagi dimata masyarakat.
Dalam setiap kamus bahasa Indonesia secara sederhana istilah preman adalah sebutan kepada orang jahat seperti penodong, pemeras, perampok, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya. Mengingat kerja-kerja premanisme saat ini sudah menjadi gerakan yang terorganisir dan rapih, tentu langkah Kapolri agar benar-benar tercipta kenyamanan masyarakat sejatinya dilakukan secara terorganisir dan sistematis pula serta tidak parsial.
Reaktif
Kerja-kerja parsial atau tanpa berkesinambungan adalah model kerja yang reaktif. Sebuah respon yang tidak berpijak pada konsep-konsep serta pembacaan kritis, jernih, dan analisis mendalam terkait target, peluang, dan tantangan.
Bagaimanapun, upaya melibas habis para preman adalah positif dan menjadi harapan publik yang rindu keamanan lebih, kenyamanan maksimal, dan ketertiban abadi. Hanya saja bila agenda perburuan preman tidak diimbangi dan diikuti oleh program yang sifatnya rehabilitatif maka akan menjadi pekerjaan sia-sia dan tidak meninggalkan bekas positif. Lebih-lebih, bila langkah reaktif itu tidak juga diimbangi dengan gerakan preventif maka gejala premanisme akan kembali subur dan kian menjamur.
Gerakan atau langkah preventif dimaksud adalah berkesinambungan, terus-menerus, dan tanpa henti mengawal, memantau gerak-gerik premanisme ditengah kehidupan sosial masyarakat. Oleh karenanya bangunan sistem yang kuat, mantap, sistematis, dan terorganisir serta komitmen tinggi dari polisi menjadi hal yang mutlak dan mendesak. Yakni sebuah bangunan sistem yang mampu membuka akses seluas-luasnnya kepada masyarakat untuk secara mudah berinteraksi dan berkomunikasi kepada polisi. Singkatnya, ada kedekatan masyarakat dengan polisi dimana kedekatan itu bisa diilustrasikan bak sedekat urat nadi yang selalu mengayomi, melindungi, dan memberi rasa aman.
Kedekatan masyarakat dengan polisi tentu menjadi harapan dan impian masyarakat. Pengejawantahan sederhana dari kedekatan itu adalah semua persoalan sekecil apapun yang berkaitan dengan kriminalitas yang dilaporkan kepada polisi langsung mendapat respon dan polisi secara bergegas turun kelapangan. Tanpa terbesit sedikit pun siapa, kapan, dan dimana, polisi siap melayani.
Bisa jadi, salah satu modus premanisme yang berbau pemerasan dengan menjadi “pahlawan keamanan” ditengah kehidupan masyarakat adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi. Dengan membayar kepada preman, maka keamanan dipastikan akan terwujud karena memang preman itu sendiri adalah pelakunya. Saat ini Kapolri dan jajarannya sedang gencar-gencarnya memburu preman, termasuk preman dengan modus “pahlawan keamanan”.
Pada titik ini, dilihat dari kacamata lebih luas, kehadiran dan merebaknya fenomena “pahlawan keamanan” disebabkan oleh minimnya lapangan pekerjaan, atau aktor-aktornya miskin akan keterampilan atau skill. Bukan hanya preman bermodus “pahlawan keamanan”, preman-preman dengan modus lainnya, yang masuk dalam kategori preman menurut kamus diatas (penodong, perampok, pemeras, dan lain-lain), juga sebagai dampak dari kekacauan politik negeri ini. Mereka adalah korban dari salah urus negeri ini yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan.
Pemberdayaan
Oleh karenanya, berangkat dari terciptanya keamanan dan kenyamaan sebagai tujuan dari pemberantasan preman, pertama, apa yang digarap oleh Kapolri dan jajarannya tidak menjadi angin lalu yang kemudian tanpa langkah sistematis lainnya. Menyapu habis fenomena preman yang kini sudah terorganisir rapih, tidak cukup hanya dengan kerja-kerja reaktif dan insidental.
Kedua, premanisme seyogyanya tidak semata diletakkan pada wilayah atau persoalan keamanan yang formulasi penangannya hanya menggunakan kaca mata keamanan. Namun diletakkan pada persoalan yang lebih luas, yakni persoalan sosial, ekonomi, dan politik agar upaya penyelesaiannya lebih komprehensif dan holistik. Atas dasar itu, keseriusan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan menjadi salah satu bagian dari alternatif solusi.
Ketiga, memposisikan para preman layaknya manusia, warga negara bangsa, yang harus diayomi dan diberi jaminan sosial oleh negara. Bisa jadi para preman adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan global saat ini, tersisih dari perseteruan sengit ditengah pertempuran mekanisme pasar (kapitalisme) yang menghendaki kemenangan dipihak yang kuat dan yang memiliki modal, skill, dan akses informasi yang cukup.
Dengan demikian, dengan tetap memanusiakan para preman dan tidak ansich melihat para preman sebagai sampah sumber daya manusia (SDM) negara, pemberian pendidikan, keterampilan atau skill adalah jalan yang paling bijak untuk memberdayakan para preman. Tak cuma reaktif, namun juga preventif, rehabilitatif, dan memberdayakan. Semoga!.
(Pemerhati masalah sosial, Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Gowok Nolo Bangsan, Yogyakarta).
Selang beberapa waktu pascapengukuhan Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri sebagai Kepala Polisi Republik Indonesai (Kapolri) menggantikan Sutanto, publik dikagetkan oleh agenda Kapolri yang terobsesi untuk melibas habis salah satu penyakit sosial, yakni premanisme. Tujuan agenda Kapolri itu adalah menciptakan keamanan, kenyamanan, dan ketertiban masyarakat.
Biarpun aksi perburuan terhadap orang-orang yang sudah terindikasi “ideologi” premanisme ini pernah dijadikan ladang garapan Kapolri sebelum Bambang, namun aksi seribu langkah kali ini terlihat fenomenal dan sempat terbesit secercah harapan dari penulis terkait prospek dan efektifitasnya. Hampir disetiap daerah, dilokus-lokus tertentu razia yang dilakukan oleh polisi menjadi pemandangan yang tidak asing lagi dimata masyarakat.
Dalam setiap kamus bahasa Indonesia secara sederhana istilah preman adalah sebutan kepada orang jahat seperti penodong, pemeras, perampok, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya. Mengingat kerja-kerja premanisme saat ini sudah menjadi gerakan yang terorganisir dan rapih, tentu langkah Kapolri agar benar-benar tercipta kenyamanan masyarakat sejatinya dilakukan secara terorganisir dan sistematis pula serta tidak parsial.
Reaktif
Kerja-kerja parsial atau tanpa berkesinambungan adalah model kerja yang reaktif. Sebuah respon yang tidak berpijak pada konsep-konsep serta pembacaan kritis, jernih, dan analisis mendalam terkait target, peluang, dan tantangan.
Bagaimanapun, upaya melibas habis para preman adalah positif dan menjadi harapan publik yang rindu keamanan lebih, kenyamanan maksimal, dan ketertiban abadi. Hanya saja bila agenda perburuan preman tidak diimbangi dan diikuti oleh program yang sifatnya rehabilitatif maka akan menjadi pekerjaan sia-sia dan tidak meninggalkan bekas positif. Lebih-lebih, bila langkah reaktif itu tidak juga diimbangi dengan gerakan preventif maka gejala premanisme akan kembali subur dan kian menjamur.
Gerakan atau langkah preventif dimaksud adalah berkesinambungan, terus-menerus, dan tanpa henti mengawal, memantau gerak-gerik premanisme ditengah kehidupan sosial masyarakat. Oleh karenanya bangunan sistem yang kuat, mantap, sistematis, dan terorganisir serta komitmen tinggi dari polisi menjadi hal yang mutlak dan mendesak. Yakni sebuah bangunan sistem yang mampu membuka akses seluas-luasnnya kepada masyarakat untuk secara mudah berinteraksi dan berkomunikasi kepada polisi. Singkatnya, ada kedekatan masyarakat dengan polisi dimana kedekatan itu bisa diilustrasikan bak sedekat urat nadi yang selalu mengayomi, melindungi, dan memberi rasa aman.
Kedekatan masyarakat dengan polisi tentu menjadi harapan dan impian masyarakat. Pengejawantahan sederhana dari kedekatan itu adalah semua persoalan sekecil apapun yang berkaitan dengan kriminalitas yang dilaporkan kepada polisi langsung mendapat respon dan polisi secara bergegas turun kelapangan. Tanpa terbesit sedikit pun siapa, kapan, dan dimana, polisi siap melayani.
Bisa jadi, salah satu modus premanisme yang berbau pemerasan dengan menjadi “pahlawan keamanan” ditengah kehidupan masyarakat adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi. Dengan membayar kepada preman, maka keamanan dipastikan akan terwujud karena memang preman itu sendiri adalah pelakunya. Saat ini Kapolri dan jajarannya sedang gencar-gencarnya memburu preman, termasuk preman dengan modus “pahlawan keamanan”.
Pada titik ini, dilihat dari kacamata lebih luas, kehadiran dan merebaknya fenomena “pahlawan keamanan” disebabkan oleh minimnya lapangan pekerjaan, atau aktor-aktornya miskin akan keterampilan atau skill. Bukan hanya preman bermodus “pahlawan keamanan”, preman-preman dengan modus lainnya, yang masuk dalam kategori preman menurut kamus diatas (penodong, perampok, pemeras, dan lain-lain), juga sebagai dampak dari kekacauan politik negeri ini. Mereka adalah korban dari salah urus negeri ini yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan.
Pemberdayaan
Oleh karenanya, berangkat dari terciptanya keamanan dan kenyamaan sebagai tujuan dari pemberantasan preman, pertama, apa yang digarap oleh Kapolri dan jajarannya tidak menjadi angin lalu yang kemudian tanpa langkah sistematis lainnya. Menyapu habis fenomena preman yang kini sudah terorganisir rapih, tidak cukup hanya dengan kerja-kerja reaktif dan insidental.
Kedua, premanisme seyogyanya tidak semata diletakkan pada wilayah atau persoalan keamanan yang formulasi penangannya hanya menggunakan kaca mata keamanan. Namun diletakkan pada persoalan yang lebih luas, yakni persoalan sosial, ekonomi, dan politik agar upaya penyelesaiannya lebih komprehensif dan holistik. Atas dasar itu, keseriusan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan menjadi salah satu bagian dari alternatif solusi.
Ketiga, memposisikan para preman layaknya manusia, warga negara bangsa, yang harus diayomi dan diberi jaminan sosial oleh negara. Bisa jadi para preman adalah orang-orang yang kalah dalam persaingan global saat ini, tersisih dari perseteruan sengit ditengah pertempuran mekanisme pasar (kapitalisme) yang menghendaki kemenangan dipihak yang kuat dan yang memiliki modal, skill, dan akses informasi yang cukup.
Dengan demikian, dengan tetap memanusiakan para preman dan tidak ansich melihat para preman sebagai sampah sumber daya manusia (SDM) negara, pemberian pendidikan, keterampilan atau skill adalah jalan yang paling bijak untuk memberdayakan para preman. Tak cuma reaktif, namun juga preventif, rehabilitatif, dan memberdayakan. Semoga!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar