Oleh Legiman
(Peminat masalah politik, Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Selepas ditetapkannya kemenangan Barack Obama pada pemilihan umum (pemilu) Amerika Serikat (AS), semua mata dunia terfokus pada satu titik, yakni Obama for Presiden. Sorak sorai, haru, dan penuh bangga melebur menjadi satu yang kemudian menjadi satu gumpalan dengan iringan slogan perubahan. Slogan perubahan yang dialamatkan kepada Obama sang kandidat terpilih dari Partai Demokrat.
Sederet isu penting langsung mencuat mulai dari teorisme global, krisis global, perdamaian global, hingga perang Irak, Afganistan, Palestina, dan Israel yang menjadi persoalan global selama ini. Sederet isu itu menjadi harapan global yang disandarkan kepada sosok Obama sebagai pekerjaan rumah sekaligus “hadiah” atas kemenangannya.
Bagi Indonesia fenomena Obama menjadi sesuatu yang heroik dan terselip suatu kebanggaan tersendiri. Pasalnya, sosok Obama yang kini menjadi orang nomor satu di negara yang dijuluki polisi dunia itu pernah menjadi “bocah” di Menteng, Jakarta dan beberapa tahun sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar produk Indonesia. Pertanyaannya, pelajaran berharga apa yang laik kita petik dari fenomena Obama dan proses demokrasi di AS itu yang diyakini sebagai negara paling demokrastis dibelahan dunia?
Demokrasi liberal dan modal
Dalam beberapa hal AS dan Indonesia memiliki kesamaan. Akan tetapi tidak sedikit pula perbedaan-perbedaannya kususnya terkait tingkat kesejahteraan warganya.
Diteropong dari aspek politik, AS dan Indonesia adalah dua negara yang berkomitmen menegakkan demokrasi sebagai sistem politik negara. Obsesi untuk berpijak pada pilihan demokrasi memang lebih dahulu dilakoni AS, namun banyak pengamat politik berkesan melihat fenomena dan praktek demokrasi di Indonesia dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang berhak menjadi nominator negara yang sukses mempraktekkan demokrasi.
Secara prosedural, Indonesia memang sukses dalam demokrasi. Sayangnya demokrasi prosedural itu terasa gersang, absurd, dan belum menyentuh esensi serta tujuan dari demokrasi yang sebenarnya. Sebab, demokrasi di Indonesia tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi warganya. Pengamat memberi istilah dengan demokrasi substansial.
Praktek demokrasi yang terjadi di Indonesia tak ubahnya hanya sebatas ruang dan medium perebutan kekuasaan ansich yang tidak diorientasikan bagi perjuangan, kepentingan, aspirasi, dan hak-hak warga. Singkatnya, demokrasi yang terjadi di Indonesia hanya tampak pada proses-proses pemilihan pemimpin mulai dari pemilihan Presiden, Wakil Rakyat (Legislatif), Gubernur, Wali-Kota, Bupati, hingga level pemilihan Kepala Desa.
Jika pesta demokrasi usai, maka usai sudah asa warga yang digantungkan diatas pundak para pemimpin. Mimpi kesejahteraan tak juga terkabul, pengangguran menggelembung, kemiskian kian akut, pendidikan mengalami kastanisasi, dan sederet anomal-anomali lainnya.
Demokrasi liberal Indonesia yang termanifestasikan dalam bentuk formal-verbal, kalau bukan seremonial-prosedural, tak ubahnya ajang demokrasi elite yang memarginalkan demokrasi partisipasi rakyat. Sebuah ajang demokrasi yang dipenuhi sekumpulan elite-elite pemodal.
Ditengah akutnya kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, kekuatan modal menjadi sesuatu yang menetukan dan mutlak diperlukan jika ingin mendapat dukungan. Dengan berpijak pada kekuatan modal itulah pelbagai kepentingan tumpah ruah dan dampaknya adalah korupsi yang makin membabi buta.
Terhambatnya kemunculan pemimpin alternatif, praktek-praktek money politics (politik uang), konflik-konflik politik horizontal baik sebelum maupun pasca pemilu atau pilkada, dan lain-lain, adalah buah dari dominannya kekuatan modal.
Pemimpin dipilih bukan atas dasar kepribadian yang memiliki emosional dan mentalitas mantap, bervisi, muda, dan kaya dengan gagasan-gagasan berlian, akan tetapi sejauh mana calon pemimpin itu memiliki modal besar, jaringan pengusaha yang luas, biarpun kapasitasnya dan potensi yang dimilki tidak seberapa serta termasuk golongan konservatif. Harapan yang terbesit, dengan modal itu semua biaya-biaya kampanye, iklan politik, hingga money politics mulus tanpa hambatan.
Pelajaran demokrasi
Pada pemilu AS yang dimenangkan Obama laik kita petik segudang pelajaran dari proses demokrasi AS itu. Hampir-hampir tidak ditemui konflik-konflik berarti yang rawan integrasi, terbebas dari money politcs, dan masing-masing calon siap menerima konsekuensi baik konteks kemenangan maupun kekalahan. Terbukti, McCain yang kalah langsung berpidato didepan pendukungnya dan mengucapkan selamat kepada Barack Obama.
Pemilu AS adalah sebuah proses politik yang patut dicontoh oleh semua negara-negara dibelahan dunia, termasuk Indonesia. Pemilih tidak mendasarkan pada pilihan pemimpin dari mana latar belakang garis keturunan, uang, suku, etnis, atau usia. Namun yang menjadi patokan adalah pengalaman pengabdian calon pemimpin terhadap bangsa dan negara, komitmen, tegas, dan kepekaan menangkap aspirasi dengan berpijak pada integrasi, kesejahteraan, dan cita-cita perdamaian.
Oleh karenanya, kemenangan Obama yang sempat membuat riuh penuh bangga jutaan masyarakat Indonesia tak cuma dilihat dari sosok Obama yang pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia tepatnya di Mentang, Jakarta. Lebih dari itu, proses-proses politik yang anggun, elegan, penuh pesan-pesan pencerahan, dan santun menjadi catatan berharga bagi bangsa ini, kususnya elite-elite politik untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam berdemokrasi.
(Peminat masalah politik, Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Selepas ditetapkannya kemenangan Barack Obama pada pemilihan umum (pemilu) Amerika Serikat (AS), semua mata dunia terfokus pada satu titik, yakni Obama for Presiden. Sorak sorai, haru, dan penuh bangga melebur menjadi satu yang kemudian menjadi satu gumpalan dengan iringan slogan perubahan. Slogan perubahan yang dialamatkan kepada Obama sang kandidat terpilih dari Partai Demokrat.
Sederet isu penting langsung mencuat mulai dari teorisme global, krisis global, perdamaian global, hingga perang Irak, Afganistan, Palestina, dan Israel yang menjadi persoalan global selama ini. Sederet isu itu menjadi harapan global yang disandarkan kepada sosok Obama sebagai pekerjaan rumah sekaligus “hadiah” atas kemenangannya.
Bagi Indonesia fenomena Obama menjadi sesuatu yang heroik dan terselip suatu kebanggaan tersendiri. Pasalnya, sosok Obama yang kini menjadi orang nomor satu di negara yang dijuluki polisi dunia itu pernah menjadi “bocah” di Menteng, Jakarta dan beberapa tahun sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar produk Indonesia. Pertanyaannya, pelajaran berharga apa yang laik kita petik dari fenomena Obama dan proses demokrasi di AS itu yang diyakini sebagai negara paling demokrastis dibelahan dunia?
Demokrasi liberal dan modal
Dalam beberapa hal AS dan Indonesia memiliki kesamaan. Akan tetapi tidak sedikit pula perbedaan-perbedaannya kususnya terkait tingkat kesejahteraan warganya.
Diteropong dari aspek politik, AS dan Indonesia adalah dua negara yang berkomitmen menegakkan demokrasi sebagai sistem politik negara. Obsesi untuk berpijak pada pilihan demokrasi memang lebih dahulu dilakoni AS, namun banyak pengamat politik berkesan melihat fenomena dan praktek demokrasi di Indonesia dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang berhak menjadi nominator negara yang sukses mempraktekkan demokrasi.
Secara prosedural, Indonesia memang sukses dalam demokrasi. Sayangnya demokrasi prosedural itu terasa gersang, absurd, dan belum menyentuh esensi serta tujuan dari demokrasi yang sebenarnya. Sebab, demokrasi di Indonesia tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi bagi warganya. Pengamat memberi istilah dengan demokrasi substansial.
Praktek demokrasi yang terjadi di Indonesia tak ubahnya hanya sebatas ruang dan medium perebutan kekuasaan ansich yang tidak diorientasikan bagi perjuangan, kepentingan, aspirasi, dan hak-hak warga. Singkatnya, demokrasi yang terjadi di Indonesia hanya tampak pada proses-proses pemilihan pemimpin mulai dari pemilihan Presiden, Wakil Rakyat (Legislatif), Gubernur, Wali-Kota, Bupati, hingga level pemilihan Kepala Desa.
Jika pesta demokrasi usai, maka usai sudah asa warga yang digantungkan diatas pundak para pemimpin. Mimpi kesejahteraan tak juga terkabul, pengangguran menggelembung, kemiskian kian akut, pendidikan mengalami kastanisasi, dan sederet anomal-anomali lainnya.
Demokrasi liberal Indonesia yang termanifestasikan dalam bentuk formal-verbal, kalau bukan seremonial-prosedural, tak ubahnya ajang demokrasi elite yang memarginalkan demokrasi partisipasi rakyat. Sebuah ajang demokrasi yang dipenuhi sekumpulan elite-elite pemodal.
Ditengah akutnya kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, kekuatan modal menjadi sesuatu yang menetukan dan mutlak diperlukan jika ingin mendapat dukungan. Dengan berpijak pada kekuatan modal itulah pelbagai kepentingan tumpah ruah dan dampaknya adalah korupsi yang makin membabi buta.
Terhambatnya kemunculan pemimpin alternatif, praktek-praktek money politics (politik uang), konflik-konflik politik horizontal baik sebelum maupun pasca pemilu atau pilkada, dan lain-lain, adalah buah dari dominannya kekuatan modal.
Pemimpin dipilih bukan atas dasar kepribadian yang memiliki emosional dan mentalitas mantap, bervisi, muda, dan kaya dengan gagasan-gagasan berlian, akan tetapi sejauh mana calon pemimpin itu memiliki modal besar, jaringan pengusaha yang luas, biarpun kapasitasnya dan potensi yang dimilki tidak seberapa serta termasuk golongan konservatif. Harapan yang terbesit, dengan modal itu semua biaya-biaya kampanye, iklan politik, hingga money politics mulus tanpa hambatan.
Pelajaran demokrasi
Pada pemilu AS yang dimenangkan Obama laik kita petik segudang pelajaran dari proses demokrasi AS itu. Hampir-hampir tidak ditemui konflik-konflik berarti yang rawan integrasi, terbebas dari money politcs, dan masing-masing calon siap menerima konsekuensi baik konteks kemenangan maupun kekalahan. Terbukti, McCain yang kalah langsung berpidato didepan pendukungnya dan mengucapkan selamat kepada Barack Obama.
Pemilu AS adalah sebuah proses politik yang patut dicontoh oleh semua negara-negara dibelahan dunia, termasuk Indonesia. Pemilih tidak mendasarkan pada pilihan pemimpin dari mana latar belakang garis keturunan, uang, suku, etnis, atau usia. Namun yang menjadi patokan adalah pengalaman pengabdian calon pemimpin terhadap bangsa dan negara, komitmen, tegas, dan kepekaan menangkap aspirasi dengan berpijak pada integrasi, kesejahteraan, dan cita-cita perdamaian.
Oleh karenanya, kemenangan Obama yang sempat membuat riuh penuh bangga jutaan masyarakat Indonesia tak cuma dilihat dari sosok Obama yang pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia tepatnya di Mentang, Jakarta. Lebih dari itu, proses-proses politik yang anggun, elegan, penuh pesan-pesan pencerahan, dan santun menjadi catatan berharga bagi bangsa ini, kususnya elite-elite politik untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam berdemokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar