Oleh: LEGIMAN
(Kuliah program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Nurani politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kini sedang dipertaruhkan. Partai yang identik dengan partainya wong cilik itu dihadapkan pada dua pilihan apakah tetap konsisten pada garis politik oposisi atau ikut arus dalam pusaran koalisi bersama Partai Demokrat sebagai lokomotifnya.
Masing-masing pilihan memiliki konsekuensi. Bila pilihannya oposisi, seperti apapun empuknya kursi kekuasaan, tentulah tidak masuk dalam kamus politik PDIP. Selain itu, letupan-letupan suara keadilan dan keberpihakan pada nasib wong cilik akan terus terdengar dan bergeming dalam gedung senayan. Namun jika sebaliknya, sulit berharap dialektika dan dinamika politik muncul dari bilik-bilik kursi parlemen. Hanya saja kebanggaan yang dapat direngkuh adalah terbukanya pintu masuk ke jajaran Menteri Kabinet, misalnya.
Tanda-tanda lunturnya identitas PDIP sebagai gerbong politik oposisi kian terlihat. “Shillaturahim politik” antara Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan [PDIP] makin intens dan mesra. Gonjang-ganjing yang sering diberitakan, tiket masuk menjadi Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan beberapa jabatan Menteri Kabinet diupayakan PDIP. Pada titik inilah oposisi politik seperti berada diujung tanduk koalisi. Masa depan oposisi pun disimpang jalan.
Masuknya PDIP dalam koalisi kekuasaan periode 2009-2014 yang dimotori Partai Demokrat tentu menjadi preseden tidak sehat bagi kekuasaan politik kedepan. Seperti diramal banyak pengamat, kekuasaan politik akan kehilangan kontrol jika oposisi politik tidak mengambil peran proporsional. Pada akhirnya, masyarakat sipil menguat sebagai medan alternatif oposisi “ekstra parlementer”. Itu artinya, demokrasi mengalami pembusukan yang datangnya malah dari lembaga demokrasi itu sendiri, yakni Parpol karena kegagalan peran dan fungsinya.
Jalan demokrasi yang kini mulai terang pastinya tidak ingin redup dan kembali sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru. Diera Orba, pemerintah berciri hegemonik, dominatif, dan otoriter. Ruang-ruang aspirasi terkunci mati dan suara-suara kritis publik ditutup rapat. Ruang publik (public sphare) sebagai jembatan membangun kemandirian dan meningkatkan posisi tawar masyarakat terdepak oleh kebenaran politik versi pemerintah.
Alasan-alasan ideologis dan politis memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang dalam prosesnya mengkerdilkan peran Parpol dan organisasi-organisasi non-politik (Ornop). Akibatnya, tidak jarang kebijakan yang dihasilkan berseberangan dengan kebutuhan masyarakat sendiri. Buntutnya, relasi antara pemerintah, parpol dan ornop berpola antagonistik, diwarnai syak dan prasangka. Pemerintah menjadi tempat berpulang segala kebenaran, aspirasi dan kepentingan.
Dampak dari kebijakan politik rezim Orba yang tanpa kontrol itu memunculkan problem sosial yang akut dan menggurita. Satu sisi pembangunan dan modernisasi berjalan cukup gencar. Akan tetapi, disisi lain kemiskinan, ketimpangan, dan kesenjangan menjadi fenomena tak terelakkan.
Hutang negara bertumpuk, korupsi, kolusi dan nepotisme [KKN] merajalela, aset dan kekayaan alam tergadaikan, kearifan lokal ditabrak, dan lain-lain. Alhasil, keuntungan sosial, ekonomi dan politik hanya direngkuh oleh kalangan tertentu.
Pasca kejatuhan Orba, demokrasi menemukan momentum. Hal ini ditandai maraknya kemunculan Parpol dan organisasi-organisasi lainnya yang sekaligus menandai menguatnya masyarakat sipil. Menguatnya masyarakat sipil adalah bukti bahwa lembaga-lembaga demokrasi baik yudikatif, legislatif, maupun eksekutif tidak representatif. Dengan demikian, selama lembaga-lembaga demokrasi tidak berjalan semestinya, masyarakat sipil akan tetap hadir menjadi alternatif menyuarakan kepentingan masyarakat.
Kehadiran Parpol diera reformasi, kususnya setelah pemilu 2004, cukup memperlihatkan makin konkritnya konsolidasi demokrasi. Parlemen atau lembaga DPR peran dan fungsinya tidak lagi sebatas pemberi stempel. Peluang-peluang menyusupnya agenda-agenda gelap yang dapat merugikan kepentingan bangsa tertutup rapat.
PDIP adalah salah satu ikon Parpol yang cukup berani mengambil garis politik oposisi, menjadi kekuatan penyeimbang. Spirit yang menaungi sikap PDIP tak lain adalah berpijak diatas kepentingan wong cilik. Kebijakan politik apapun yang dirasa bertolak belakang dengan kemaslahatan wong cilik,spontanitas mendapat perlawanan dari PDIP.
Hilangnya keseimbangan politik diparlemen adalah awal dari munculnya kekuasaan hegemonik. Proses-proses penggodokan kebijakan tanpa pengawasan dan kontrol seimbang berpotensi melahirkan produk kebijakan sesat dan merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, kreatif minoritas elit-elit politik dituntut ijtihadnya agar gerbong politik oposisi sekuat tenaga ditarik kembali daya dan vitalitasnya. Peran dan fungsinya Parpol perlu kembali ditempatkan secara proporsionalitas. Fungsi-fungsi itu tidaklah lantas Parpol mesti masuk dalam struktur besar pemerintah. Fungsi strategis yang perlu dilakoni adalah menjadi jembatan aspirasi masyarakat sipil yang diramal bakal menguat. Parpol oposisi bisa memposisikan diri sebagai lumbung yang mengakumulasi suara-suara masyarakat yang merasa belum terwadahi aspirasinya diparlemen.
Dengan demikian cita-cita transformasi sosial politik masyarakat demokratis berjalan secara arif, prosedural dan dalam bingkai konstitusi. Dalam demokrasi, kehadiran dan menguatnya masyarakat sipil memang dituntut apalagi ketika pilar-pilar demokrasi menemui jalan buntu dan lupa dalam mewujudkan keseimbangan kekuasaan politik.
Dibalik keseimbangan politik itulah terselip jawaban dari janji-janji kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Problem multidimensi yang mendera bangsa mulai dari kemiskinan, kebodohan, pengangguran, ketimpangan, KKN, dan sebagainya perlu dijawab dengan program-program politik yang strategis dan bijak. Apalagi ditengah gempuran arus ekonomi dan politik global saat ini, keberpihakan sepenuhnya pada kepentingan masyarakat menjadi pijakan utama dalam merumuskan kebijakan-kebijakan politik. Masyarakat tentu tidak ingin kebijakan-kebijakan ekonomi, politik, hukum dan lainnya ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan segelintir saja. Wallahua’lam
(Kuliah program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Nurani politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kini sedang dipertaruhkan. Partai yang identik dengan partainya wong cilik itu dihadapkan pada dua pilihan apakah tetap konsisten pada garis politik oposisi atau ikut arus dalam pusaran koalisi bersama Partai Demokrat sebagai lokomotifnya.
Masing-masing pilihan memiliki konsekuensi. Bila pilihannya oposisi, seperti apapun empuknya kursi kekuasaan, tentulah tidak masuk dalam kamus politik PDIP. Selain itu, letupan-letupan suara keadilan dan keberpihakan pada nasib wong cilik akan terus terdengar dan bergeming dalam gedung senayan. Namun jika sebaliknya, sulit berharap dialektika dan dinamika politik muncul dari bilik-bilik kursi parlemen. Hanya saja kebanggaan yang dapat direngkuh adalah terbukanya pintu masuk ke jajaran Menteri Kabinet, misalnya.
Tanda-tanda lunturnya identitas PDIP sebagai gerbong politik oposisi kian terlihat. “Shillaturahim politik” antara Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan [PDIP] makin intens dan mesra. Gonjang-ganjing yang sering diberitakan, tiket masuk menjadi Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan beberapa jabatan Menteri Kabinet diupayakan PDIP. Pada titik inilah oposisi politik seperti berada diujung tanduk koalisi. Masa depan oposisi pun disimpang jalan.
Masuknya PDIP dalam koalisi kekuasaan periode 2009-2014 yang dimotori Partai Demokrat tentu menjadi preseden tidak sehat bagi kekuasaan politik kedepan. Seperti diramal banyak pengamat, kekuasaan politik akan kehilangan kontrol jika oposisi politik tidak mengambil peran proporsional. Pada akhirnya, masyarakat sipil menguat sebagai medan alternatif oposisi “ekstra parlementer”. Itu artinya, demokrasi mengalami pembusukan yang datangnya malah dari lembaga demokrasi itu sendiri, yakni Parpol karena kegagalan peran dan fungsinya.
Jalan demokrasi yang kini mulai terang pastinya tidak ingin redup dan kembali sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru. Diera Orba, pemerintah berciri hegemonik, dominatif, dan otoriter. Ruang-ruang aspirasi terkunci mati dan suara-suara kritis publik ditutup rapat. Ruang publik (public sphare) sebagai jembatan membangun kemandirian dan meningkatkan posisi tawar masyarakat terdepak oleh kebenaran politik versi pemerintah.
Alasan-alasan ideologis dan politis memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang dalam prosesnya mengkerdilkan peran Parpol dan organisasi-organisasi non-politik (Ornop). Akibatnya, tidak jarang kebijakan yang dihasilkan berseberangan dengan kebutuhan masyarakat sendiri. Buntutnya, relasi antara pemerintah, parpol dan ornop berpola antagonistik, diwarnai syak dan prasangka. Pemerintah menjadi tempat berpulang segala kebenaran, aspirasi dan kepentingan.
Dampak dari kebijakan politik rezim Orba yang tanpa kontrol itu memunculkan problem sosial yang akut dan menggurita. Satu sisi pembangunan dan modernisasi berjalan cukup gencar. Akan tetapi, disisi lain kemiskinan, ketimpangan, dan kesenjangan menjadi fenomena tak terelakkan.
Hutang negara bertumpuk, korupsi, kolusi dan nepotisme [KKN] merajalela, aset dan kekayaan alam tergadaikan, kearifan lokal ditabrak, dan lain-lain. Alhasil, keuntungan sosial, ekonomi dan politik hanya direngkuh oleh kalangan tertentu.
Pasca kejatuhan Orba, demokrasi menemukan momentum. Hal ini ditandai maraknya kemunculan Parpol dan organisasi-organisasi lainnya yang sekaligus menandai menguatnya masyarakat sipil. Menguatnya masyarakat sipil adalah bukti bahwa lembaga-lembaga demokrasi baik yudikatif, legislatif, maupun eksekutif tidak representatif. Dengan demikian, selama lembaga-lembaga demokrasi tidak berjalan semestinya, masyarakat sipil akan tetap hadir menjadi alternatif menyuarakan kepentingan masyarakat.
Kehadiran Parpol diera reformasi, kususnya setelah pemilu 2004, cukup memperlihatkan makin konkritnya konsolidasi demokrasi. Parlemen atau lembaga DPR peran dan fungsinya tidak lagi sebatas pemberi stempel. Peluang-peluang menyusupnya agenda-agenda gelap yang dapat merugikan kepentingan bangsa tertutup rapat.
PDIP adalah salah satu ikon Parpol yang cukup berani mengambil garis politik oposisi, menjadi kekuatan penyeimbang. Spirit yang menaungi sikap PDIP tak lain adalah berpijak diatas kepentingan wong cilik. Kebijakan politik apapun yang dirasa bertolak belakang dengan kemaslahatan wong cilik,spontanitas mendapat perlawanan dari PDIP.
Hilangnya keseimbangan politik diparlemen adalah awal dari munculnya kekuasaan hegemonik. Proses-proses penggodokan kebijakan tanpa pengawasan dan kontrol seimbang berpotensi melahirkan produk kebijakan sesat dan merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, kreatif minoritas elit-elit politik dituntut ijtihadnya agar gerbong politik oposisi sekuat tenaga ditarik kembali daya dan vitalitasnya. Peran dan fungsinya Parpol perlu kembali ditempatkan secara proporsionalitas. Fungsi-fungsi itu tidaklah lantas Parpol mesti masuk dalam struktur besar pemerintah. Fungsi strategis yang perlu dilakoni adalah menjadi jembatan aspirasi masyarakat sipil yang diramal bakal menguat. Parpol oposisi bisa memposisikan diri sebagai lumbung yang mengakumulasi suara-suara masyarakat yang merasa belum terwadahi aspirasinya diparlemen.
Dengan demikian cita-cita transformasi sosial politik masyarakat demokratis berjalan secara arif, prosedural dan dalam bingkai konstitusi. Dalam demokrasi, kehadiran dan menguatnya masyarakat sipil memang dituntut apalagi ketika pilar-pilar demokrasi menemui jalan buntu dan lupa dalam mewujudkan keseimbangan kekuasaan politik.
Dibalik keseimbangan politik itulah terselip jawaban dari janji-janji kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Problem multidimensi yang mendera bangsa mulai dari kemiskinan, kebodohan, pengangguran, ketimpangan, KKN, dan sebagainya perlu dijawab dengan program-program politik yang strategis dan bijak. Apalagi ditengah gempuran arus ekonomi dan politik global saat ini, keberpihakan sepenuhnya pada kepentingan masyarakat menjadi pijakan utama dalam merumuskan kebijakan-kebijakan politik. Masyarakat tentu tidak ingin kebijakan-kebijakan ekonomi, politik, hukum dan lainnya ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan segelintir saja. Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar