Oleh: LEGIMAN
(Kuliah S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Respon publik tampaknya kian massif terkait upaya pemberantasan terorisme lewat pengawasan aktivitas dakwah. Kendati pihak Polri membantah adanya perintah itu, yang terjadi bukan lagi pengawasan, tapi pencidukan (penangkapan). Beberapa hari lalu, dilapangan polisi sempat menciduk kelompok pendakwah di Masjid Nurul Huda, Desa Sida Kangen, Kec Kalimanah, Purbalingga.
Tidak sedikit kalangan yang menaruh apatisme sembari membubuhkan catatan kecil. Alasannya, selain dinilai kontra-produktif, cara demikian jauh dari semangat konstitusi yang menjunjung demokratisasi.
Pengawasan Polri terhadap dakwah merupakan bahasa lain dari tindakan represif. Disamping berdampak psikologis, secara sosilogis dan politis pun dipertaruhkan. Kenyamanan dakwah terganggu, umat Islam rawan terpolarisasi dan ketegangan lama, yakni antagonisme ideologis dan politis relasi Islam dan pemerintah, dikhawatirkan kembali menguat.
Dampak ideologis
Islam yang diyakini sebagai agama misi tidak bisa dilepaskan dari kerja-kerja dakwah [syi’ar]. Dari keyakinan itu, apapun gaya, isi materi dan corak pemahamannya dakwah wajib dilakukan. Pihak-pihak yang menghalangi akan dilawan. Pada ranah inilah pertanyaan antara produktif dan kontra-produktif mendapat tempat. Pengawas, dalam hal ini polisi, akan ditempatkan sebagai “musuh” atau penghalang kerja-kerja dakwah. Ini dari sisi psikologis.
Dari aspek sosiologis, yaitu sikap curiga antarkelompok Islam. Perbedaan dan keberagaman keyakinan pemahaman agama yang jauh-jauh hari sudah melekat dalam tubuh umat berpotensi menjadi murka. Kesan-kesan penganaktirian, pemarjinalan dan pendiskriditan terhadap kelompok-kelompok tertentu akan menguat. Padahal, keterkaitan antara terorisme dengan kelompok-kelompok tertentu perlu dipertanyakan kembali objektifitas dan kebenarannya.
Sementara bila dibaca dari aspek politis, menyandingkan dakwah dengan pemberantasan terorisme tak ubahnya seperti berdakwah era kekuasaan politik yang hegemonik kususnya orde baru (Orba). Karakter dakwah Islam dibunuh. Islam dan negara berada pada oposisi ekstrim. Syak dan prasangka selalu mewarnai.
Dibalik gagasan kontroversial pengawasan dakwah itu, pemerintah melalui Polri sama saja membunuh karakter dakwah Islam kelompok-kelompok tertentu, dipojokkan dan secara tidak langsung dituding menyimpan agenda tidak suci, memelihara terorisme. Kesan-kesan seperti inilah yang perlu dihindari dan perlu diklarifikasi ulang.
Jika dikonfirmasi lebih jauh menggunakan optik peta gerakan pemikrian (politik) Islam kontempoter di Indonesia, asumsi tendensius yang menempatkan kelompok tertentu sebagai ladang terorisme tidak relevan. Dari berbagai kajian ilmiah (akademik) yang banyak mengulas gerakan politik Islam di Indonesia, hampir-hampir tidak ada yang meyakini tindakan terorisme dijadikan artikulasi praksisnya. Terorisme merupakan produk impor dan bukan karakter atau gaya artikulatif gerakan kelompok-kelompok Islam tertentu di Indonesia.
Pemojokan terhadap kelompok-kelompok tertentu kerap dijatuhkan pada kelompok Islam fundamentalisme. Istilah lain dari Islam fundamentalisme seperti Islam radikal, Islam ekstrim, Islam distinktif, Islam skriptural absolutisme, Islam miskin intelektual atau lainnya. Berbeda dengan terorisme, kelompok Islam fundamentalisme mudah diidentifikasi baik bentuk organisasi, ideologi, tujuan atau orientasi, bahkan pimpinannya.
Dilihat dari akar historisnya, Islam fundamentalisme tidak lepas dari semangat demokratisasi kususnya masa-masa kejatuhan kekuasaan Orba. Walau pun kesannya menentang demokrasi, namun gerak-gerik yang ditampilkan dan orientasi perjuangannya masih dalam garis konstitusi dan ideologi resmi negara.
Dengan demikian, Islam fundamentalisme berpotensi menjadi bagian dari elemen yang menjunjung demokratisasi dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Sebab, semangat Islam pada dasarnya sebangun dengan gagasan substansial demokrasi.
Memang, riak-riak yang ditampakkan cenderung garang, bengis dan frontal (tanpa kompromi). Bisa jadi, tindak-tanduk demikian tidak lepas dari potret atau kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dipandangnya salah atau sarat dengan kemungkaran dan maksiat. Bisa jadi pula, jika saja agenda demokrasi yang sedang berjalan saat ini mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada, Islam fundamentalisme tidak lagi menjadi ancaman ditengah masyarakat, tapi sebagai partner, suplemen, dan bersifat komplementer.
Dari pertimbangan diatas, penilaian atau ramalan kontra-produktif atas langkah polisi melakukan pengawasan terhadap dakwah bagi kelompok-kelompok tertentu mendapat pembenaran. Sekali lagi, selain mengusik kenyamanan dakwah maupun menciptakan polarisasi antarumat Islam, antagonisme umat Islam versus negara dikhawatirkan kembali menguat.
Dakwah tandingan
Oleh karena itu, semangat Polri memburu terorisme perlu tetap mengedepankan semangat demokrasi, tanpa harus memperlihatkan wajah yang antagonis, hegemonik, dan dominatif, apalagi represif. Jika yang dipersoalkan adalah corak dakwahnya yang cenderung tidak bersahabat atau kental dengan nuansa kekerasan, counter discourse [dakwah tandingan] perlu dijadikan pilihan.
Eleman-elemen yang potensial melakukan counter discourse salah satunya adalah ormas seperti Muhammadiyah dan NU atau lainnya yang selama ini dinilai moderat dan toleran. Muhammadiyah dan NU –untuk menyebut beberapa saja- identik dengan ormas dakwah sosial dan keagamaan. Toh kedua ormas ini pula yang menilai gagasan Polri itu kontra produktif.
Polri bersama ormas agama bisa bekerja sama menggalakkan kembali kanal-kanal dakwah Islam sebagai counter dari pemahaman Islam yang dinilai keras, tidak toleran dan anti cinta damai. Dengan demikian agenda Polri juga menjadi agenda umat Islam kususnya ormas agama yang saat ini terlihat redup akibat terjebak pada hiruk-pikuk aktivitas politik baik pemilu legislative maupun pemilu presiden.
(Kuliah S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Respon publik tampaknya kian massif terkait upaya pemberantasan terorisme lewat pengawasan aktivitas dakwah. Kendati pihak Polri membantah adanya perintah itu, yang terjadi bukan lagi pengawasan, tapi pencidukan (penangkapan). Beberapa hari lalu, dilapangan polisi sempat menciduk kelompok pendakwah di Masjid Nurul Huda, Desa Sida Kangen, Kec Kalimanah, Purbalingga.
Tidak sedikit kalangan yang menaruh apatisme sembari membubuhkan catatan kecil. Alasannya, selain dinilai kontra-produktif, cara demikian jauh dari semangat konstitusi yang menjunjung demokratisasi.
Pengawasan Polri terhadap dakwah merupakan bahasa lain dari tindakan represif. Disamping berdampak psikologis, secara sosilogis dan politis pun dipertaruhkan. Kenyamanan dakwah terganggu, umat Islam rawan terpolarisasi dan ketegangan lama, yakni antagonisme ideologis dan politis relasi Islam dan pemerintah, dikhawatirkan kembali menguat.
Dampak ideologis
Islam yang diyakini sebagai agama misi tidak bisa dilepaskan dari kerja-kerja dakwah [syi’ar]. Dari keyakinan itu, apapun gaya, isi materi dan corak pemahamannya dakwah wajib dilakukan. Pihak-pihak yang menghalangi akan dilawan. Pada ranah inilah pertanyaan antara produktif dan kontra-produktif mendapat tempat. Pengawas, dalam hal ini polisi, akan ditempatkan sebagai “musuh” atau penghalang kerja-kerja dakwah. Ini dari sisi psikologis.
Dari aspek sosiologis, yaitu sikap curiga antarkelompok Islam. Perbedaan dan keberagaman keyakinan pemahaman agama yang jauh-jauh hari sudah melekat dalam tubuh umat berpotensi menjadi murka. Kesan-kesan penganaktirian, pemarjinalan dan pendiskriditan terhadap kelompok-kelompok tertentu akan menguat. Padahal, keterkaitan antara terorisme dengan kelompok-kelompok tertentu perlu dipertanyakan kembali objektifitas dan kebenarannya.
Sementara bila dibaca dari aspek politis, menyandingkan dakwah dengan pemberantasan terorisme tak ubahnya seperti berdakwah era kekuasaan politik yang hegemonik kususnya orde baru (Orba). Karakter dakwah Islam dibunuh. Islam dan negara berada pada oposisi ekstrim. Syak dan prasangka selalu mewarnai.
Dibalik gagasan kontroversial pengawasan dakwah itu, pemerintah melalui Polri sama saja membunuh karakter dakwah Islam kelompok-kelompok tertentu, dipojokkan dan secara tidak langsung dituding menyimpan agenda tidak suci, memelihara terorisme. Kesan-kesan seperti inilah yang perlu dihindari dan perlu diklarifikasi ulang.
Jika dikonfirmasi lebih jauh menggunakan optik peta gerakan pemikrian (politik) Islam kontempoter di Indonesia, asumsi tendensius yang menempatkan kelompok tertentu sebagai ladang terorisme tidak relevan. Dari berbagai kajian ilmiah (akademik) yang banyak mengulas gerakan politik Islam di Indonesia, hampir-hampir tidak ada yang meyakini tindakan terorisme dijadikan artikulasi praksisnya. Terorisme merupakan produk impor dan bukan karakter atau gaya artikulatif gerakan kelompok-kelompok Islam tertentu di Indonesia.
Pemojokan terhadap kelompok-kelompok tertentu kerap dijatuhkan pada kelompok Islam fundamentalisme. Istilah lain dari Islam fundamentalisme seperti Islam radikal, Islam ekstrim, Islam distinktif, Islam skriptural absolutisme, Islam miskin intelektual atau lainnya. Berbeda dengan terorisme, kelompok Islam fundamentalisme mudah diidentifikasi baik bentuk organisasi, ideologi, tujuan atau orientasi, bahkan pimpinannya.
Dilihat dari akar historisnya, Islam fundamentalisme tidak lepas dari semangat demokratisasi kususnya masa-masa kejatuhan kekuasaan Orba. Walau pun kesannya menentang demokrasi, namun gerak-gerik yang ditampilkan dan orientasi perjuangannya masih dalam garis konstitusi dan ideologi resmi negara.
Dengan demikian, Islam fundamentalisme berpotensi menjadi bagian dari elemen yang menjunjung demokratisasi dalam menyuarakan aspirasi politiknya. Sebab, semangat Islam pada dasarnya sebangun dengan gagasan substansial demokrasi.
Memang, riak-riak yang ditampakkan cenderung garang, bengis dan frontal (tanpa kompromi). Bisa jadi, tindak-tanduk demikian tidak lepas dari potret atau kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang dipandangnya salah atau sarat dengan kemungkaran dan maksiat. Bisa jadi pula, jika saja agenda demokrasi yang sedang berjalan saat ini mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada, Islam fundamentalisme tidak lagi menjadi ancaman ditengah masyarakat, tapi sebagai partner, suplemen, dan bersifat komplementer.
Dari pertimbangan diatas, penilaian atau ramalan kontra-produktif atas langkah polisi melakukan pengawasan terhadap dakwah bagi kelompok-kelompok tertentu mendapat pembenaran. Sekali lagi, selain mengusik kenyamanan dakwah maupun menciptakan polarisasi antarumat Islam, antagonisme umat Islam versus negara dikhawatirkan kembali menguat.
Dakwah tandingan
Oleh karena itu, semangat Polri memburu terorisme perlu tetap mengedepankan semangat demokrasi, tanpa harus memperlihatkan wajah yang antagonis, hegemonik, dan dominatif, apalagi represif. Jika yang dipersoalkan adalah corak dakwahnya yang cenderung tidak bersahabat atau kental dengan nuansa kekerasan, counter discourse [dakwah tandingan] perlu dijadikan pilihan.
Eleman-elemen yang potensial melakukan counter discourse salah satunya adalah ormas seperti Muhammadiyah dan NU atau lainnya yang selama ini dinilai moderat dan toleran. Muhammadiyah dan NU –untuk menyebut beberapa saja- identik dengan ormas dakwah sosial dan keagamaan. Toh kedua ormas ini pula yang menilai gagasan Polri itu kontra produktif.
Polri bersama ormas agama bisa bekerja sama menggalakkan kembali kanal-kanal dakwah Islam sebagai counter dari pemahaman Islam yang dinilai keras, tidak toleran dan anti cinta damai. Dengan demikian agenda Polri juga menjadi agenda umat Islam kususnya ormas agama yang saat ini terlihat redup akibat terjebak pada hiruk-pikuk aktivitas politik baik pemilu legislative maupun pemilu presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar