Rabu, 02 September 2009

Menghidari Pembusukan Demokrasi

Oleh: LEGIMAN
[Kuliah program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]

Demokrasi prosedural diera transisi reformasi saat ini sekilas tampak memberikan jaminan kedaulatan. Wujud konkrit diwakili oleh gegap gempita penyelenggaraan pesta demokrasi baik melalui pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2009 lalu.
Dilevel akar rumput, suara-suara demokrasi itu sudah usai. Tapi diranah elit, gonjang-ganjing sharing power [bagi-bagi kekuasaan] belum menemukan titik akhir. Tarik menarik-menarik kekuasaan, kepentingan, dan jabatan terus mengemuka. 
Kendati demikian, dua fenomena sosial dan politik yang santer diberitakan belakangan ini memperlihatkan kesan paradoks dengan semangat konsolidasi demokrasi. Yakni, seputar gagasan pengawasan dakwah Islam terkait pemberantasan terorisme, dan ancaman alpanya kanal-kanal demokrasi, dalam hal ini partai politik, sebagai pengibar bendera oposisi.
Mengapa dibilang paradoks? Sebab, untuk fenomena pertama, pemerintah melalui Polri sama saja membunuh karakter kelompok Islam tertentu dalam mengekspresikan kebebasan menyampaikan agama lewat dakwah. Sementara fenomena kedua, peran opsisi disimpang jalan, memberi peluang mandeknya dinamika dan dialektika politik nasional dalam membawa arah masa depan demokrasi.
Peran oposisi disimpang jalan rawan terbukanya pintu absolutisme kekuasaan yang malah meredupkan demokrasi itu sendiri. Jika boleh diramal, dua fenomena itu berdampak menguatnya gerakan sosial masyarakat diluar garis demokrasi sebagai akibat kepercayaan terhadap lembaga demokrasi yang makin melemah.
Buah reformasi
Catatan sejarah sosial politik bangsa memperlihatkan wajah negara yang hegemonik, dominatif, dan otoriter. Ruang-ruang aspirasi terkunci mati dan suara-suara ritis publik tertutup rapat. Tuntutan lahirnya ruang publik [public sphare] sebagai jembatan membangun kemandirian dan meningkatkan posisi tawar masyarakat terdepak oleh kepentingan-kepentingan absolute negara.
Partai politik maupun organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan seperti ormas agama atau kelompok-kelompok Islam misalnya, tidak diberi ruang memadai menjadi corong kepentingan masyarakat. Alasan-alasan ideologis dan politismmenginspirasi negara mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang cenderung mengkerdilkan organisasi-organisasi diluar negara.
Relasi negara dengan elemen-elemen diluarnya kerap antagonistik, diwarnai syak dan prasngka. Negara menjadi tempat berpulang segala kebenaran, aspirasi dan kepentingan. Selain versi negara dianggap salah dan sebagai bentuk penentangan ideologsi dan politis.
Jalan terang demokrasi diera reformasi telah meredupkan obsesi kepemimpinan otoriter orde baru. Kemunculan ormas-ormas Islam merupakan buah dari persemaian demokrasi itu. Dakwah Islam tidak lagi dilakukan secara kultural, tapi juga struktural. Isu, gagasa, atau pemikiran politik Islam membanjiri konstelasi politik nasional. Dan ini tentu berbeda di era orde baru. Pada waktu itu, artikulasi politik Islam berjalan diranah kultural dan kurang bersinggungan dengan konsitusi. Demonstrasi, sikap politik, dan dukung-mendukung menjadi ciri khas perjuangan kelompok Islam di era reformsi.
Poin penting dari maraknya orma-ormas Islam adalah sebagai kekuatan penyeimbang negara. Bahkan negara pun kerap dibuat pusing dan kelabakan. Sebab, aksi-aksi tuntutan politik yang ada tidak jarang menyalahi aturan dan koridor hukum. Yang terjadi bukan keseimbagan, tapi kelemahan dipihak negara.
Menguatnya masyarakat sipil vis a vis negara tidak hanya diwakili oleh ormas-ormas Islam tapi juga elemen-elemen lainnya seperti mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakarat. Kemunculan elemen-elemen itu sebagai bukti bahwa lembaga-lembaga demokrasi baik dalam bidang hukum, legislatif, maupun eksekutif tidak sepenuhnya merepresentasikan kepentingan masyarakat. Perlu diperhatikan, selain sebagai kekuatan penyeimbang dan penekan, kemunculan masyarakat sipil juga membidani terwujudnya kemandirian masyarakat.
Dengan demikian, selama lembaga-lembaga demokrasi tidak berjalan semestinya, masyarakat sipil akan tetap hadir menjadi alternatif menyuarakan kepentingan-kepentingan masyarakat. Kehadirannya menjadi penting dan sekaligus prasarat penguatan konsolidasi demokrasi. 
Kehadiran partai politik juga cukup memperlihatkan makin konkritnya tujuan-tujuan demokrasi. Parlemen atau lembaga DPR, peran dan fungsinya tidak lagi sebatas stempel.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan [PDIP] yang secara berani mengambil garis politik oposisi cukup menjanjikan menjadi kekuatan penyeimbang. Namun sayang, manuver politik yang perlihatkan PDIP sejak belakangan yang berhasrat menjadi bagian dari kekuasaan dengan beroalisi dengan Partai Demokrat menjadi fenomena yang mengkhawatirakan bagi masa depan demokrasi.
Pembusukan demokrasi           
Tidak adanya keseimbangan politik diparlemen adalah awal dari munculnya kekuasaan hegemonik. Anggaran politik yang tidak terkontrol dan tidak adanya pengawasan dalam melahirkan kebijakan-kebjakan politik berotensi merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya kekuatan oposisi diperlemen menjadi mutlak keberadaannya agar tercipta ruang-ruang dialektika dan dinamisasi politik.
Ramalan banyak pengamat yang menyebutkan riak-riak oposisi dari masyarakat sipil akan muncul jika parlemen alpa dari peran opisisi tampaknya logis dan ada benarnya. Sebab kemunculannya menjadi alternatif kekuatan penyeimbang disaat elit-elit politik berdesak-desakan menjadi bagian dari negara atau pemerintah.
Partai politik sebagai salah lembaga vital dalam sistem politik demokrasi memang dituntut peran dan fungsinya. Fungsi-fungsi itu tidaklah harus masuk dalam struktur besar pemerintah. Fungsi strategis yang perlu dilakoni adalah menjadi jembatan aspirasi masyarakat sipil. Parpol oposisi bisa menempatkan diri sebagai lumbung akumulasi suara-suara masyarakat yang merasa belum terwadahi aspirasinya.
Kita khawatir minimnya keseimbangan kekuatan politik diparlemen menjadi awal dari pembusukan demokrasi. Sebuah proses pembusukan yang malah dimotori oleh lembaga demokrasi itu sendiri, yakni parpol. Tanpa parpol oposisi yang proposional, kontrol politik kekuasaan, transparansi, akuntabiltas, dan lain-lain yang menjadi parameter demokrasi menjadi hilang.
Sampai disini simpulan yang perlu digaris bawahi adalah, upaya pembusukan demokrasi tanpa sadar diwakili oleh partai politik dengan tidak lagi menjadi partai oposisi. Sedangkan yang kedua, pembusukan demokrasi yang dilakukan dari atas, yakni Polri sebagai lembaga negara, lewat pengawasan terhadap dakwah.
Menjatuhkan pilihan tendensius terhadap kelompok dakwah Islam tertentu terkait pemberantasan terorisme berarti menuduh salah satu kelompok-kelompok Islam yang ada. Padahal kelompok-kelompok Islam, apapun nama dan labelnya, muncul ditengah kepongahan terhadap sistem politik otoriter. Itu artinya, kelompok-kelompok itu juga menjadi bagian dari kekuatan masyarakat sipil yang berpotensi menjadi bagian dari demokrasi dan mengambil peran kritis atas kebijakan-kebijakan politik pemerintah.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com