Oleh: Legiman
(Kuliah S-3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Perolehan suara pemilihan umum legislatif 9 April 2009 lalu seolah mendudukkan wajah partai politik Islam “remuk redam”. Suara partai-partai Islam jeblok. Partai-partai Islam tersungkur kepinggir konstelasi politik nasional. Nyaris, menurunnya trust (kepercayaan) pemilih yang notabene mayoritas muslim menjadikan partai Islam bak “tamu” dirumahnya sendiri.
Ditengah suasana girang elit-elit partai nasionalis, partai-partai Islam harus puas diurutan “buncit”. Perolehan suara hasil hitungan cepat memposisikan Partai Demokrat sebagai raja diraja. Setelah Demokrat bertengger dua partai nasionalis yakni Partai Golkar dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Disusul kemudian PKS (Partai Keadilan Sosial), PAN (Partai Amanat Nasional), PPP (Partai Pesatuan Pembangunan), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat), dan lain-lain.
Menyongsong pemilihan presiden (pilpres) Juli 2009 mendatang mesin koalisi terus menderu-deru. Jusuf Kalla (JK) dari Golkar bersama Wiranto dari Hanura sepakat berduet. Bendera deklarasi pasangan calon presiden-calon wakil presiden JK-Wiranto telah dikibarkan. Sementara itu, Megawati Sukarno Putri dari PDIP masih dalam proses pertimbangan dan kemungkinan. Begitu pula dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Demokrat. Itu artinya ada tiga capres yang bakal bertandang.
Diluar desas-desus tiga capres itu, publik sama sekali belum disuguhi informasi. Lalu, bagaimana nasib calon presiden (capres) dari partai-partai Islam? Laikkah jika partai-partai Islam merintis gebrakan politik baru dengan mengusung capres-cawapres?
Terobosan baru
Jauh hari sebelum pemilu legislatif digelar, suara-suara optimis selalu muncul dari elit-elit partai Islam yakni hendak mengusung capres. Namun realitas berbicara lain. Slogan capres dari rahim partai Islam pun meredup. Karena target perolehan suara jauh dari harapan, partai-partai Islam akhirnya putar haluan dan menihilkan cita-cita pencalonan presiden. Berduyun-duyun partai-partai Islam menawarkan cawapres untuk disandingkan kepada capres yang diusung partai-partai besar.
Padahal jika saja partai-partai Islam berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) dan membentuk satu barisan koalisi yang kuat dan solid, (ca) pres-(ca) wapres dari rahim partai Islam bukanlah ilusi. Pertimbangannya, selain parta-partai Islam (selain PPP) adalah anak kandung reformasi dan didalamnya tersarang sederet tokoh-tokoh reformis yang komitmen terhadap arah gerak reformasi, koalisi berdasarkan persamaan platform, visi-misi, maupun program-pogram politik menjadi prasarat utama. Secara teknis antar partai Islam memang berbeda, namun secara substansi memiliki persamaan yang tersumbul dari satu ideologi dan asas, yakni Islam.
Koalisi partai-partai Islam juga menjadi langkah maju sekaligus memupus kesan-kesan pragmatisme yang kerap dialamatkan kepada partai-partai dilingkaran sepuluh besar partai yang kini sibuk membangun koalisi. Koalisi yang didasarkan pada perbedaan ideologi hanya akan menghasilkan koalisi semu dan menjadi bomerang bagi cita-cita pembentukan pemerintahan kuat, solid, dan efektif.
Pertimbangan yang penting lainnya adalah pemilih yang mayoritas muslim. Mayoritas pemilih disini tentu bukanlah mayoritas ideologis dan bahkan hampir semua partai Islam tidak lagi mengidentikkan diri sebagai partai ideologis. Isu-isu yang dibangun sarat dengan universalitas, keberagaman, toleransi, persamaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Selain itu, partai-partai Islam juga tidak lagi menampakkan eksklusifitasnya. Kesadaran akan keberagaman (pluralitas) bangsa dan kehidupan era globalitas memaksa partai-partai Islam untuk tidak lagi menjadi rumah tertutup tapi terbuka bagi semua elemen dan kalangan. PAN dan PKB misalnya. Keduanya bisa dibilang motor penggerak terciptanya inkulusivitas partai Islam. Dua partai yang dibidanai dua tokoh reformis, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, menjadi partai yang tidak hanya dinaungi tokoh-tokoh muslim-reformis, tapi juga non muslim atau tokoh-tokoh nasionalis lainnya.
Biarpun demikian, ketika dihadapkan dengan realitas politik yang ada, partai-partai Islam tetinggal beberapa langkah dari partai-partai nasionalis lainnya. Sejalan dengan tesis yang mengatakan bahwa kepemelukan seseorang (pemilih) terhadap suatu agama ternyata tidak cukup signifikan dengan partisipasi politik yang bersangkutan, termasuk terhadap partai bersimbol agama yang sama seperti dipeluknya [Abdul Munir Mulkhan (2000].
Sebab paling logis ketidakterimaan pemilih terhadap partai-partai Islam adalah karena tidak adanya kejelasan dalam memperjuangkan kebaikan umat. Abdul Munir Mulkhan tanpa enggan mengatakan bahwa partai Islam miskin gagasan dan defisit strategi konsep pemberdayaan umat. Jalan politik [kebijakan] yang dilewati partai Islam tidak menampakkan sifat kebaruan baik dalam konsep ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Sehingga, apa yang digagas partai-partai Islam tidak pernah dijadikan referensi dalam menentukan kebijakan nasional.
Miskin gagasan dan ketidakjelasan basis perjuangan partai partai Islam menjadi pil pahit yang harus ditelan. Padahal, jika saja agenda-agenda jalan politik baru diatas jauh-jauh hari dijalankan, soal menang hanya tinggal menunggu dan tergatung strategi pemenangan pemilu. Kegagalan demi kegagalan yang ditoreh partai Islam tentu berdampak pada kegagalan kepemimpinan nasional yang lahir dari rahim partai Islam. Rentetan kegagalan yang diakibatkan ketidakmampuan menciptakan momentum. Oleh karenanya skenario momentum mendesak untuk dilakukan.
Alternatif
Atas dasar itulah, wacana yang sering muncul dari beberapa tokoh Islam terkait koalisi partai Islam tampaknya perlu dicoba dan ditindaklanjuti. Koalisi antar partai Islam bukan tidak mungkin menjadi momentum kebangkitan partai Islam. Dan dari koalisi itu pula diharapkan muncul pasangan capres-cawapres alternatif, pemerintahan solid, kuat, dan efektif, serta bisa menyatukan umat agar tidak menjadi bui yang terus berserakan.
Hanya saja, menggawangi terbentuknya koalisi ini memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit. Partai-partai Islam harus sudi melepas baju pragmatisme politik menjelang pilpres yang kini sedang sibuk merapat ke partai-partai bersar. Oleh karenanya satu langkah yang perlu dicoba kiranya untuk mendendangkan gerakan politik baru dengan mencalonkan capres dari kubu koalisi partai-partai Islam. Politik baru ini sekaligus memupus kesan pragmatisme partai atau sebagai partai “penyusu” yang selalu “membebek” partai-partai besar.
Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Jika dirudung kekalahan, konsekuensinya adalah siap untuk tidak duduk di kekuasaan alias menjadi oposan. Jika tetap bergandeng tangan dengan partai besar, konsekuensinya adalah makin menjauhnya momentum kebangkitan partai Islam. Selain itu polarisasi pemimpin dan umat Islam akan terus menajam.
(Kuliah S-3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Perolehan suara pemilihan umum legislatif 9 April 2009 lalu seolah mendudukkan wajah partai politik Islam “remuk redam”. Suara partai-partai Islam jeblok. Partai-partai Islam tersungkur kepinggir konstelasi politik nasional. Nyaris, menurunnya trust (kepercayaan) pemilih yang notabene mayoritas muslim menjadikan partai Islam bak “tamu” dirumahnya sendiri.
Ditengah suasana girang elit-elit partai nasionalis, partai-partai Islam harus puas diurutan “buncit”. Perolehan suara hasil hitungan cepat memposisikan Partai Demokrat sebagai raja diraja. Setelah Demokrat bertengger dua partai nasionalis yakni Partai Golkar dan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Disusul kemudian PKS (Partai Keadilan Sosial), PAN (Partai Amanat Nasional), PPP (Partai Pesatuan Pembangunan), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat), dan lain-lain.
Menyongsong pemilihan presiden (pilpres) Juli 2009 mendatang mesin koalisi terus menderu-deru. Jusuf Kalla (JK) dari Golkar bersama Wiranto dari Hanura sepakat berduet. Bendera deklarasi pasangan calon presiden-calon wakil presiden JK-Wiranto telah dikibarkan. Sementara itu, Megawati Sukarno Putri dari PDIP masih dalam proses pertimbangan dan kemungkinan. Begitu pula dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Demokrat. Itu artinya ada tiga capres yang bakal bertandang.
Diluar desas-desus tiga capres itu, publik sama sekali belum disuguhi informasi. Lalu, bagaimana nasib calon presiden (capres) dari partai-partai Islam? Laikkah jika partai-partai Islam merintis gebrakan politik baru dengan mengusung capres-cawapres?
Terobosan baru
Jauh hari sebelum pemilu legislatif digelar, suara-suara optimis selalu muncul dari elit-elit partai Islam yakni hendak mengusung capres. Namun realitas berbicara lain. Slogan capres dari rahim partai Islam pun meredup. Karena target perolehan suara jauh dari harapan, partai-partai Islam akhirnya putar haluan dan menihilkan cita-cita pencalonan presiden. Berduyun-duyun partai-partai Islam menawarkan cawapres untuk disandingkan kepada capres yang diusung partai-partai besar.
Padahal jika saja partai-partai Islam berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) dan membentuk satu barisan koalisi yang kuat dan solid, (ca) pres-(ca) wapres dari rahim partai Islam bukanlah ilusi. Pertimbangannya, selain parta-partai Islam (selain PPP) adalah anak kandung reformasi dan didalamnya tersarang sederet tokoh-tokoh reformis yang komitmen terhadap arah gerak reformasi, koalisi berdasarkan persamaan platform, visi-misi, maupun program-pogram politik menjadi prasarat utama. Secara teknis antar partai Islam memang berbeda, namun secara substansi memiliki persamaan yang tersumbul dari satu ideologi dan asas, yakni Islam.
Koalisi partai-partai Islam juga menjadi langkah maju sekaligus memupus kesan-kesan pragmatisme yang kerap dialamatkan kepada partai-partai dilingkaran sepuluh besar partai yang kini sibuk membangun koalisi. Koalisi yang didasarkan pada perbedaan ideologi hanya akan menghasilkan koalisi semu dan menjadi bomerang bagi cita-cita pembentukan pemerintahan kuat, solid, dan efektif.
Pertimbangan yang penting lainnya adalah pemilih yang mayoritas muslim. Mayoritas pemilih disini tentu bukanlah mayoritas ideologis dan bahkan hampir semua partai Islam tidak lagi mengidentikkan diri sebagai partai ideologis. Isu-isu yang dibangun sarat dengan universalitas, keberagaman, toleransi, persamaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Selain itu, partai-partai Islam juga tidak lagi menampakkan eksklusifitasnya. Kesadaran akan keberagaman (pluralitas) bangsa dan kehidupan era globalitas memaksa partai-partai Islam untuk tidak lagi menjadi rumah tertutup tapi terbuka bagi semua elemen dan kalangan. PAN dan PKB misalnya. Keduanya bisa dibilang motor penggerak terciptanya inkulusivitas partai Islam. Dua partai yang dibidanai dua tokoh reformis, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, menjadi partai yang tidak hanya dinaungi tokoh-tokoh muslim-reformis, tapi juga non muslim atau tokoh-tokoh nasionalis lainnya.
Biarpun demikian, ketika dihadapkan dengan realitas politik yang ada, partai-partai Islam tetinggal beberapa langkah dari partai-partai nasionalis lainnya. Sejalan dengan tesis yang mengatakan bahwa kepemelukan seseorang (pemilih) terhadap suatu agama ternyata tidak cukup signifikan dengan partisipasi politik yang bersangkutan, termasuk terhadap partai bersimbol agama yang sama seperti dipeluknya [Abdul Munir Mulkhan (2000].
Sebab paling logis ketidakterimaan pemilih terhadap partai-partai Islam adalah karena tidak adanya kejelasan dalam memperjuangkan kebaikan umat. Abdul Munir Mulkhan tanpa enggan mengatakan bahwa partai Islam miskin gagasan dan defisit strategi konsep pemberdayaan umat. Jalan politik [kebijakan] yang dilewati partai Islam tidak menampakkan sifat kebaruan baik dalam konsep ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Sehingga, apa yang digagas partai-partai Islam tidak pernah dijadikan referensi dalam menentukan kebijakan nasional.
Miskin gagasan dan ketidakjelasan basis perjuangan partai partai Islam menjadi pil pahit yang harus ditelan. Padahal, jika saja agenda-agenda jalan politik baru diatas jauh-jauh hari dijalankan, soal menang hanya tinggal menunggu dan tergatung strategi pemenangan pemilu. Kegagalan demi kegagalan yang ditoreh partai Islam tentu berdampak pada kegagalan kepemimpinan nasional yang lahir dari rahim partai Islam. Rentetan kegagalan yang diakibatkan ketidakmampuan menciptakan momentum. Oleh karenanya skenario momentum mendesak untuk dilakukan.
Alternatif
Atas dasar itulah, wacana yang sering muncul dari beberapa tokoh Islam terkait koalisi partai Islam tampaknya perlu dicoba dan ditindaklanjuti. Koalisi antar partai Islam bukan tidak mungkin menjadi momentum kebangkitan partai Islam. Dan dari koalisi itu pula diharapkan muncul pasangan capres-cawapres alternatif, pemerintahan solid, kuat, dan efektif, serta bisa menyatukan umat agar tidak menjadi bui yang terus berserakan.
Hanya saja, menggawangi terbentuknya koalisi ini memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit. Partai-partai Islam harus sudi melepas baju pragmatisme politik menjelang pilpres yang kini sedang sibuk merapat ke partai-partai bersar. Oleh karenanya satu langkah yang perlu dicoba kiranya untuk mendendangkan gerakan politik baru dengan mencalonkan capres dari kubu koalisi partai-partai Islam. Politik baru ini sekaligus memupus kesan pragmatisme partai atau sebagai partai “penyusu” yang selalu “membebek” partai-partai besar.
Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Jika dirudung kekalahan, konsekuensinya adalah siap untuk tidak duduk di kekuasaan alias menjadi oposan. Jika tetap bergandeng tangan dengan partai besar, konsekuensinya adalah makin menjauhnya momentum kebangkitan partai Islam. Selain itu polarisasi pemimpin dan umat Islam akan terus menajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar