Jumat, 10 April 2009

Reaktualisasi janji-janji politisi

Legiman
(Peminat masalah politik, mahasisa S3 UIN Yogyakarta)
Pemilihan umum legislatif telah digelar secara serentak diseluruh Indonesia Kamis, 9 April 2009 lalu. Momentum politik satu hari dengan persiapan berbulan-bulan lamanya itu mendulang sukses biarpun berjalan dengan persiapan ditengah terpaan kritik banyak kalangan.
Tanpa tending aling-aling, kita pun harus lega menyambutnya. Kamis, 9 April 2009 menjadi simbol sukses telah terselenggaranya praktek demokrasi. Sayang, walau simbol demokrasi telah tertancap kuat di negeri ini, namun simbol itu masih sebatas slogan dan belum merangsek ke ranah yang lebih substansial.
Atau, meminjam istilah Claude Lefort (1988), pemilu hanyalah perayaan dan pernyataan simbolis bahwa ’kedaulatan’ itu dimiliki oleh yang banyak (rakyat) yang dipinjamkan kepada politisi. Kesalnya lagi, kedaulatan yang dipinjamankan kepada politisi melalui pemilu kerap disalahgunakan. Alih-alih merealisasikan janji-janji program politik, aksi sejuta korupsi dan suap menyuap mengharu biru dibalik kursi anggota dewan. 
Padahal untuk menegakkan simbol demokrasi tidak kecil modal yang dipertaruhkan. Terlebih para kandidat atau calon legislatif. Pada saat kampanye, dengan berbagai cara dan manuver, tidak jarang kita menemukan caleg rela menggelontorkan ratusan juta rupiah dengan harapan mendapat asupan suara pemilih melimpah.
Selain itu, integritas, harga diri, dan martabat bangsa juga turut dipertaruhkan. Konflik misalnya, menjadi fenomena yang tak bisa dilepaskan dari hiruk-pikuk pesta demokrasi. Pada saat itulah konflik mengalamai eskalasi. 
Pertanyaan menantang yang laik dimunculkan adalah, apakah pemilu legislatif 9 April 2009 representasi dari konsolidasi demokrasi? Akankah 9 April 2009 secara otomatis menjadi jawaban atas persoalan-persoalan kronis yang hingga kini masih hinggap dinegeri ini?
Biarpun sulit untuk menjawabnya, pertanyaan-pertanyaan diatas pantas untuk diajukan. Sebab, motivasi masyarakat dalam pemilihan tidaklah dilatari oleh harapan kosong akan perubahan. Dibalik itu semua secercah harapan mengalir deras mengikuti denyut nadi yang kemudian menggerakkan tangan dalam mencontreng.    
Sedikit menyetir ungkapan Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996), menjadikan pemilu sebagai prasarat konsolidasi demokrasi merupakan pandangan yang keliru. Artinya, pemilu bukanlah satu-satunya faktor dalam konsolidasi demokrasi. Demokrasi amat berkaitan dengan faktor-faktor non-politik seperti; komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of law), norma-norma birokrasi yang sah-rasional (state apparatus) dan tradisi pasar (economic society).
Berkaca pada realitas yang ada, tesis Juan J. Ling dan Alfred diatas mendapat pembenaran. Dalam masalah konstitusi misalnya, segala pernak-pernik pengingkaran hukum menjadi tontonan yang tidak asing lagi. Hukum kerap disalahgunakan dan mangkir dari fungsi yang sebenarnya, yakni mengaburkan sisi keadilan hukum. Bahkan, konstitusi dasar dan sudah disepakati menjadi pijakan paling fundamental dalam menjalankan roda kenegaraan kerap dipandang sebelah mata.
Contoh lain yang tak kalah aktualnya adalah karut marut birokrasi. Struktur dan kultur birokrasi kita kental dengan aroma korup, berbelit-belit, tidak efisien, dan a-rasional. Coreng-moreng wajah birokrasi itulah yang melahirkan praktek-praktek subur korupsi, suap-menyuap, dan anomali-anomali birokrasi lainnya.    
Sedikit berlawanan arah dengan tesis diatas, saya pikir menjadikan pemilu sebagai ajang demokrasi dalam konteks kita masih relevan. Sebab, dalam konsepsi kita selama ini dimana demokrasi yang ada masih berputar-putar pada ranah prosedural, kehadiran legislatif yang dipilih rakyat secara langsung dengan dedikasi tinggi menjadi penting sebagai kekuatan kontrol, penyeimbang, dan jaring terakhir arah kebijakan pemerintahan. Apalagi semua persoalan mulai dari politik, hukum, sosial, ekonomi, dan bahkan budaya bermuara pada lembaga satu ini. Lalu, siapa yang disalahkan jika saja caleg terpilih jauh dari harapan? 
Pemilihan secara langsung caleg memunculkan adigium “pilihan rakyat menentukan masa depan bangsa” atau “pilihan rakyat pada 9 April 2009 menentukan nasib bangsa 5 (lima) tahun akan datang ”. Adigium itu secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa kesalahan dalam memilih angota legislatif adalah kesalahan rakyat. Oleh karena itu jika bangsa ini sulit berbenah karena ulah anggota legislatif yang salah pilih, maka rakyat juga ikut bertanggung jawab. Pada posisi ini rakyat menjadi “kambing hitam”.
Tidaklah tepat jika kesalahan dalam pemilihan anggota legislatif ditimpakan pada rakyat. Rakyat hanya memilih apa yang disodorkan parpol. Maka kunci utamanya terletak dijantung parpol sebagai ladang penggodokan lahirnya anggota legislatif kredibel, akuntabel, dan kapabel.
Pada ranah inilah akuntabilitas, transparansi, kredibilitas, dan kapabilitas parpol turut diperhitungkan. Kader-kader parpol yang diajukan bukan hasil transaksi politik yang berdiri diatas modal uang dan popularitas semu semata, namun berpijak pada kapasitas emosional, intelektual, integritas, dan spirit etos kerja. Lagi-lagi, dalam lingkaran konstitusi “plin-plan”, birokrasi korum, dan pola komunikasi tidak transparan, berpotensi menghambat laju konsolidasi demokrasi. Pada akhirnya, pemilih bak memilih kucing dalam karung. 
Memilih kucing dalam karung tidak hanya sebatas dipahami sebagai sosok yang kurang berkompeten menjadi pengendali negara, namun kepentingan dibalik motivasi pencalegan yang akan merugikan negara dan rakyat. Jika demikian adanya maka rakyat hanya tinggal jadi penontong ditengah maraknya transaksi politik atau konspirasi busuk dan “pertarungan kepentingan” dengan berbagai modus dan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan. 
Produk pemilu 2004 membuktikan hal demikian. Sederet fenomena penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan marak menimpa beberapa anggota lagislatif. Bukan hal yang mustahil produk pemilu 2009 pun akan bernasib sama bahkan lebih parah. Lembaga suci nan terhormat hanya disesaki oleh para oknum “penjahat” negara dengan label wakil rakyat, label yang diperoleh dari hasil konspirasi, politik uang, dan jual-beli suara.
Pesta demokrasi proseduran dan simbolis lima tahunan melalui pemilu legislatif sudah digelar. Biaya penyelengaraan tidak sedikit terpakai, dan janji-janji politisi telah tersiar. Nah, siapa dan bagaimana menagih janji-janji itu?
Disinilah relevansi komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society). Konsolidasi demokrasi akan menemukan kesempurnaan dengan melibatkan partisipasi masyarakat yang tidak hanya terjebak pada momentum 9 April lalu. Reaktualisasi janji-janji politisi harus tetap didengungkan. Yang segera dipikirkan adalah bagaimana mekanisme atau manifestasi penagihan janji-janji politisi agar tetap aktual, hidup, dan memiliki daya vital ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com