Rabu, 29 April 2009

Koalisi ideologis dan masa depan pemerintahan efektif

Oleh: LEGIMAN
(Peminat Masalah Politik, mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Membangun pemerintahan solid, kuat, dan efektif dalam bingkai model pemerintahan presidensil mendesak untuk dipikirkan para pekerja koalisi. Tujuan inilah yang seharusnya menjadi motif dalam melakukan lobi-lobi antar elit politik menyongsong pemilihan presiden (pilpres) 2009 mendatang.
Jika koalisi hanya bersandar pada motif pragmatisme dan kepentingan sesaat, sulit untuk dikatakan pemerintahan kedepan akan lebih baik dari sebelumnya. Prinsip dasar paling urgen dalam membangun koalisi adalah persamaan ideologi, visi-misi maupun program politik.      
Dengan berpijak pada konsistensi dan komitmen membangun model pemerintahan presidensil, koalisi atas dasar persamaan ideologi ditengah keberadaan sistem politik multipartai merupakan jalan transisi. Koalisi ideologis harus diletakkan sebagai tujuan jangka pendek, sedangkan jangka panjangnya adalah meniscayakan keberdaan parpol yang ramping agar benar-benar terwujud pemerintahan efektif. Mengapa?
Satu ideologi
Tuduhan sebagian kalangan atas makin tergerusnya motif ideologis dalam membangun koalisi yang terus menguat belakangan ini patut diapresiasi. Motif elit-elit parpol dalam membangun jejaring koalisi tidak lagi melihat platform, visi-misi, dan program parpol, tapi dilatari oleh semangat pragmatisme dan kepentingan sesaat layak dicurigai karena hanya akan menjadi momok dan bomerang bagi pemerintahan efektif.
Jika boleh diraba, pemetaan ideologis dalam membaca parpol yang ada pada dasarnya tetap berdiri dalam kerangka nasionalisme atau ideologi kebangsaan. Namun pun demikian, tetap ada yang berbeda dalam menerjemahkan nasionalisme itu. Nasionalisme murni diwakili PDIP, nasionalisme sosialis relevan dilekatkan ditubuh Gerindra dengan program-program kerakyatanannya, dan nasionalis Islam identik dengan parpol-parpol berbasis Islam atau berbau Islam seperti PKS, PPP, PKB, atau PAN. Adapun Partai Demokrat dan Golkar selama ini popular dengan nasionalisme religius. Walau kurang sensitif terhadap isu-isu Islam, namun tetap menaruh sikap kooperatif terhadap kepentingan-kepentingan Islam.
Sekilas membalikkan ingatan kebelakang, harus diakui pertengkaran antar parpol dan ideologi pernah mewarnai gerak perjalanan bangsa ini. Antar ideologi saling baku hantam dan berebut pengaruh dimata masyarakat. Masing-masing pengusung ideologi yang diwakili parpol menawarkan solusi dalam membangun nasib masa depan bangsa.
Walau tidak selamanya berada ditengah luapan kotras, antar ideologi sempat bersanding akrab dan duduk bareng memperbincangkan arah bangun bangsa. Buah persandingan itu memang tidak selalu mulus, selalu saja ada jatuh bangun dan ketidaksepemahaman. Konflik ideologis antar parpol dalam konteks ini amat terasa mewarnai pemerintahan parlementer pada era orde lama.
Hanya diera Orde Baru (Orba)-lah pertengkaran ideologis itu menyusut karena diterapkannya kebijakan pemaksaan koalisi. Parpol pun menjadi ramping yang hanya diwakil oleh Golkar (Golongan Karya), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Karena ketatnya kekuatan kontrol penguasa Orba mampu memampatkan konflik ideologis antar parpol. Munculnya riak-riak idelogis disumbat sedini mungkin karena dipandang berpotensi menghambat laju pemerintahan. Buah dari koalisi yang dipaksakan adalah keseimbangan, efektifitas, dan stabilitas pemerintah, walau secara defacto dua parpol diluar Golkar sama sekali tidak bergeming menentukan arah program-program pemerintahan. Hanya parpol milik pemerintahlah yang berhak menawarkan ideloginya bagi pembangunan bangsa.   
Pasca keruntuhan rezim orde baru, beragam kekuatan politik ideologis menyeruak kepermukaan. Parpol tumbuh subur bak jamur dimusim penghujan. Puluhan parpol mewarnai ajang pemilu 1999 maupun 2004. Beragam parpol dan ideologi pun tumpah ruah mengiringi laju pemerintahan. Akibatnya pemerintahan tidak efektif.
Diera pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla (SBY-JK) misalnya. Pemerintahan produk koalisi pemilu 2004 ini tidak cukup maksimal mengantarkan program-program pemerintah berjalan sukses dan efektif. Kendala yang menghadang salah satunya adalah ketidaksolidan parpol koalisi karena berbeda dalam hal ideologi, visi-misi, atau program politik parpol.
Nasib serupa tampaknya bakal terjadi pada pemerintahan hasil koalisi menyambut pilpres 2009 mendatang. Koalisi tidak didasarkan pada pembacaan yang realistis dan rasional ideologis, namun pragmatis. Realistis dan rasional idelogis dalam arti kesamaan visi-misi, gagasan, ide, dan master plan program politik. Sedangkan pragmatis, hanya dilihat dari kepentingan sesaat, untung tugi, jangka pendek. Keniscayaan koalisi yang diamanatkan konstitusi dipahami secara dangkal. Koalisi cenderung membabi buta, asal-asalan, dan tidak didasarkan kepentingan jangka panjang.         
Diet parpol
Bagaimanapun, mewujudkan pemerintahan solid, kuat, dan efektif merupakan cita-cita bersama yang nasibnya digantungkan diatas pundak koalisi parpol menyambut pilpres. Pertanyaannya, siapa yang akan menjamin koalisi akan tetap solid ditengah era multipartai walau memiliki ideologi yang sama? Akankah keberadaan multipartai tetap ditolerir?     
Pada konteks inilah koalisi parpol harus diletakkan sebagai jalan transisi menuju pemerintahan solid, kuat dan efektif. Jalan transisi itu untuk mengakomodir sistem politik multipartai. Pada endingnya, ketika jalan transisi itu sudah dilalui, jalan berikutnya adalah melakukan perampingan atau diet terhadap parpol dengan cara-cara demokratis yakni membidanai lahirnya produk undang-undang yang bisa membatasi parpol dalam konstelasi politik nasional.
Melahirkan produk undang-undang untuk membatasi keberadaan parpol tidak lah dimaknai sebagai pembonsaian terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat sebagaimana terjadi pada era Orba. Perampingan atau diet parpol agar selaras dengan cita-cita membangun pemerintahan solid, kuat dan efektif disamping sebagai jalan merintis identitas model pemerintahan yang jelas dan berkarakter.
Tidak sedikit kelakar pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri yang mengatakanan bahwa model pemerintahan Indonesia absurd, kabur, dan tidak memiliki jenis kelamin. Akibatnya pemerintahan menjadi mandul karena terkubur dalam lautan konflik kepentingan.
Selama ini, kalangan yang melihat sistem multipartai tidak menjadi soal dan bukan masalah yang serius, kerap beragumen bahwa inilah identitas, corak, dan karakter demokrasi kita, representasi dari keberagaman bangsa, dan harus berbeda dengan praktek-praktek demokrasi lainnya. Sayangnya, keunikan itu tidak membawa kemaslahatan dan kemajuan bangsa alias tidak produktif.
Akhirnya, selain membumikan seruan agar elit-elit politik membangun koalisi solid, kuat, dan efektif dengan dilandasi semangat persamaan ideologi, wacana perampingan atau diet parpol mendesak untuk disuarakan. Saatnya untuk tidak lagi terlena dengan jargon keunikan sistem politik sebagai kekhasan dan karakter demokrasi Indonesia. Multipartai sama sekali tidak produktif menuntun cita-cita terbentuknya model pemerintahan yang seimbang dan ideal, yakni terciptanya pemerintahan presidensil.                                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com