Senin, 13 Oktober 2008

Golkar dan dilema capres

Oleh Legiman, M.Ag.
(Peminat masalah politik, Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Konsolidasi akbar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar beberapa waktu lalu di Yogyakarta belum memutuskan siapa calon presiden (capres) yang akan dijagokan  dalam pemilihan Presiden (pilpres) 2009. Padahal penegasan itu menjadi harapan dan aspirasi sebagian kader-kader Golkar, anggota, atau konstituennya.   
Semangat untuk segera menghadirkan capres pun tak kunjung diakomodasi oleh pemimpin-pemimpin Golkar. Malahan, sempat mencuat wacana Golkar akan kembali mengusung duet Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla (SBY-JK).   
Penundaan dan wacana duet SBY-JK itu tak elak memunculkan sederet pertanyaan dan pembacaan spekulatif banyak kalangan. Sebagian menilai, Golkar sedang dirudung krisis tokoh dan sikap kurang percaya diri. Pertanyaannya, sebab mendasar apakah gerangan sehingga Golkar memilih untuk bersikap pasif? Dan jalan baru apa yang haru seharusnya ditempuh?
“Ketimpangan”
Penilaian diatas sekilas memang tampak benar. Pada konteks ini kita bisa mendasarkan pada beberapa hasil survei dalam penentuan Presiden masa depan dimana publik menempatkan tokoh-tokoh Golkar pada urutan “buncit”. 
Namun pun demikian, bila kita lihat lebih dalam, jeli dan kritis lagi, akar persoalannya tidak hanya sampai disitu. Tak hanya krisis ketokohan perspektif publik dan rasa kurang percaya diri, penulis berasumsi Golkar sedang diterpa gumpalan “ketimpangan” popularitas kader-kader Golkar.
“Ketimpangan” dimaksud adalah, Ketua Umum Golkar Yusuf Kalla yang diyakini publik akan mendapat porsi istimewa untuk dicalonkan dalam bursa capres dari Golkar ternyata kalah populer dengan tokoh lainnya yakni Sri Sultan Hamengkubuwono X. Fakta politik ini tentunya berseberangan dengan kultur politik partai yang selama ini lazim terjadi pada banyak partai lainnya.
Sejenak kembali kebelakang, publik mungkin masih ingat ingar-bingar yang terjadi diinternal Golkar terkait konvensi yang dilempar oleh Ketua Umum Golkar Yusuf Kalla beberapa waktu lalu. Dalam kultur politik Gokar, konvensi yang pernah dijajaki itu merupakan jalan demokratis guna menjaring politisi pilihan partai yang kemudian dihadapkan pada tokoh-tokoh parpol lainnya.
Wacana yang digulirkan oleh Yusuf Kalla pada saat itu sempat memunculkan riuh kontroversi karena muncul statemen “demokrasi bukanlah jalan satu-satunya menuju kesejahteraan”. Dalam artian, bila demokrasi sudah tidak lagi prospek membuka jalan kesejahteraan layak untuk ditinggalkan.
Terlepas dari implikasi politik yang terjadi pasca mencuatnya gagasan yang dilontarkan Yusuf Kalla diatas, penulis berasumsi bahwa wacana yang dibangun Yusuf Kalla merupakan siasat politik menjelang pilpres 2009. Sebab, semangat konvensi bisa menanggalkan penilaian istimewa terhadap sang Ketua Umum untuk diusung sebagaimana umumnya yang terjadi dalam kultur parpol-parpol yang ada.
Dalam perjalanannya, harapan itu pun seolah hampir kandas. Dalam Rapimnas Golkar di Yogyakarta tak ada keputusan resmi partai terkait siapa yang bakal diusung pada pilpres mendatang. Bisa jadi keputusan itu didasari oleh hasil beberapa survei yang kurang memihak pada tokoh-tokoh Golkar. Konklusi akhir penelitian yang ada saat ini calon yang diusung Partai Demokrat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih bertengger diposisi teratas dan kemudian disusul calon dari PDI-P Megawati Sukarno Putri dan lainnya.
Bahkan, antar tokoh Golkar sendiri Yusuf Kalla kalah popularitasnya dengan Sultan HB X. Dengan demikian wajar bila Golkar lebih bersikap pasif dan berhati hati dalam pencalonan Presiden.
Dalam satu kesempatan Yusuf Kalla yang notabene Ketua Umum juga memberikan apresiasi positif bagi Sultan HB X bila Ia ingin maju dalam pencalonan Presiden. Sebuah dukungan yang makin menandaskan akan adanya “ketimpangan” popularitas tokoh ditubuh Golkar.
Tokoh sentral
Terlepas apakah Golkar sebuah partai yang modern, rasional, dan egaliter. Yang jelas, “ketimpangan popularitas” tokoh ditubuh Golkar tersebut dikarenakan tidak adanya tokoh sentral yang dihormati sebagaimana lazimnya pada parpol-parpol lainnya.
Tidak sulit untuk dijawab mengapa PDI-P jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan Megawati Sukarno Putri sebagai capres. Begitu juga dengan SBY dari Partai Demokrat, Wiranto oleh Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat), Prabowo didukung Partai Gerindera (Gerakan Indonesia Raya). Bahkan Amien Rais pun bakal siap bertanding dengan tokoh-tokoh diatas lewat Partai Amanat Nasional (PAN). Sebab, sentralisasi ketokohan sangat kental dan melekat pada diri partai-partai itu. 
PDI-P tersentral pada sosok Megawati , Partai Demokrat menjadikan SBY sebagai ikon, Partai Hanura pada Wiranto, PAN masih menaruh rasa hormat pada Amien Rais, sedangkan Partai Gerindera identik dengan Prabowo. Berbeda dengan Golkar dimana tidak ada sosok atau tokoh paling dominant perannya. Akan tetapi semuanya berhak untuk mangklaim sebagai tokoh yang paling besar kontribusinya bagi partai.
Jika dirunut jauh kebelakang mantan Presiden (Alm) Suharto atau pun harmoko (mantan Menteri Penerangan) bisa dibilang dua tokoh sentral Golkar yang pernah ada. 
Capres alternatif
Tidak adanya tokoh sentral Golkar saat ini seyogyanya tidak menjadi penghalang untuk sejak dini menentukan siapa calon yang akan diusung Golkar. Sebagai partai besar, luas basis konstitennya dan banyak tokoh-tokoh papan atas yang selalu setia, Golkar tidak harus ketir, gamang, minder dan tidak percaya diri melihat hasil-hasil survei sementara yang masih bisa dipertanyakan validitasnya.
Apalagi, tokoh-tokoh yang saat ini berada diatas angin dalam jajak pendapat adalah tokoh-tokoh lama yang dalam pengalaman memimpin bangsa bisa dikatakan gagal dan kurang memberikan kontribusi berarti. Oleh karenanya Golkar harus berani membuka jalan baru dan mendobrak kecenderungan banyak partai yang masih fanatik terhadap tokoh-tokoh lama dengan mengusung capres berwajah baru dan bukan itu-itu saja.
Menghadirkan SBY-JK dalam duet pilpres 2009 merupakan jalan yang tak sejalan dengan orientasi menampilakn tokoh-tokoh baru. Bangsa ini akan tetap dipimpin oleh tokoh-tokoh itu-itu saja. Tokoh-tokoh baru harus dimunculkan dan diperkenalkan kepada publik agar kepemimpinan kedepan tidak didominasi oleh tokoh-tokoh lama.
Orientasi diatas tentunya tidak hanya berlaku bagi Golkar. Menjadi kewajiban semua partai agar tokoh-tokoh alternatif bisa dimunculkan untuk menjawab kebuntuan publik akan pilihan pemimpin yang lebih bergairah, berdarah segar, progresif, dan mampu menjawab persoalan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com